Mohon tunggu...
Jessica Dame
Jessica Dame Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Sidat Bicolor, Potensi Tersembunyi Nusantara

15 Desember 2017   22:03 Diperbarui: 16 Desember 2017   10:05 2158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidat bicolor (Google / Jessica Dame)

Indonesia merupakan negara maritim dengan sejuta potensi perikanan. Potensi tersebut sampai saat ini sayangnya belum termaksimalisasi. Banyak komoditas perikanan Indonesia yang tidak populer di pasar lokal namun populer di pasar internasional, salah satunya sidat bicolor.

Sidat bicolor atau yang biasa dikenal dengan sebutan unagi merupakan komoditas perikanan yang potensinya belum dilirik sebagai bahan makanan bergizi tinggi maupun ladang usaha oleh warga negara Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk mengonsumsi unagi, sehingga hanya sedikit pelaku bisnis yang menekuni bisnis ini.

 Acapkali sidat disamakan dengan belut. Benarkah demikian? Faktanya tidak. Belut yang biasa ditemukan di pasar atau rumah makan tradisional, seperti rumah makan padang atau sunda dan sidat merupakan 2 (dua) spesies yang berbeda.  Walau keduanya sama-sama hidup di air tawar, nama spesies sidat bicolor adalah Anguilla bicolor sedangkan belut adalah Monopterus albus. Perbedaan fisik antar keduanya juga dapat dilihat apabila diperhatikan dengan saksama, salah satunya adalah sirip kecil yang dimiliki oleh sidat namun tidak dimiliki oleh belut. Dengan demikian, sidat dan belut memiliki kandungan gizi, metode perawatan, dan harga pasaran yang berbeda.  

 Seperti beberapa komoditas perikanan lainnya, sidat bicolor bukanlah jenis komoditas yang mudah ditemukan. Indonesia merupakan salah satu negara dengan komoditas sidat terbanyak di dunia setelah Jepang. GBIF (Global Biodiversity Information Facility) menunjukkan sebuah data yang menunjukkan banyaknya benih sidat yang hidup di Indonesia dibandingkan negara produsen sidat lain, seperti Republik Rakyat Cina (RRC) dan Taiwan.

 Adanya penawaran yang sedemikian rupa tidak 'disambut' dengan permintaan yang ada. Pasar internasional, khususnya Jepang sangat berminat akan kegiatan ekspor sidat. Kementerian Keuangan Jepang atau Zaimu-sh menyebutkan bahwa produksi sidat Jepang kian menurun, bahkan sudah dilampaui oleh RRC.

 Jepang merupakan negara konsumen sidat terbesar di dunia. Torami Murakami, ketua Unagikiko, sebuah organisasi pelindung keberlanjutan budidaya sidat mengatakan bahwa masyarakat Jepang sudah mengkonsumsi unagi sejak 5,000 tahun yang lalu. Konsumsi unagi sudah menjadi budaya bagi masyarakat Jepang, ditunjukkan dengan adanya hari makan sidat nasional (Doyo No Ushi No Hi).

Ketua Asosiasi Budidaya Sidat Indonesia (Sibusido) Martani Huseini mengatakan bahwa untuk merambah pasar Jepang, dibutuhkan jaminan kualitas dari segi produk, proses produksi, dan distribusi.

Saat ini, sidat bicolor dihargai Rp350,000 - Rp400,000 per kg di pasar lokal maupun internasional. 1 kg sidat berisi 4 ekor sidat yang masing-masing berbobot kurang lebih 250 g. Harga tersebut akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan melihat tren harga sidat yang kian meningkat seiring dengan terancam punahnya benih sidat.

Adanya hubungan demand dan supply, minimnya pesaing, dan tingginya harga memperlihatkan betapa menguntungkannya bisnis sidat di Indonesia. Perencanaan bisnis dari hulu ke hilir telah dibuat untuk memperjelas peluang tersebut.

Untuk memulai bisnis budidaya sidat, dibutuhkan dana sebesar Rp58,431,790,600 yang digunakan untuk menjalankan akuarium, kolam, dan pabrik sidat. Dengan jumlah tersebut, diperkirakan bisnis ini dapat memproduksi 45,200 ekor sidat per bulan yang akan terus meningkat sampai 226,000 ekor per bulan seiring dengan meningkatnya keuntungan per tahun.

Berdasarkan penghitungan bisnis yang sudah meliputi jumlah biaya yang perlu dikeluarkan, tren harga, dan jumlah pendapatan yang akan didapatkan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan, bisnis budidaya sidat memiliki Net Present Value (NPV) sebesar 486,135,779,929 dan Internal Rate of Return (IRR) senilai 67%.

Dengan discount factor sebesar 20%, rencana bisnis ini memiliki payback period selama 3 tahun 1 bulan dan memiliki Profitability Index (PI) sebesar 7.8%. Hasil-hasil perhitungan tersebut menunjukkan kelayakan rencana bisnis ini serta menjadi alasan kuat mengapa rencana bisnis ini harus direalisasikan.

Selain keuntungan yang besar terdapat juga objektif lain yang dapat dicapai dalam menjalankan rencana bisnis ini, yaitu mengaktualisasikan potensi perikanan Indonesia di mata dunia. Indonesia yang merupakan negara maritim membutuhkan lebih banyak kegiatan budidaya perikanan untuk memaksimalkan potensinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun