Tiara tersentak mundur, tetapi sosok itu melangkah lebih dekat, dan suara lonceng pun semakin cepat berdentang, seolah menghitung detik-detik yang tersisa. Ketakutan menyelimutinya, tetapi pikirannya tetap tajam. Dia mencoba berbicara, bertanya apa yang diinginkan bayangan itu darinya. Namun, bayangan itu tetap diam, hanya menatapnya dengan mata kosong yang hitam pekat.
Dengan cepat, Tiara mencari sesuatu untuk melawan atau melarikan diri. Di pojok ruangan, ia melihat sebuah jimat tua tergantung di atas meja. Menurut kepercayaan penduduk desa, jimat itu dapat melindungi dari roh-roh jahat. Tiara meraih jimat tersebut dan memegangnya erat-erat sambil melangkah mundur. Anehnya, sosok bayangan itu tampak bergerak menjauh, seolah jimat itu memiliki kekuatan untuk menghalau keberadaannya.
Namun, saat ia hendak berlari keluar dari gubuk, Tiara terhenti oleh penglihatan sekilas dari potret tua di atas meja. Ia mengenali salah satu wajah dalam foto itu. Itu adalah wajahnya, tetapi dalam balutan pakaian dari zaman yang berbeda. Seolah-olah dia pernah hidup di masa lalu, terhubung dengan roh-roh yang tidak pernah tenang di desa ini.
Bayangan itu akhirnya lenyap dalam kegelapan, meninggalkan suara lonceng yang perlahan meredup. Tiara berlari keluar gubuk, berjanji tidak akan kembali. Namun, saat ia meninggalkan desa, suara lonceng itu terdengar lagi, seperti mengingatkan bahwa dia tak akan pernah bisa melarikan diri dari jejak-jejak kematian yang kini telah menandai hidupnya.
Hingga kini, Tiara selalu merasakan kehadiran bayangan hitam yang mengawasinya, sebuah pengingat bahwa misteri kematian yang ia temukan di desa kecil itu masih jauh dari akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H