Mohon tunggu...
Jessica Siscawati
Jessica Siscawati Mohon Tunggu... -

Ik ben een kleine denker, maar met mijn grote gedachten kan ik de wereld veranderen.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kebohongan Jilid Kedua oleh Detik dan Republika?

20 Agustus 2012   10:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:31 2863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Setelah ramai tentang kebohongan dan kesalahan “Demitri Bolykov” yang dimuat oleh Detik dan Republika, ternyata kedua media tersebut juga telah menyebarkan hoax bahwa Jacques Cousteau menjadi mualaf. Berikut adalah tautannya: http://ramadan.detik.com/read/2012/08/19/200639/1995122/631/3/para-ilmuwan-ini-menjadi-muslim-setelah-melakukan-riset-ilmiah dan http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/05/m0erg1-subhanallah-inilah-mukjizat-alquran-tentang-pertemuan-dua-lautan

Di artikel tersebut, diklaim bahwa Cousteau terkagum-kagum dengan “dinding pemisah antara air tawar dan air asin” dan kesesuaiannya dengan ayat Al-Furqan 53 serta Ar-Rahman 19-20, sehingga ia masuk Islam. Namun, hal ini adalah hoax, dan, seperti yang akan dijelaskan, “dinding pemisah” di Terusan Suez maupun Selat Gibraltar bukanlah “dinding pemisah” dalam arti yang sebenarnya.

Mualaf?

Apakah benar Cousteau sudah menjadi mualaf? WikiIslam.net sudah membantahnya secara lengkap, sehingga saya hanya perlu menerjemahkannya saja. (sumber: http://wikiislam.net/wiki/Jacques_Cousteau_%28Conversion_to_Islam%29 )

Klaim bahwa Cousteau menjadi mualaf adalah hoax karena:

1. Masyarakat Cousteau (awalnya dinamai “Yayasan Cousteau” hingga tahun 1992) didirikan oleh Jacques-Yves Cousteau sendiri dan saat ini dikepalai oleh istri keduanya Francine Cousteau.[1] Surat klarifikasi berikut (bertahun 1991) yang ditulis oleh Didier Cerceau dari Masyarakat Cousteau menyatakan bahwa Cousteau tidak menjadi mualaf. Perlu dicatat bahwa dokumen berikut merupakan komunikasi resmi dengan Yayasan Cousteau dan Cousteau sendiri tidak membantahnya.

Karena suratnya dalam bahasa Perancis, berikut adalah terjemahannya:

Monsieur Charles TUCKER 11A Chemin de Pennachy 69230 ST GENIS LAVAL FC/DC Paris, 2 November 1991 Tuan, Kami telah menerima surat dari Anda dan kami berterima kasih karena sudah tertarik kepada aktivitas kami. Kami mengatakan dengan gamblang kepada Anda bahwa Komandan Cousteau tidak pernah menjadi Muslim dan rumor ini menyebar tanpa landasan apapun. Dengan ramah tamah, Didier CERCEAU

chargé de mission

2. Majalah Forbes melaporkan pada tanggal 18 Mei 2004 bahwa, meskipun rumornya menyebar di dunia Islam, keluarga Cousteau “kerap menampiknya”:

Selama berdekade-dekade, sebagai pelopor penjelajahan bawah laut sistematis, penemu Aqua-Lung dan pemimpin pelestarian ekologi laut, Jacques Cousteau adalah pahlawan media global. Dokumenter perjalanannya di bawah laut telah ditonton di mana TV berada. Di dunia Muslim, rumor bahwa ia menjadi mualaf sebelum meninggal masih menyebar, meskipun keluarganya secara hormat kerap menampiknya.[2]

3. Teks berikut telah menyebar secara luas di Internet dan dikatakan merupakan kutipan Cousteau yang mengungkapkan pilihannya atas Islam setelah mengetahui bahwa dua samudra tidak bercampur, yang sesuai dengan Quran.

“In 1962 German scientists said that the waters of the Red Sea and the Indian Ocean did not mix with each other in the Strait of Bab-ul-Mandab where the Aden Bay and the Red Sea join. So we began to examine whether the waters of the Atlantic Ocean and the Mediterranean mixed with each other. First we analyzed the water in the Mediterranean to find out its natural salinity and density, and the life it contained. We repeated the same procedure in the Atlantic Ocean. The two masses of water had been meeting each other in the Gibraltar for thousands of years. Accordingly, the two masses of water must have been mixing with each other and they must have been sharing identical, or, at least, similar properties in salinity and density. On the contrary, even at places where the two seas were closest to each other, each mass of water preserved its properties. In other words, at the point where the two seas met, a curtain of water prevented the waters belonging to the two seas from mixing. When I told Professor Maurice Bucaille about this phenomenon, he said that it was no surprise and that it was written clearly in Islam’s Holy Book,the Qur’an al-karim. Indeed, this fact was defined in a plain language in the Qur’an al-karim. When I knew this, I believed in the fact that the Qur’an al-karim was the ‘Word of Allah’. I chose Islam, the true religion. The spiritual potency inherent in the Islamic religion gave me the strength to endure the pain I had been suffering for the loss of my son.”

Namun, kutipan ini diambil dari “The Reasons Why They Become Muslims”, buku Turki yang diterbitkan oleh Waqf Ikhlas Publications, dan tidak dikaitkan dengan Cousteau oleh sumber terpercaya manapun. 4. Jacques-Yves Cousteau sendiri meninggal akibat serangan jantung pada tanggal 25 Juni 1997 di Paris pada usia 87 tahun. Ia tidak dikubur secara Islami, tetapi secara Katolik Roma. Ia dimakamkan di permakaman keluarga di Saint-André-de-Cubzac, Perancis.[3]

Maka, jelas bahwa klaim kemualafan Cousteau tidak memiliki landasan apapun dan bisa dikatakan sebagai sebuah hoax.

Dinding Pemisah

Pada entri sebelumnya, Studens Philosophiae sudah membantah cocologi ayat di Al-Furqan dan Ar-Rahman dengan dinding laut pemisah. Berikut adalah salinan ulang ulasannya:

Ada sebuah cocologi yang mencocok-cocokan ayat dalam Al-Furqan 53 dan Ar-Rahman 19-20 dengan sebuah fenomena di antara Sungai Nil dengan Laut Merah seperti yang tampak pada gambar di atas. Ayat Al-Furqan berbunyi, “Dan Dialah (Allah) yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang satu tawar dan segar dan yang lainnya asin. Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus”, sementara ayat Ar-Rahman berbunyi “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing.” Sayangnya ada fakta sains yang akan meruntuhkan cocologi ini. Foto di atas kalau dilihat secara superfisial memang seakan ada pembatas sehingga kedua air (asin dan tawar) tidak bercampur (لا يبغيان). Namun pada kenyataanya melalui penelitian, air laut yang asin dan air sungai yang tawar itu bercampur dan daerah pencampuran ini disebut ‘estuary’. Jika laut, salinitasnya 35, sementara air tawar tingkat salinitasnya 0,5. Tapi di daerah estuary itu selalu antara dua angka tersebut.[4] Selain itu, di foto tersebut estuary sungai Nil tidak membentuk batasan yang permanen dengan Laut Merah, tetapi hanya merupakan perbedaan tingkat salinitas yang sementara dan air laut beserta garamnya bercampur dengan air tawar yang mengalir dari Nil secara perlahan-lahan. Ini jelas tidak sesuai dengan kedua ayat yang menekankan ketidakbercampuran (لا يبغيان).

Simpulan

Klaim mengenai kemualafan Cousteau tampaknya hanyalah hoax yang tidak jelas kebenarannya, dan organisasi resmi yang didirikan Cousteau sudah menekankan bahkan pada saat Cousteau masih hidup bahwa beliau tidak pernah menjadi mualaf. Sementara itu, pencocok-cocokan ayat Al-Furqan dan Al-Rahman dengan estuary patut ditolak karena di estuary manapun, baik di laut Merah maupun di selat Gibraltar, tidak ada dinding batas yang “tidak tembus” atau ‘tidak dilampaui” antara air tawar dan air asin, tetapi yang ada adalah gradasi tingkat salinitas yang variatif.

Dengan begini kita bisa melihat Detik dan Republika lagi-lagi kewalahan karena tidak menyeleksi dan memeriksa ulang dahulu kebenaran konten beritanya. Demi kredibilitasnya, ada baiknya agar kedua media membuat klarifikasi.Dan semoga kita semua juga bisa menjadikan peristiwa ini sebagai pembelajaran agar menjadi lebih kritis, skeptis, dan selektif dalam memilah informasi, apalagi mengingat banyaknya ensiklopedia dan jurnal ilmiah yang bisa kita akses dengan gratis untuk pemastian. Seperti kata Bung Karno, “tidak semua yang ada di Internet itu benar, anak Indonesia harus bisa memilih.” Dan jikalau Anda kritis, selektif, dan tidak sekadar menelan informasi mentah-mentah, Anda akan tahu bahwa kutipan barusan saya karang karena pada zaman Bung Karno belum ada Internet. Tapi poinnya adalah, kritis itu sangat penting karena: “Dengan meragukan, kita akan mencapai kebenaran” - Rene Descartes “If we are not able to ask skeptical questions, to interrogate those who tell us that something is true, to be skeptical of those in authority, then we’re up for grabs for the next charlatan, political or religious, who comes ambling along.” - Carl Sagan

Catatan kaki

[1] http://fr.wikipedia.org/wiki/%C3%89quipe_Cousteau

[2] http://www.forbes.com/2004/05/18/cx_mk_0518feat.html

[3] http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=gr&GRid=9889

[4] http://fds.oup.com/www.oup.com/pdf/13/9780198525080.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun