Indonesia merupakan negara maritim dengan sejuta potensi perikanan. Potensi tersebut sampai saat ini sayangnya belum termaksimalisasi. Banyak komoditas perikanan Indonesia yang tidak populer di pasar lokal namun populer di pasar internasional, salah satunya sidat bicolor.
Sidat bicolor atau yang biasa dikenal dengan sebutan unagi merupakan komoditas perikanan yang potensinya belum dilirik sebagai bahan makanan bergizi tinggi maupun ladang usaha oleh warga negara Indonesia. Pasalnya, masyarakat Indonesia tidak terbiasa untuk mengonsumsi unagi, sehingga hanya sedikit pelaku bisnis yang menekuni bisnis ini.
 Acapkali sidat disamakan dengan belut. Benarkah demikian? Faktanya tidak. Belut yang biasa ditemukan di pasar atau rumah makan tradisional, seperti rumah makan padang atau sunda dan sidat merupakan 2 (dua) spesies yang berbeda.  Walau keduanya sama-sama hidup di air tawar, nama spesies sidat bicolor adalah Anguilla bicolor sedangkan belut adalah Monopterus albus. Perbedaan fisik antar keduanya juga dapat dilihat apabila diperhatikan dengan saksama, salah satunya adalah sirip kecil yang dimiliki oleh sidat namun tidak dimiliki oleh belut. Dengan demikian, sidat dan belut memiliki kandungan gizi, metode perawatan, dan harga pasaran yang berbeda. Â
 Seperti beberapa komoditas perikanan lainnya, sidat bicolor bukanlah jenis komoditas yang mudah ditemukan. Indonesia merupakan salah satu negara dengan komoditas sidat terbanyak di dunia setelah Jepang. GBIF (Global Biodiversity Information Facility) menunjukkan sebuah data yang menunjukkan banyaknya benih sidat yang hidup di Indonesia dibandingkan negara produsen sidat lain, seperti Republik Rakyat Cina (RRC) dan Taiwan.
 Adanya penawaran yang sedemikian rupa tidak 'disambut' dengan permintaan yang ada. Pasar internasional, khususnya Jepang sangat berminat akan kegiatan ekspor sidat. Kementerian Keuangan Jepang atau Zaimu-sh menyebutkan bahwa produksi sidat Jepang kian menurun, bahkan sudah dilampaui oleh RRC.
 Jepang merupakan negara konsumen sidat terbesar di dunia. Torami Murakami, ketua Unagikiko, sebuah organisasi pelindung keberlanjutan budidaya sidat mengatakan bahwa masyarakat Jepang sudah mengkonsumsi unagi sejak 5,000 tahun yang lalu. Konsumsi unagi sudah menjadi budaya bagi masyarakat Jepang, ditunjukkan dengan adanya hari makan sidat nasional (Doyo No Ushi No Hi).
Ketua Asosiasi Budidaya Sidat Indonesia (Sibusido) Martani Huseini mengatakan bahwa untuk merambah pasar Jepang, dibutuhkan jaminan kualitas dari segi produk, proses produksi, dan distribusi.
Saat ini, sidat bicolor dihargai Rp350,000 - Rp400,000 per kg di pasar lokal maupun internasional. 1 kg sidat berisi 4 ekor sidat yang masing-masing berbobot kurang lebih 250 g. Harga tersebut akan terus meningkat dalam beberapa tahun ke depan melihat tren harga sidat yang kian meningkat seiring dengan terancam punahnya benih sidat.
Adanya hubungan demand dan supply, minimnya pesaing, dan tingginya harga memperlihatkan betapa menguntungkannya bisnis sidat di Indonesia. Perencanaan bisnis dari hulu ke hilir telah dibuat untuk memperjelas peluang tersebut.
Untuk memulai bisnis budidaya sidat, dibutuhkan dana sebesar Rp58,431,790,600 yang digunakan untuk menjalankan akuarium, kolam, dan pabrik sidat. Dengan jumlah tersebut, diperkirakan bisnis ini dapat memproduksi 45,200 ekor sidat per bulan yang akan terus meningkat sampai 226,000 ekor per bulan seiring dengan meningkatnya keuntungan per tahun.
Berdasarkan penghitungan bisnis yang sudah meliputi jumlah biaya yang perlu dikeluarkan, tren harga, dan jumlah pendapatan yang akan didapatkan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun ke depan, bisnis budidaya sidat memiliki Net Present Value (NPV) sebesar 486,135,779,929 dan Internal Rate of Return (IRR) senilai 67%.