Indonesia masih berada dalam ancaman middle income trap (MIT) yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen selama hampir satu dekade. Namun, urgensi untuk segera keluar dari ancaman tersebut juga menghadapi tantangan lain, yaitu perubahan iklim. Indonesia dituntut untuk menurunkan emisi melalui komitmen Net Zero Emission. Padahal, peningkatan ekonomi dan peningkatan emisi merupakan dua hal yang biasanya berjalan beriringan. Hal ini menjadi penghambat mencapai tujuan Indonesia Emas 2045 yang dua di antara visinya adalah mampu menjadi negara dengan pendapatan per kapita setara negara maju dan mengurangi emisi GRK menuju Net Zero Emission.
Indonesia Emas 2045 bukanlah sebuah angan-angan apabila Pemerintah menjalankan sebuah langkah konkret dan memiliki komitmen serius untuk mencapainya. Ada banyak potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai modal Indonesia untuk mendongkrak perekonomiannya. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kualitas dari potensi-potensi tersebut.
Kelapa Sawit: Kekayaan Bangsa yang Menopang Perekonomian Indonesia
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat berpengaruh terhadap perkenomian Indonesia. Dari sisi produksinya, Indonesia menempati posisi pertama dengan jumlah produksi sebanyak 46,99 juta ton pada tahun 2023. Adapun kontribusi subsektor perkebunan terhadap total PDB adalah sebesar 3,88 persen dan 30,99 persen terhadap sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan atau menempati urutan pertama pada sektor tersebut. Kelapa sawit juga menjadi komoditas ekspor strategis Indonesia dengan total volume ekspor sebesar 38,23 juta ton dan menyumbang devisa sebesar USD 25,61 miliar. Dari sisi penerimaan negara, industri kelapa sawit telah berkontribusi sebesar Rp 88,7 triliun terhadap APBN. Sektor ini bahkan menyerap tenaga kerja sebesar 16 juta dan petani swadaya sebesar 2,4 juta (Kementerian Pertanian, 2024).
Kelapa sawit juga memiliki permintaan yang cukup tinggi karena dapat menghasilkan minyak nabati yang diperlukan oleh berbagai kalangan, antara lain, sebagai minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel). Akibatnya, konsumsi minyak kelapa sawit dalam negeri terus menunjukkan peningkatan selama enam tahun terakhir (Kemenperin, 2023). Peningkatan tersebut juga didorong oleh adanya implementasi kebijakan Biodiesel (B35) secara efektif pada Juli 2022 (GAPKI, 2024). Di luar negeri, konsumsi biodiesel juga sedang menjadi tren, seperti di India dan China, yang disebabkan oleh peningkatan kebutuhan akan bahan bakar bersih dan ramah lingkungan. Permintaan ini diproyeksikan akan terus meningkat karena adanya komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan memperluas penggunaan energi terbarukan dalam sektor transportasi demi mencapai Net Zero Emission.
Dilema Pemanfaatan Sawit di Indonesia
Tekanan global, khususnya dari Uni Eropa, menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mengembangkan komoditas minyak kelapa sawit. Bahkan, Uni Eropa telah mengeluarkan Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang memasukkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau deforestasi. Hal ini tak sejalan dengan target ambisius seluruh dunia yang ingin meningkatkan penggunanaan energi terbarukan, seperti biodiesel. Ini menjadi suatu dilema bagi pasar minyak sawit karena di sisi lain menjadi jawaban bagi transisi energi bersih, tetapi di sisi lain menjadi ancaman bagi lingkungan.
Dilema lainnya adalah Indonesia belum mampu membentuk harga minyak sawit dunia meskipun memegang title sebagai produsen komoditas sawit terbesar. Penurunan harga rata-rata kelapa sawit di pasar internasional sebesar 28,7% berdampak pada penurunan nilai ekspor Indonesia dari US$39,07 miliar pada tahun 2022 menjadi US30,32 miliar pada tahun 2023 (GAPKI, 2024). Kenaikan rata-rata harga jual yang lebih kecil daripada kenaikan rata-rata harga produksinya yang terjadi terus-menerus juga turut memberikan potensi industri kelapa sawit akan kolaps di masa depan apabila tidak ada upaya untuk mengatasinya (Sumarto, 2024). Adanya penurunan harga minyak sawit ini dikhawatirkan akan menurunkan penerimaan negara yang berdampak pada pelemahan ekonomi nasional.
Hilirisasi Kelapa Sawit Berlandaskan Ekonomi Hijau sebagai Solusi dari Dilema yang Terjadi
Roadmap Sawit tahun 2019-2045 yang disusun oleh Kemenperin memuat pengembangan industri hilir sawit dengan tiga jalur utama hilirisasi, yaitu: oleofood kompleks, oleokimia dan biomassa, dan biofuel kompleks. Adapun tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan roadmap tersebut, antara lain: keterjaminan pasokan, kualitas, dan harga sawit mentah dalam negeri; keterbatasan SDM ahli dalam bidang pengolahan sawit; ketertinggalan adopsi teknologi dan inovasi industri pertanian; ketiadaan lembaga khusus yang fokus menangani rantai nilai dari on farm hingga ke pengolahan oleh industri.
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) turut berperan untuk menjawab tantangan hilirisasi kelapa sawit. Lembaga ini berkomitmen untuk mendorong keberlanjutan dan pembangunan sektor kelapa sawit dengan fokus utamanya adalah inovasi. Dengan demikian, BPDPKS harus memastikan bahwa industri kelapa sawit dapat berkembang tanpa mengorbankan lingkungan. Hilirisasi ditujukan untuk menambah nilai jual dari kelapa sawit dan ekonomi hijau dapat menjadikan industri kelapa sawit berkelanjutan.