Jagat Pentas Padepokan Sobarnas Martawijaya menjadi tempat penggambaran kembali bagaimana sebuah Kerajaan Pajajaran yang sudah tidak asing lagi, namun melihat kerajaan Pajajaran dari sisi lain tentang bagaimana masuknya Agama Islam di kerajaan Pajajaran yang dibawa oleh Kean Santang, Putra Prabu Siliwangi yang kembali ke Siliwangi setelah berkelana jauh ke Mekkah, dalam usahanya ini Kean Santang turut mengajak ayahnya masuk Islam namun upaya ini berbuah perang saudara, melalui Kean Santang yang telah mengimani Islam penghancuran kota dan pembunuhan adalah hal yang terlarang. Jaya Antea yang muncul menjadi musuh bagi Kean Santang, lewat ambisi jaya untuk menguasai Pajajaran, Jaya Antea membunuh orang-orang tidak berdosa, membuat kerusuhan. Dengan suguhan akting, tarian, tradisi yang memanjakan mata dan telinga para penonton selama tiga hari yaitu 24, 25, 26 Oktober 2020.
Dialog-dialog dari naskah drama Yus Rusyana yang berjudul Hutbah Munggaran di Pajajaran mengalir dengan penuh emosi dari mulut para pemain, Bagaimana konflik yang berfokus pada persoalan moral, Â dengan konsep menggabungkan sejarah, dongeng dan babad, Dimana Kean Santang berusaha mengIslamkan Pajajaran termasuk ayahnya sendiri, dimana Kean Santang yakin bahwa Pajajaran akan jaya bila menganut Agama Islam. Lewat sajian bahasa Sunda klasik sebagai alat komunikasinya, yang menjadikan cerita ini semakin kental dengan Kerajaan Pajajaran.
Pementasan teater ‘Hutbah Munggaran di Pajajaran’ yang dilaksanakan oleh  kolaborasi Himpunan Sastrawan Dramawan Garut (HISDRAGA) dengan dukungan hibah Dinas Kebudayaan Pariwisata Kebudayaan Kab.Garut, Pemerintah dengan program Fasilatasi Bidang Kebudayaan (FBK), dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Disutradarai oleh Ari Kpin, yang biasanya dikenal lewat berbagai musikalisasi puisi, naskah drama ini menjadi mahakarya selanjutnya dari Ari Kpin mengikuti drama-drama lain yang pernah beliau sutradarai yaitu Delapan Terdakwa, Priangan Si Jelita. Diikuti oleh penata musik Panji Triyadi, penata gerak Wanda Kania, Penata Laga, Bah Tira dan pemain-pemain yang tak kalah membantu yaitu Deden Falah Sebagai Kean Santang, Ari Kpin Sebagai Jaya Antea, Oky Lasminingrat Sebagai Purnama Sari, Wa Ratno : Rajah dan pemain lain yang tak kalah hebat dalam menghidupkan karakter-karakter yang hadir dalam naskah. Hal ini menunjukan bahwa pandemi tidak menjadi halangan untuk berkarya dan berkreasi dengan kemampuan kurang lebih 60 pemain yang meliputi aktor, pemain musik, tari, dan silat.
Di dalam pemeranan sendiri, lewat dialog-dialog Sunda klasik yang menjelaskan kejadian- kejadian dalam cerita, tentu membuat sebuah jarak antara pementasan dengan orang yang menonton pementasan ini baik secara langsung maupun melalui kanal youtube sehingga kostum, tari serta pencak silat benar-benar menjadi penyambung penting antara pementasan dan penonton, selain itu pemilihan karakter terutama karakter-karakter utama dalam pementasan ini yaitu tercatat delapan orang pelaku, yang tokoh utamanya bernama Kean Santang yang memiliki peran penting juga memiliki karakter yang kuat dalam membangun cerita, dari awal pembuka, konflik, sampai akhir cerita. Sedangkan Anengga, Janatra, Madenda, Sanggabaya, Salahudin, Jaya Antea, Ki Pungpu, Ki Gori, Bagus Setra, Purnamasari, Rakean, Halid dan Mikdad merupakan pelaku tambahan. Meski memiliki delapan tokoh sentral namun peran-peran lain yang mendukung pemeranan ini begitu membawakan sukses menunjang dan membawa suasana pementasan ke arah yang jauh lebih baik lagi, para pengawal, dan petugas kerajaan menggambarkan bagaimana megahnya kerajaan Pajajaran.
Dalam naskah Hutbah Munggaran di Pajajaran tergambar bagaimana Psikologi dari tokoh Kean Santang, dimana menurut model Sigmund Freud terbagi menjadi tiga yaitu ID atau aspek biologis berupa keinginan dan kebutuhan, dimana dalam cerita ini digambarkan bagaimana Kean Santang begitu menginginkan pengislaman pajajaran lewat keyakinannya, kedua adalah aspek ego atau realitas dan penyaluran tergambar dalam Kean Santang yang mengajak ayahnya terlebih dahulu dimana ego juga merupakan komponen yang menyaring dorongan ID yaitu Kean santang yang memilih mengajak ayahnya sebagai orang terdekat sebelum mengislamkan seluruh kerajaan pajajaran. Ketiga adalah Superego yaitu norma dan nilai sosial ini sangat tergambar ketika Kean Santang tidak mau membunuh rakyat sipil, menghancurkan kota dimana hal itu adalah hal yang ditentang oleh Superego.
Sangat disayangkan akibat pandemi COVID-19 jumlah penonton pementasan ini dibatasi, padahal naskah karya Yus Rusyana ini sudah hilang begitu lama hingga akhirnya dapat dipentaskan kembali dengan sangat baik, meski bahasa Sunda klasik yang membingkai drama ini namun kostum, musik, makeup sangat membantu apresiator yang tak biasa mendengar dan menggunakan bahasa Sunda klasik. Lewat petunjukan ini dunia teater dapat menjadi salah satu sarana meneruskan nilai-nilai budaya yang selama ini hidup, tidak akan ditinggalkan generasi selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H