Gunung Bawakaraeng yang terletak di Dusun Lembana, Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan menjadi salah satu destinasi
[caption id="attachment_325898" align="aligncenter" width="300" caption="Ultah ke 24 Mapala UVRI Makassar, melakukan aksi bersih di Dusun Lembana."][/caption]
pendaki lokal maupun pendaki luar Sulsel. Pilihan ini mungkin karena letak Gunung Bawakaraeng dengan ketinggian 2830 mdpl ini terbilang dekat dari Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi Sulsel.
Untuk sampai di kaki gunung yang juga dikenal dengan sebutan 'Mulut Dewa' ini, hanya butuh waktu sekitar 2- 3 jam. Kendaraan roda empat pun sudah sampai di Dusun Lembana--yang menjadi lokasi star untuk menuju puncak Gunung Bawakaraeng. Sebab, jalanan berliku kurang lebih 2 km dari jalan poros menuju ke perkampungan Lembana kini sudah pengerasan. Jadi, akses para pendaki pun makin mudah.
Selain itu, meski masih agak sempit, karena hanya bisa dilalui satu unit mobil tapi lumayan untuk memperlancar perputaran ekonomi masyarakat yang rata-rata adalah petani kol, wortel dan kentang.
Kemajuan yang masih tergolong sederhana ini, setidaknya telah mengubah perekonomian masyarakat di kaki gunung. Ditandai dengan masuknya listrik di Dusun Lembana dan adanya sebagian masyarakat yang telah banting stir membuka toko-toko kecil (kelontong) di rumahnya. Selain itu, masyarakat mulai ketergantungan terhadap produk teknologi seperti televisi, tape, dan dvd. Namun, itu adalah konsekuensi pembangunan yang tidak bisa dihindari.
Rumah masyarakat yang dulu didominasi rumah panggung, sebagai cirikhas bangunan tradisional Bugis-Makassar, saat ini sudah jarang ditemui. Kalau pun ada, ini menjadi minoritas. Namun, sekali lagi saya pertegas itulah efek pembangunan.
Efek pembangunan ini pun berpengaruh terhadap pendaki yang ke puncak Gunung Bawakaraeng. Pada hari Sabtu-Minggu atau hari libur, ratusan pendaki akan ditemui di Gunung Bawakaraeng, entah mereka ke puncak atau hanya sekadar menikmati keindahan Lembah Ramma yang menjadi salah satu daya tarik gunung yang dipercaya memiliki nilai mistis dibanding gunung lain yang ada di Sulsel ini.
Hanya sangat disayangkan, sebagian pendaki (bukan Pecinta Alam) yang datang hanya untuk menikmati alam belum memahami perilaku yang seharusnya ketika berada di gunung. Jika dulu sangat jarang kita menemukan sampah dalam perjalanan menuju puncak Bawakareng, kini tidak lagi. Mulai dari hutan pinus di kaki gunung sampah terlihat bertebaran dimana-mana. Entah ini ulah siapa.
Padahal saya, dan juga teman-teman yang lain saya yakin pernah mempelajari lewat bacaan, pengalaman dan diajarkan oleh pendahulu pendaki, bahwa di gunung pun ada etika yang harus dijalankan. Etika tersebut menjadi aturan tidak tertulis yang wajib diikuti semua penikmat alam dan pecinta alam jika ingin melihat alam ini tetap lestari.
Etika yang saya maksud yakni : jangan mengambil sesuatu kecuali gambar, jangan membunuh sesuatu kecuali waktu dan jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak. Etika ini memiliki makna sangat dalam dan harus direfleksikan oleh siapa saja yang berniat ke alam.