Pengacara seharusnya menjadi salah satu aparat penegak hukum di Indonesia. Namun miris, sudah terdapat beberapa kasus dimana pengacara / advokat justru malah menjadi salah  satu aparat yang melakukan pelanggaran hukum saat melaksanakan tugasnya sebagai pengacara.Â
Bukannya melaksanakan tugas mereka untuk menegakkan keadilan, mereka justru menghalalkan segala cara untuk bisa memenangkan klien mereka dalam sebuah kasus. Apakah hal ini yang kita sebut menegakkan keadilan?Â
Ataukah justru mereka semata-mata ingin mendapatkan kekayaan saja? Artikel kali ini akan membahas mengenai fenomena yang sudah beberapa kali terjadi dalam penegakan hukum Indonesia ini.
Menurut UU no. 18 tahun 2003, Advokat atau pengacara adalah orang yang memberikan jasa hukum untuk kepentingan hukum klien. Hasanuddin Nasution, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), mengatakan bahwa tugas utama seorang pengacara adalah memberi pendampingan hukum, membela dan memastikan bahwa seorang klien mendapatkan hak-haknya dalam menjalankan proses hukum, bukan untuk semata-mata memenangkan klien. "Advokat bukan untuk mengalahkan atau memenangkan terdakwa, tapi menyelamatkan hak-hak klien. Baik di tingkat peradilan, atau pun tahapan pemeriksaan kepolisian, dan kejaksaan," lanjutnya.
Advokat atau Pengacara akan berhak mendapatkan honarium atau imbalan atas jasa hukum yang diberikannya dari klien. Jumlah dari honarium ini biasanya disepakati oleh Advokat dan klien pada awal dimulainya kerja sama mereka dalam sebuah kasus. Terkadang, kesepakatan inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa seorang advokat akhirnya justru melanggar tugasnya sebagai aparat penegak hukum.
Klien terkadang sudah menjanjikan honarium yang besar kepada Advokat untuk memenangkan kasusnya, sehingga Advokat kemudian memilih untuk melanggar kode etiknya sendiri dengan tidak melaksanakan tugasnya. Pada akhirnya, pengacara justru berusaha memenangkan kasus dengan berbagai cara, seperti melakukan tindak suap kepada hakim atau korupsi, menghalangi penyelidikan, dan memberikan keterangan atau kesaksian palsu.
Beberapa kasus yang sudah pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Advokat Lucas yang menghalangi penyidikan dengan tidak memasukkan tersangka ESI (Eddy Sindoro) ke wilayah yuridis Indonesia melainkan dikeluarkan kembali ke luar negeri.Â
Eddy diduga menyuap panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution terkait pengurusan sejumlah perkara beberapa perusahaan di bawah Lippo Group, yang ditangani di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, pada beberapa tahun silam, kasus yang mungkin masih diingat oleh banyak orang adalah kasus tentang korupsi Gayus Tambunan.Â
Lambertus Palang Ama dan Haposan Hutagalung keduanya merupakan pengacara yang saat itu menangani kasus ini. Lambertus divonis bersalah memberikan keterangan palsu dan merekayasa asal-usul uang Rp 28 miliar dalam kasus tersebut. Haposan Hutagalung juga divonis bersalah karena memberikan keterangan palsu tentang asal usul uang Gayus. Selain itu, dia juga menyuap penyidik Polri, Arafat Enanie dan Komisaris Jenderal Susno Duadji sewaktu menjabat Kepala Bareskrim Polri.Â
Dan juga, pada kasus yang marak belakangan ini, yaitu kasus korupsi e-KTP Setya Novanto, Pengacara Fredrich Yunadi juga diduga telah mencoba menghalangi penyidikan. Yang terakhir, baru saja dalam beberapa hari ini ditemukan dari OTT KPK bahwa seorang Pengacara ternyata terlibat dalam kasus penyuapan disebuah peradilan di Jakarta Selatan.Â
Pengacara-pengacara tersebut mungkin memang diberi honarium yang cukup besar hingga akhirnya mereka pun melakukan banyak cara untuk memenangkan kasus. Dari kasus-kasus diatas, dapat kita lihat bahwa memang rata-rata pengacara yang terjerat kedalam kasus-kasus tersebut adalah pengacara dengan klien dari tersangka korupsi.