Mohon tunggu...
Jessica Layantara
Jessica Layantara Mohon Tunggu... Ilmuwan - iiii

Rohaniawan. Pengajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT: Genetik, Psikologi, Sosial, Atau?

11 Februari 2016   09:10 Diperbarui: 16 Februari 2016   15:56 4659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dentuman lagu Lady Gaga “Born This Way” meletup keras dari speaker sebuah pusat perbelanjaan. Lirik yang diucapkan lagu ini cukup unik: “Rejoice and love yourself today 'cause baby you were born this way… No matter gay, straight, or bi, lesbian, transgendered life, I'm on the right track baby, I was born to survive.”

Lagu yang memiliki irama “ear-catchy” dan membangkitkan semangat ini menekankan bahwa siapapun dan apapun keadaan kita saat ini, kita memang ditakdirkan seperti itu. Khusus di bagian lirik yang saya kutip di atas, Lady Gaga menekankan bahwa orientasi seksual yang kita miliki juga merupakan ciptaan Tuhan, dalam kata lain, genetik. Baik heteroseksual, gay, lesbi, maupun transgender, itu semua merupakan penentuan dari Sang Khalik bahwa mereka harus ada dalam keadaan seperti itu.

Di Indonesia baru-baru ini sedang marak bagaimana Menteri Riset dan Teknologi dengan gigih menyatakan penolakannya terhadap LGBT, baik kehadiran mereka di kampus-kampus maupun seminar-seminar yang mereka adakan (Detik, 24 Januari 2016). Ketua MPR juga merespon keras Stiker LINE yang banyak beredar di kalangan anak muda, yang mengisyaratkan bahwa LGBT itu legal (Detik, 10 Februari 2016), dan setelah saya melakukan cek dan recheck di LINE Sticker Shop, memang banyak sekali stiker-stiker LINE yang merujuk pada hubungan sejenis dan transgender. Tidak heran mengapa para petinggi di Indonesia sampai angkat bicara mengenai hal-hal seperti ini, karena Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut paham religius yang kuat, terutama Islam dan Kristen/Katolik, yang dua-duanya tentu menolak pernikahan sejenis.

Tetapi kalau yang dikatakan Lady Gaga memang benar, bahwa orientasi seksual adalah bawaan genetik dan memang diciptakan Tuhan, apakah layak ada orang yang menyalahkan bahkan menentang kaum LGBT? Bukankah itu sama saja seperti menghina Tuhan, yang memang menciptakan mereka seperti itu? Oleh sebab itu penting untuk kita memahami apakah orientasi seksual benar-benar adalah bawaan genetik yang diciptakan Tuhan, atau itu adalah, seperti yang dipegang oleh para fundamentalis agamawi, pengaruh sosial dan kultur?

Sejak 1899, penelitian mengenai orientasi seksual non-heteroseksual telah diadakan. Mereka mengadakan penelitian apakah memang ada gen tertentu bawaan sejak lahir yang menjadikan seseorang menjadi gay atau lesbian (atau bahkan bi-seks). Magnus Hirscheld, Michael Bailey, Richard Pillard, Dean Hamer adalah sederetan nama peneliti yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah bawaan genetik. Salah satu buktinya adalah keberadaan kromosom Xq-28, yaitu gen yang terdapat pada orang-orang yang mengalami kecenderungan homoseks. Tetapi pada tahun 1998, Profesor George Rice menyatakan bahwa teori itu tidak benar.

Pada tahun yang sama, Prof. Alan Sanders mengadakan sebuah riset kepada 54 pasang kakak beradik, yang salah satunya homoseksual, dan hasilnya adalah, meskipun kakak beradik itu sama-sama memiliki kromosom Xq-28, tidak semua mereka memiliki kecenderungan orientasi seksual yang sama. Jadi apakah kromoson Xq-28 benar-benar adalah kromosom gay? Hal ini masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Belum lama ini, di tahun 2014 para peneliti mengumpulkan 400 responden gay untuk memeriksa apakah mereka memiliki kromosom ini, dan hasilnya, memang kaum gay kebanyakan memiliki keunikan kromosom ini.

Tetapi jika kita cermati, ada perbedaan mencolok antara penelitian Profesor Rice dan Sanders dengan para peneliti modern di tahun 2014. Rice dan Sanders, secara adil memeriksa pasangan kakak beradik yang sudah pasti memiliki kesamaan gen, untuk membuktikan apakah SEMUA ORANG yang memiliki kromosom Xq-28 sudah pasti gay. Sedangkan riset tahun 2014 memeriksa semua orang gay dan memastikan apakah mereka semua memiliki kromosom Xq-28.

Di sini dapat kita lihat bahwa memang terbukti bahwa kromosom Xq-28 terdapat pada mayoritas homoseksual, tetapi ini tidak lantas membuktikan bahwa SEMUA orang yang memiliki kromosom tersebut lantas menjadi seorang homoseks. Ada kemungkinan bagi orang-orang, yang walaupun memiliki kromosom itu, tetap menjadi seorang heteroseksual. Ini membuktikan bahwa bawaan genetik hanya mempengaruhi mungkin 5% dari orientasi seksual seseorang. Sedangkan 95% lainnya ditentukan oleh banyak faktor yang lain.

Belum puas dengan penelitian kromosom, seorang neurosaintis, Simon LeVay, mengadakan penelitian struktur otak dan syaraf manusia, yang berhubungan dengan orientasi seksual seseorang. LeVay mengungkapkan bahwa di dalam otak manusia ada satu bagian kecil yang khusus mengatur seksualitas seseorang, yang dikenal sebagai INAH3. LeVay mengadakan penelitian dan menyimpulkan pada tahun 1991 bahwa INAH3 pada para homoseksual ternyata lebih kecil daripada para heteroseksual.

Namun pandangan ini tidak serta-merta mengesahkan bahwa orientasi seksual seseorang bersifat genetik. Malah, LeVay mengakui bahwa penelitiannya terbatas pada unsur serebral dan psikologis manusia dewasa yang sudah aktif dalam aktivitas seksual dalam kurun waktu lama. Ia tidak meneliti struktur otak pada bayi atau anak-anak yang belum mengenal aktivitas seksual. Jadi ini tidak dapat menyimpulkan bahwa sejak lahir otak seseorang sudah memiliki struktur genetik sebagai homoseksual, sebaliknya, di dalam otak orang dewasa, sangat mungkin terjadi perubahan struktur serebral dikarenakan orientasi seksualnya. Bisa saja justru ini disebabkan oleh faktor psikologis, yang dapat mengubah struktur otak secara perlahan-lahan. Sama halnya seperti seseorang yang seringkali menonton film porno atau melihat gambar-gambar porno, bahkan sampai taraf kecanduan, penelitian pun membuktikan bahwa lama-kelamaan otaknya akan mengalami perubahan struktur (terutama pada prefrontal cortex – mengalami pengecilan). Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai perubahan struktur otak pada para homoseksual, dan ini berarti ilmu pengetahuan pun belum dapat secara pasti mengesahkan bahwa ada perbedaan genetik pada otak yang menyebabkan kelainan orientasi seksual.

Jika demikian, apa yang menyebabkan orientasi seksual seseorang berbeda-beda antara homoseks dengan heteroseks? Sebuah penelitian dilakukan oleh Constance R. Sullivan Blum (“The Natural Order of Creation": Naturalizing Discourses in the Christian Same-Sex Marriage Debate, 2006) dengan menggunakan pendekatan sosial. Ia mengadakan riset kepada para LGBT, khususnya LGBT teis (non-atheis) mengenai apakah mereka berpikir bahwa orientasi seksual mereka adalah bawaan genetik atau sebenarnya merupakan pilihan mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun