"Buku ini bagus sekali, kamu harus baca nanti"
"Apakah kamu sudah tahu tentang koleksi terbaru di Perpustakaan?"
"Kemarin aku baru saja membeli buku fiksi penulis kenamaan, menakjubkan"Â
Dimensi literasi dengan buku
Sekilas pertanyaan dan pernyataan di atas layaknya sebuah kalimat yang mungkin sudah jarang kita dengar. Terakhir kali mendengarnya mungkin saat kita duduk di bangku Sekolah Dasar, atau beberapa tahun silam. Kemunculan buku memang bukan merupakan hal yang baru, sehingga tentu memberikan memori tersendiri bagi setiap individu yang membacanya. Jutaan judul buku dengan beragam genre terbit dari waktu ke waktu, berusaha memberikan jawaban atas rasa penasaran manusia akan ilmu baru.Â
Namun kini, bagaimana kabar buku? Apakah eksistensinya masih sama seperti dulu? Apakah buku tetap menjadi idola yang ditunggu oleh para penggemarnya? Atau mungkin kini popularitas buku semakin meredup karena kehadiran hal lain yang dianggap lebih menarik bagi manusia? Jawaban terkait pertanyaan sebelumnya tentu dapat diperoleh dengan menganalisis kondisi sosial sekitar. Melalui tulisan ini, saya hendak mengajak kita semua bersentuhan dengan dunia literasi sekali lagi, untuk bersama berusaha menemukan alasan dan jawaban.
Seperti kehidupan yang selalu mengalami rotasi, dunia literasi pun mengalami hal yang sama. Kita jelas harus sadar bahwa tidak selamanya literasi dianggap sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Asumsi tentang kegiatan literasi yang membosankan atau tidak praktis seolah menghipnotis kita untuk mempercayai hal tersebut, hingga akhirnya menjadi sesuatu yang tidak begitu diminati. Buku memegang peran penting dalam dunia literasi, tanpa buku maka mustahil ada literasi, begitupun sebaliknya. Untuk menemukan jawaban yang tepat, lagi-lagi kita dituntut memperhatikan bagaimana realita sosial tentang literasi saat ini.Â
Berdasarkan penelitian yang dilakukan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukan minat literasi Indonesia yang cukup rendah dengan posisi Indonesia yang berada pada urutan 60 (Kompas, 2019). Kondisi tersebut kurang lebih dapat menggambarkan bagaimana literasi, terutama bagi generasi muda Indonesia semakin redup. Semuanya pasti tidak terjadi secara instan, begitu juga ketika membahas literasi. Sebelumnya tentu ada serangkaian proses yang ditempuh, hingga akhirnya dapat menyebabkan suatu perubahan sosial. Maka menjadi suatu yang penting bagi kita untuk pertama mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perubahan sosial.Â
Tak ada asap jika tak ada api, salah satu pepatah yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi dunia literasi. Di Indonesia sendiri bukan menjadi hal yang baru jika dunia literasi kurang diminati. Generasi muda yang seharusnya membaca buku untuk memperkaya pengetahuan, justru lebih tertarik pada hal lain seperti bermain game online dan sebagainya. Dilansir dalam salah satu portal berita online terdapat empat (4) dimensi indeks literasi yang dapat menjadi tolak ukur. Dua dimensi indeks yang paling mencuri perhatian untuk ditelusuri lebih lanjut adalah dimensi akses dan budaya. Hasil survey mengatakan bahwa presentasi akses cukup tinggi, yaitu 20,39%, dan dimensi budaya 28,50% (Kompas, 2019). Data tersebut menghasilkan sebuah pernyataan dalam sebuah diskusi di Kantor Kemendikbud, yang menegaskan bahwa minimnya literasi disebabkan karena keterbatasan akses dan kebiasaan yang belum tertanam.
"Artinya ada korelasi antara akses dengan kebiasaan, kalau enggak ada akses bagaimana mau membaca. Para pegiat literasi melihat bahwa minat baca cukup tinggi, tapi itu potensi yang belum mewujud jadi perilaku, kebiasaan, dan budaya,"
- Lukman, 2019.