[caption id="attachment_325884" align="alignleft" width="300" caption="Aksi Aliansi Keadilan untuk Agraria"][/caption]
Memperingati Hari Tani Nasional ke -54 Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria melakukan aksi di Anjungan Pantai Losari (24/9).
Hinggasaat ini pemerintah belum berhasil menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di tanah air. Padahal, sejak 24 September 1960 lewat Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) aturannya sangat jelas. Namun, ternyata UU tersebut tidak menjadi jaminan bagi petani untuk mendapatkan haknya.
Demikian pula dengan UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Berada Diatasnya. Pencabutan dapat dilakukan apabila tanah dan/atau benda-benda yang berada diatasnya dibutuhkan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula untuk kepentingan pembangunan.
Namun, kenyataannya pencabutanhak atas tanah dan benda diatasnya dilakukan pemerintah tidak sesuai dengan UU No.20 Tahun 1961. Bahkan, pemerintah rela merampas tanah adat dan tanah milik petani demi pertambangan dan perkebunan besar. Hal ini menjadi contoh nyata, pemerintah tidak berpihak pada kaum tani di Indonesia. Faktanya, keberadaan lahan di Indonesia semakin menyempit. Di sisi lain, jutaan hektar lahan yang dibuka melalui program pemerintah
tidak produktif dan tidak dapat digunakan oleh kaum tani sendiri.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Agraria menilai, memasuki tahun ke-54 sejak ditetapkannya UUPA, kebijakan land reform makin tenggelam dan jauh dari harapan. Nasib rakyat dan petani Indonesia semakin miskin dan termarjinalisasi. “54 tahun sejak disahkannya UUPA 1960, pemerintah semakin menyulitkan rakyat dan petani akibat intensifnya perampasan tanah milik rakyat oleh perusahaan besar melalui land grabbing yang diregulasikan,” ujar Amin, salah seorang aktivis Walhi Sulsel yang melakukan orasi memperingati Hari Tani Nasional diAnjungan Pantai Losari Makassar (24/9).
Bahkan, 10 tahun masa kepemimpinan SBY,praktek perampasan sumber-sumber agrariadan liberalisme ekonomi semakin dipertuhankan, dengan mengeluarkan megaproyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 dengan Perpres No. 32/2011.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan Asmar Exwar selaku Direktur WALHI Sulsel, terungkap ketimpangan struktur agraria di Sulawesi Selatan serta praktek-praktek monopoli atas sumber-sumber agraria juga semakin massif. Terjadi peningkatan konflik agraria yang signifikan serta menyengsarakan rakyat kecil dan petani.
Kata Asmar, beberapa kasus perampasan tanah masih berlanjut hingga saat ini, seperti, perampasan tanah suku Kajang oleh PT. Lonsum, perampasan tanah oleh PTPN XIV di Kabupaten Luwu Utara, Wajo dan Takalar, perampasan tanah masyarakat Karonsi’e Dongi oleh PT. Vale di Tana Luwu, perjuangan Malili melawan PT. Sindoka, masyarakat kawasan karst melawan korporasi pertambangan PT. Bosowa, PT. Semen Tonasa dan korporasi asing lainnya. “Perampasan tanah warga Pandang Raya oleh Goman Wisan, perampasan ruang kelola nelayan pencari kerang Katallassang dengan pemerintah propinsi, kota dan pengusaha (GMTDC) serta kasus-kasus ketidakadilan atas sumber-sumber agraria lainnya.”
Karena itu, untuk Keadilan Agraria, peserta aksi menuntut pemerintah membentuk kementerian agraria, tolak RUU Pertanahan yang akan menggantikan UUPA 1960, membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria, laksanakan land reform/ redistribusi lahan secepatnya, hentikan kriminalisasi rakyat/ petani dan pejuang agraria.
Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Keadilan Agraria yang terdiri dari Walhi Sulsel, LBH Makassar, Lapar, ACC Sulawesi, Aman,Fosis Umi, KPA Wil Sulsel, Esel, KKDG dan Sintalaras UNM juga meminta pemerintah mencabut dan membatalkan megaproyek MP3EI serta Perpres No. 32/2011, cabut UU sektoral yang tidak sejalan dengan UU PA No. 5 tahun 1960, hentikan proyek-proyek yang menggusur dan merampas hak-hak dan sumber penghidupan nelayan seperti reklamasi CPI, Water Front City,jalankan putusan MK No. 35/2012 yang mengembalikan hutan adat ke masyarakat adatserta tuntaskan kasus-kasus korupsi Sumber Daya Alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H