Mohon tunggu...
Jessica Anjelina Situmorang
Jessica Anjelina Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Akuntansi/Universitas Mercu Buana

Mahasiswa Sarjana Akuntansi - NIM 43222120038 - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB - Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 11 - Diskursus Edwin Sutherland dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

23 November 2024   09:29 Diperbarui: 23 November 2024   09:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang dimaksud dengan  Teori Edwin Sutherland dan Fenomena Korupsi?

kuis 11
kuis 11

Edwin Sutherland adalah seorang kriminolog terkemuka yang memperkenalkan teori white-collar crime pada tahun 1939. Dalam teorinya, Sutherland menyoroti bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan oleh individu dari kelas sosial bawah, seperti pencurian atau perampokan, tetapi juga terjadi di kalangan individu berstatus tinggi yang memiliki akses terhadap kekuasaan, otoritas, dan sumber daya. Kejahatan ini dikenal sebagai white-collar crime, yaitu tindak kriminal yang dilakukan oleh individu berstatus sosial tinggi dalam konteks pekerjaan mereka. Contohnya meliputi korupsi, manipulasi pajak, suap, penggelapan dana, hingga kejahatan dalam sektor korporasi.

Teori ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep differential association atau teori asosiasi diferensial, yang menyatakan bahwa perilaku kriminal adalah hasil dari proses pembelajaran sosial. Menurut Sutherland, seseorang mempelajari teknik, nilai, dan rasionalisasi untuk melakukan kejahatan melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Jika seseorang terus-menerus terpapar pada norma dan perilaku menyimpang di lingkungannya, maka ia lebih mungkin untuk menginternalisasi perilaku tersebut sebagai hal yang wajar. Hal ini menjadikan lingkungan sosial sebagai faktor kunci dalam pembentukan perilaku kriminal.

Fenomena korupsi di Indonesia mencerminkan prinsip-prinsip dalam teori Sutherland ini. Korupsi, yang didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, sering kali dilakukan oleh individu dengan jabatan strategis di pemerintahan atau sektor swasta. Pelaku korupsi di Indonesia biasanya adalah pejabat tinggi, birokrat, atau pengusaha yang memiliki akses terhadap pengelolaan dana publik atau kebijakan penting. Contoh kasus korupsi yang melibatkan proyek besar, seperti pengadaan barang dan jasa pemerintah atau manipulasi pajak, menunjukkan bahwa kejahatan ini dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan, sesuai dengan karakteristik white-collar crime.

Selain itu, korupsi di Indonesia sering kali terjadi karena proses pembelajaran sosial dalam lingkungan kerja. Misalnya, seorang pegawai baru dalam suatu instansi dapat mempelajari praktik korupsi dari rekan kerja atau atasannya. Lingkungan yang permisif terhadap gratifikasi, manipulasi laporan keuangan, atau penyalahgunaan wewenang membuat individu merasa bahwa perilaku tersebut adalah bagian dari norma organisasi. Proses ini memperkuat pola perilaku korupsi yang berulang, menjadikannya sebagai budaya yang sulit diberantas.

Teori Sutherland juga menjelaskan bagaimana pelaku korupsi sering kali merasionalisasi tindakan mereka. Mereka menggunakan berbagai alasan untuk membenarkan perilaku menyimpang, seperti menganggap korupsi sebagai "kompensasi" atas gaji yang rendah, atau sebagai "tradisi" yang sudah lama berlangsung dalam birokrasi. Dalam konteks Indonesia, rasionalisasi ini sering muncul dalam bentuk pembenaran moral, misalnya dengan dalih bahwa korupsi dilakukan demi "keamanan ekonomi" keluarga atau untuk mendukung kegiatan politik tertentu.

Dampak korupsi di Indonesia sangat besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Korupsi menggerogoti anggaran negara, memperburuk pelayanan publik, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam skala yang lebih luas, korupsi menciptakan ketidaksetaraan, memperkuat kemiskinan, dan menghambat pembangunan nasional. Dengan memahami korupsi melalui kerangka teori Edwin Sutherland, kita dapat mengidentifikasi akar masalahnya, yaitu pola pembelajaran sosial dalam lingkungan yang mendukung perilaku menyimpang dan rasionalisasi yang menguatkan kejahatan.

Teori Sutherland memberikan perspektif penting untuk menganalisis korupsi di Indonesia. Pendekatan ini menekankan perlunya reformasi budaya organisasi, pengawasan yang ketat, dan pendidikan antikorupsi untuk mencegah pembelajaran sosial korupsi. Selain itu, penegakan hukum yang konsisten dapat memutus rantai perilaku korupsi, memberikan efek jera, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung integritas. Dengan menerapkan teori ini, Indonesia dapat mengambil langkah strategis dalam memberantas korupsi secara sistemik dan berkelanjutan.

Mengapa teori ini relevan dengan fenomena korupsi di indonesia?

kuis 11
kuis 11

Teori Edwin Sutherland, terutama konsep white-collar crime dan differential association, relevan dalam memahami korupsi di Indonesia karena:

  1. Korupsi sebagai Kejahatan Kelas Atas
    Korupsi di Indonesia sering dilakukan oleh pejabat tinggi dan elit ekonomi, sesuai dengan definisi white-collar crime sebagai kejahatan oleh individu berstatus sosial tinggi.

  2. Proses Pembelajaran Sosial
    Budaya birokrasi permisif memungkinkan korupsi dipelajari melalui interaksi sosial. Pegawai baru sering meniru praktik korup senior, menjadikan korupsi "tradisi" dalam organisasi.

  3. Rasionalisasi Perilaku
    Pelaku korupsi di Indonesia sering membenarkan tindakannya dengan alasan seperti "sistem rusak" atau "gaji kecil," sesuai dengan pandangan Sutherland tentang pembenaran dalam white-collar crime.

  4. Kejahatan Tanpa Kekerasan
    Korupsi, seperti dalam teori Sutherland, dilakukan secara senyap tetapi berdampak besar, merugikan negara dan melemahkan kepercayaan publik.

Teori ini membantu menjelaskan akar masalah korupsi di Indonesia dan menjadi landasan untuk merancang strategi pencegahan berbasis perubahan budaya dan pola pikir.

Bagaimana Penerapan Teori Edwin Sutherland dalam Penanganan Korupsi di Indonesia?

kuis 11
kuis 11

Teori Differential Association dari Edwin Sutherland menjelaskan bahwa perilaku menyimpang, termasuk korupsi, adalah hasil dari proses belajar yang terjadi melalui interaksi sosial. Dalam konteks Indonesia, teori ini relevan untuk memahami dan menangani korupsi yang telah menjadi masalah sistemik. Menurut Sutherland, seseorang mempelajari nilai-nilai, norma, dan teknik perilaku menyimpang melalui asosiasi dengan individu atau kelompok yang memiliki kecenderungan serupa. Dengan demikian, akar korupsi di Indonesia dapat dikaitkan dengan budaya dan lingkungan yang toleran terhadap praktik korup.

1. Memahami Korupsi Sebagai Fenomena yang Dipelajari

Korupsi di Indonesia sering kali melibatkan individu-individu yang telah lama berinteraksi dengan lingkungan yang korup. Dalam birokrasi, misalnya, generasi muda yang baru bergabung sering kali belajar cara-cara korupsi dari rekan kerja yang lebih senior. Mereka diajarkan bagaimana menyalahgunakan anggaran, menyembunyikan bukti, atau memanfaatkan celah hukum. Proses belajar ini tidak hanya mencakup teknik, tetapi juga rasionalisasi, seperti pandangan bahwa korupsi adalah "hal biasa" atau "bagian dari budaya kerja". Dalam teori Sutherland, hal ini disebut sebagai pembelajaran definisi yang mendukung perilaku menyimpang.

2. Budaya dan Sistem Sebagai Faktor Pendukung

Indonesia memiliki beberapa karakteristik budaya dan sistem yang memungkinkan korupsi untuk terus berkembang. Sistem patrimonial dan birokrasi yang kompleks sering menciptakan peluang untuk penyalahgunaan wewenang. Sebagai contoh, adanya "uang pelicin" dianggap lumrah untuk mempercepat proses administrasi. Dalam lingkungan seperti ini, individu yang tidak terlibat dalam praktik korupsi justru dianggap sebagai "penyimpang" dari norma kelompok. Dengan kata lain, definisi yang mendukung perilaku korup menjadi dominan dalam interaksi sehari-hari, sebagaimana dijelaskan oleh Sutherland.

3. Penerapan Teori untuk Pencegahan Korupsi

Menggunakan teori Edwin Sutherland, langkah pertama dalam pencegahan korupsi adalah mengintervensi pola-pola asosiasi yang mendukung perilaku menyimpang. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:

  • Membangun Lingkungan Kerja yang Bersih: Reformasi birokrasi harus difokuskan pada penciptaan lingkungan kerja yang transparan dan akuntabel. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan sistem berbasis teknologi untuk mengurangi interaksi langsung yang dapat menjadi peluang korupsi.
  • Pendidikan Anti-Korupsi: Menanamkan nilai-nilai anti-korupsi melalui pendidikan formal dan informal sangat penting. Program pendidikan ini harus dirancang untuk memberikan definisi yang bertentangan dengan praktik korupsi, sehingga individu memiliki dasar moral dan intelektual untuk menolak korupsi.
  • Perlindungan Whistleblower: Orang-orang yang melaporkan praktik korupsi sering kali menjadi sasaran intimidasi. Perlindungan hukum bagi pelapor harus diperkuat agar individu merasa aman untuk melaporkan perilaku menyimpang tanpa takut akan konsekuensi negatif.

4. Rehabilitasi Pelaku Korupsi

Teori Sutherland juga relevan dalam menangani pelaku korupsi. Pelaku harus dilibatkan dalam program rehabilitasi yang mengajarkan nilai-nilai baru dan mengubah cara pandang mereka terhadap perilaku korup. Misalnya, mereka dapat dilibatkan dalam pelatihan moral, program kerja sosial, atau diskusi kelompok yang mempromosikan nilai-nilai integritas.

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Salah satu cara untuk mengurangi asosiasi yang mendukung korupsi adalah dengan memberdayakan masyarakat sipil untuk mengawasi pemerintah dan birokrasi. Kampanye anti-korupsi yang melibatkan masyarakat dapat menciptakan tekanan sosial terhadap individu atau kelompok yang terlibat dalam korupsi. Selain itu, media juga berperan penting dalam mempublikasikan kasus-kasus korupsi untuk menimbulkan efek jera.

6. Reformasi Sistem Hukum

Penerapan teori Sutherland juga membutuhkan reformasi sistem hukum. Sistem peradilan yang transparan dan tidak korup akan memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Jika hukum ditegakkan secara konsisten, individu akan lebih cenderung belajar bahwa korupsi adalah perilaku yang berisiko dan tidak menguntungkan.

7. Mengatasi Faktor Struktural

Selain perubahan pada tingkat individu, pendekatan berbasis teori Sutherland juga harus memperhatikan faktor struktural. Korupsi sering kali didorong oleh kebutuhan ekonomi atau tekanan sosial, seperti kewajiban memberikan "hadiah" kepada atasan. Dengan mengurangi tekanan ini melalui kenaikan gaji, pengurangan kemiskinan, dan penguatan ekonomi, peluang untuk korupsi dapat dikurangi.

8. Studi Kasus: KPK dan Pendidikan Anti-Korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk memutus rantai pembelajaran korupsi. Salah satu program KPK adalah integrasi pendidikan anti-korupsi ke dalam kurikulum sekolah. Program ini bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai integritas kepada generasi muda sebelum mereka terpapar lingkungan yang korup. Hal ini sesuai dengan pandangan Sutherland bahwa nilai-nilai yang dipelajari sejak dini memiliki pengaruh besar terhadap perilaku individu di masa depan.

9. Mengurangi Pengaruh Kelompok Korup

Sebagaimana ditekankan oleh Sutherland, perilaku menyimpang sering kali diperkuat oleh tekanan kelompok. Oleh karena itu, membongkar jaringan korupsi adalah langkah penting. Penegakan hukum harus difokuskan pada pengungkapan kelompok atau sindikat korup, bukan hanya individu. Dengan cara ini, asosiasi yang mendukung korupsi dapat dihancurkan.

10. Evaluasi dan Kesimpulan

Penerapan teori Edwin Sutherland dalam penanganan korupsi di Indonesia menunjukkan bahwa perubahan perilaku hanya dapat terjadi jika ada perubahan dalam pola-pola asosiasi sosial. Pendekatan ini menekankan pentingnya pendidikan, reformasi sistem, dan intervensi pada tingkat kelompok untuk menciptakan definisi baru yang menolak korupsi. Dengan strategi yang terintegrasi, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya mengurangi korupsi tetapi juga membangun budaya integritas yang kuat.

Dengan memahami bahwa korupsi adalah hasil dari proses belajar sosial, kebijakan anti-korupsi dapat dirancang untuk memutus rantai pembelajaran tersebut. Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, tantangan besar ini dapat diatasi secara bertahap namun efektif.

Dampak Positif dan Negatif Penerapan Teori Edwin Sutherland dalam Penanganan Korupsi di Indonesia

Teori Edwin Sutherland, khususnya konsep Differential Association, memberikan perspektif unik dalam memahami korupsi sebagai hasil dari proses belajar sosial. Dalam konteks Indonesia, teori ini dapat digunakan untuk menelaah bagaimana korupsi berkembang melalui interaksi sosial dan lingkungan yang kondusif terhadap praktik korup. Ketika diterapkan dalam kebijakan dan strategi penanganan korupsi, teori ini memiliki dampak positif dan negatif yang harus dipertimbangkan.

Dampak Positif Penerapan Teori Edwin Sutherland

  1. Pemahaman Mendalam tentang Korupsi sebagai Proses Sosial
    Salah satu dampak positif utama dari penerapan teori ini adalah pemahaman bahwa korupsi bukan sekadar tindakan individu, melainkan fenomena sosial yang melibatkan pembelajaran nilai, norma, dan teknik tertentu. Teori ini membantu mengarahkan perhatian pada pentingnya lingkungan sosial dalam membentuk perilaku korup. Misalnya, dalam birokrasi, korupsi sering kali dipelajari melalui interaksi dengan kolega atau atasan yang telah terbiasa dengan perilaku tersebut. Dengan memahami proses ini, penanganan korupsi dapat lebih difokuskan pada upaya menciptakan lingkungan yang sehat secara sosial.

  2. Pendekatan Preventif yang Lebih Terarah
    Dengan berlandaskan pada konsep bahwa perilaku korup dapat dicegah melalui pembelajaran nilai-nilai positif, pemerintah dapat merancang kebijakan preventif yang lebih efektif. Contohnya adalah pendidikan anti-korupsi di sekolah dan universitas. Dengan menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini, individu dapat diperkuat secara moral sebelum mereka terpapar lingkungan yang korup. Upaya ini dapat menciptakan generasi baru yang lebih resisten terhadap pengaruh negatif dalam lingkungan kerja.

  3. Fokus pada Reformasi Budaya dan Struktur Sosial
    Teori ini mendorong upaya reformasi yang lebih luas, termasuk reformasi budaya kerja di instansi pemerintah dan perusahaan. Misalnya, dengan membangun sistem berbasis teknologi seperti e-government, peluang untuk interaksi sosial yang berpotensi korup dapat diminimalkan. Lingkungan yang transparan dan akuntabel dapat menghambat pembelajaran nilai-nilai korupsi, sehingga menciptakan pola asosiasi yang positif dalam jangka panjang.

  4. Penguatan Komunitas Anti-Korupsi
    Teori ini juga mendukung pembentukan komunitas atau kelompok yang menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Komunitas ini dapat berfungsi sebagai agen perubahan sosial yang menciptakan tekanan sosial terhadap individu atau kelompok yang melakukan korupsi. Dengan demikian, nilai-nilai positif dapat dipelajari dan diterapkan secara kolektif.

  5. Membongkar Jaringan Korupsi secara Sistemik
    Dengan memahami bahwa korupsi sering kali dilakukan dalam kelompok atau jaringan, penanganan korupsi tidak lagi hanya fokus pada individu tetapi juga pada kelompok yang terlibat. Penegakan hukum yang menargetkan sindikat korupsi dapat membongkar pola-pola asosiasi yang mendukung perilaku tersebut. Pendekatan ini memberikan dampak yang lebih besar dibandingkan hanya menghukum individu pelaku.

Dampak Negatif Penerapan Teori Edwin Sutherland

  1. Kesulitan dalam Mengubah Budaya yang Sudah Mengakar
    Salah satu tantangan terbesar dalam menerapkan teori ini adalah kesulitan untuk mengubah budaya yang telah mengakar dalam masyarakat atau institusi. Di Indonesia, korupsi sering dianggap sebagai bagian dari budaya kerja, seperti pemberian “uang pelicin” untuk mempercepat proses administratif. Mengubah pola pikir ini membutuhkan waktu yang lama, dan intervensi berdasarkan teori ini mungkin menghadapi resistensi dari individu atau kelompok yang sudah nyaman dengan budaya korup.

  2. Ketergantungan pada Upaya Preventif yang Tidak Langsung
    Penerapan teori Sutherland sering kali lebih fokus pada upaya preventif melalui pendidikan dan perubahan sosial, yang membutuhkan waktu untuk memberikan hasil. Dalam kasus korupsi yang sudah sistemik, pendekatan ini mungkin dianggap kurang cepat atau kurang efektif dalam memberikan dampak langsung. Dalam beberapa kasus, pendekatan ini dapat dianggap sebagai langkah yang terlalu lunak terhadap pelaku korupsi.

  3. Risiko Stigmatisasi Lingkungan Kerja
    Pendekatan berbasis teori ini mungkin memunculkan risiko stigmatisasi terhadap lingkungan tertentu yang dianggap sebagai “sarang korupsi”. Misalnya, institusi pemerintah atau sektor tertentu yang memiliki sejarah korupsi mungkin mendapatkan cap buruk yang dapat merugikan individu-individu jujur yang bekerja di dalamnya. Hal ini dapat menimbulkan tekanan sosial yang tidak adil.

  4. Sulitnya Mengidentifikasi Pola Asosiasi Sosial
    Dalam penerapannya, mengidentifikasi dan memutus pola asosiasi sosial yang mendukung korupsi adalah tantangan besar. Interaksi sosial yang membentuk perilaku korup sering kali bersifat informal dan sulit dideteksi, seperti pertemuan pribadi atau komunikasi tertutup. Ini membuat upaya intervensi menjadi lebih rumit dan membutuhkan pengawasan yang intensif.

  5. Potensi Salah Fokus pada Individu daripada Sistem
    Meskipun teori ini menekankan pentingnya lingkungan sosial, dalam praktiknya, ada risiko fokus justru beralih pada individu yang dianggap mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini dapat menyebabkan kebijakan yang tidak seimbang, di mana individu tertentu disalahkan atas korupsi tanpa memperhatikan kondisi sistemik yang mendukungnya.

  6. Kurangnya Kesadaran Akan Kompleksitas Ekonomi dan Politik
    Teori ini lebih fokus pada aspek sosial daripada faktor ekonomi atau politik yang juga berkontribusi terhadap korupsi. Dalam banyak kasus, tekanan ekonomi atau sistem politik yang rentan juga menjadi penyebab utama korupsi. Jika pendekatan berbasis teori Sutherland terlalu dominan, dimensi lain dari korupsi mungkin tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

  7. Resistensi dari Kelompok yang Mendominasi
    Dalam banyak lingkungan sosial yang korup, kelompok dominan yang mendapatkan keuntungan dari korupsi sering kali memberikan resistensi terhadap perubahan. Kelompok ini dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mempertahankan pola-pola korupsi yang sudah ada, bahkan melawan upaya reformasi. Dalam situasi seperti ini, penerapan teori ini mungkin menghadapi hambatan signifikan.

Penerapan Teori Edwin Sutherland dalam penanganan korupsi di Indonesia memberikan pendekatan yang unik dan berfokus pada akar sosial dari perilaku korup. Dampak positifnya meliputi pemahaman yang lebih baik tentang korupsi sebagai fenomena sosial, pencegahan yang lebih efektif melalui pendidikan, dan pembongkaran jaringan korupsi secara sistemik. Namun, penerapan teori ini juga memiliki kelemahan, seperti kesulitan dalam mengubah budaya korup yang sudah mengakar, potensi stigmatisasi, dan risiko fokus yang tidak seimbang pada individu.

Agar penerapan teori ini berhasil, strategi yang digunakan harus terintegrasi dengan pendekatan lain, seperti reformasi struktural, penegakan hukum yang kuat, dan pengurangan tekanan ekonomi yang mendorong korupsi. Dengan demikian, dampak negatif dapat diminimalkan, sementara dampak positif dapat dimaksimalkan untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi di Indonesia.

Kesimpulan

Penerapan teori Edwin Sutherland dalam memahami dan menangani korupsi di Indonesia memberikan pendekatan strategis yang mendalam terhadap akar permasalahan korupsi. Teori ini, melalui konsep white-collar crime dan differential association, menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi hasil dari lingkungan sosial yang permisif dan sistemik. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini tercermin pada birokrasi dan sektor swasta, di mana korupsi sering dipelajari, diterima, dan dinormalisasi sebagai bagian dari budaya organisasi.

Untuk mengatasi korupsi, langkah-langkah preventif dan represif harus dilaksanakan dengan konsisten. Pencegahan dapat dimulai dengan reformasi budaya organisasi yang mendukung integritas dan transparansi. Strategi ini melibatkan pembentukan kebijakan antikorupsi yang kuat, pengawasan ketat melalui audit dan digitalisasi, serta penerapan teknologi untuk menciptakan transparansi dalam pelayanan publik. Selain itu, pendidikan antikorupsi perlu digalakkan sejak dini untuk membentuk nilai-nilai moral generasi muda, sehingga sikap toleransi terhadap korupsi dapat dikikis.

Pendekatan ini juga mencakup upaya untuk mengatasi rasionalisasi korupsi yang sering digunakan oleh pelaku. Dengan memberikan gaji dan tunjangan yang layak, serta meningkatkan penghargaan kepada pegawai yang berintegritas, alasan "gaji kecil" atau "tradisi" tidak lagi relevan. Kampanye publik yang menyentuh nilai moral dan emosional juga dapat membantu membangun kesadaran kolektif masyarakat terhadap bahaya korupsi.

Penegakan hukum yang tegas menjadi pilar penting untuk memutus rantai pembelajaran sosial korupsi. Hukuman berat, penyitaan aset, dan penguatan lembaga antikorupsi seperti KPK adalah langkah yang harus terus dilakukan. Operasi tangkap tangan (OTT) dan digitalisasi sistem keuangan telah menunjukkan keberhasilan dalam mengurangi peluang korupsi di sektor tertentu.

Namun, tantangan besar tetap ada, termasuk resistensi dari aktor yang diuntungkan oleh korupsi, kapasitas lembaga yang masih terbatas, dan intervensi politik. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi memerlukan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Dengan pendekatan holistik yang berbasis teori Sutherland, Indonesia dapat menciptakan sistem pemerintahan dan masyarakat yang lebih bersih dan transparan.

Daftar Pustaka

  1. Sutherland, E. H. (1949). White Collar Crime. New York: Dryden Press.
  2. Sutherland, E. H. (1939). "The Differential Association Theory." American Sociological Review.
  3. KPK. (2023). Laporan Tahunan KPK: Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
  4. Transparency International. (2023). Corruption Perceptions Index 2023. Berlin: Transparency International.
  5. Robbins, P., & Judge, T. (2019). Organizational Behavior. London: Pearson Education.
  6. Indonesian Ministry of Finance. (2022). Digitalisasi Keuangan Negara: Mengurangi Korupsi dan Memperbaiki Layanan Publik. Jakarta: Kementerian Keuangan RI.
  7. Haryatmoko. (2014). Etika Publik untuk Integritas Pelayanan Publik. Jakarta: Kompas Gramedia.
  8. Muladi. (2017). Hukum dan Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Refika Aditama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun