Mohon tunggu...
Jery Tampubolon
Jery Tampubolon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Act and Wait. that's my Concept

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mephistopheles- Faust dari Era Reformasi 1999

13 Maret 2012   19:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:06 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1331666593733961269

GOLKAR akhirnya menjagokan B.J. Habibie sebagai presiden, pada pemilu tanggal 7 Juni 1999 yang lalu; supaya mereka yang memilih partai kuning ini tahu siapa yang mereka pilih. Tetapi sulit untuk menemukan pengamat independen yang memuji pilihan Golkar. Kebanyakan para pengamat bilang, dengan calon ini, Golkar sulit bisa menang. Bukankah Habibie murid Soeharto? Di sinilah menariknya. Karena sebenarnya keterkaitan Habibie Soeharto akan makin bisa dipahami menggunakan karya sastra Jerman, tepatnya hikayat Faust-Mephistopheles gubahan pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe yang diterbitkan tahun 1808 dan 1833. Betapa tidak? Begitu paham hubungan Faust dengan Mephistopheles, angkara murka yang berupaya memperoleh nyawa Faust; maka orang pasti akan tergoda untuk mereka-reka, bukankah hubungan itu mirip dengan hubungan Habibie Soeharto, terutama ketika Presiden Ketiga RI itu masih menjabat Menristek dan Wakil Presiden? Banding-Membanding Orang-orang Jerman suka membandingkan hubungan Faust Mephistopheles dengan hubungan Albert Speer dan Adolf Hitler. Angkara murka Hitler mengangkat Speer sebagai putra mahkotanya, setelah sebelumnya kepada Hitler, Speer mengumbar impian teknologi masa depan serba canggih dan menakjubkan. Baik Habibie maupun Speer memang ahli teknologi. Cuma bedanya, B.J. Habibie ahli teknologi pesawat terbang, Speer adalah ahli teknologi bangunan. Soeharto terpana oleh iming-iming teknologi canggih pesawat terbang tawaran Habibie. Maka dana seolah tak terbatas dikucurkan pada IPTN. Jauh sebelum itu, Hitlerpun mabuk kepayang dengan impian Germania, tawaran Speer: kota baru yang akan menjadi ibukota Jerman Raya kaum Nazi. Sampai di sini layak dipikirkan, kenapa baik Hitler maupun Soeharto mengangkat ahli teknologi a-politis sebagai calon penggantinya? Jelas, baik Soeharto maupun Hilter adalah pengagum teknologi canggih. Lebih dari itu, dengan mengangkat dua tokoh a-politis Habibie maupun Speer, kedua penguasa mutlak itu berupaya mengelak ancaman terhadap kekuasaannya. Memang begitulah, Hitler mati dalam keadaan terjepit sehingga ia menembuskan peluru ke pelipisnya. Sialnya, Speer belum sempat mewujudkan impian Germania dan juga ia belum lagi disumpah sebagai penguasa tertinggi Jerman, sementara sekutu keburu membumihanguskan negeri itu. Sedangkan Soeharto jelas jatuh bukan oleh ulah Habibie, putra mahkotanya. Alhasil, kalau orang Jerman berani membandingkan hubungan Faust-Mephistopheles dengan hubungan Hilter-Speer, kenapa kita tidak berani membandingkan hubungan Faust-Mephistopheles itu dengan hubungan Soeharto-Habibie, terutama sebelum Habibie diangkat sebagai Presiden ketiga RI? Ada satu hal lagi yang membuat perbandingan itu sangat masuk akal, penting, mendesak dan sangat relevan. Itulah aspek Jermannya. Sebagai seorang lulusan Jerman, Presiden Habibie jelas tahu, paling sedikit pernah dengar, cerita Faust-Mephistopheles, dan bagaimana orang Jerman memparalelkan hubungan kedua tokoh itu dengan hubungan Hitler-Speer. Hikayat Faust Siapakah sebenarnya Mephistopheles dan Faust? Pujangga Jerman Johann Wolfgang von Goethe melukiskan tokohnya ini, Faust, sebagai seorang gurubesar filsafat yang tengah putus asa. Begitu tidak betahnya, ia ingin bunuh diri, tetapi sebelum itu Faust sempat menghujat Tuhan dan memanggil Setan. Maka muncullah Mephistopheles yang buru-buru menawarkan kekayaan, kekuasaan dan kemuliaan. Tetapi Faust hanya menginginkan seorang perempuan yang telah lama dikasihinya, itulah Margaretha. Mephistopheles setuju; di dunia Faust tetap sebagai tuan, tetapi di dunia bawah, peran itu akan dibalik. Angkara murkalah yang berkuasa. Sejenak Faust sempat ragu atas tawaran ini. Segera pula Mephistopheles menampilkan Margaretha, perempuan idaman Faust. Ia tidak menghadapi pilihan lain kecuali setuju, profesor filsafat ini menandatangani kontrak dengan Mephistopheles, ia telah menjual nyawanya kepada Setan. Faust memang berhasil mempersunting Margaretha, terutama setelah perempuan ini tergila-gila kepadanya, lantaran santhèt Mephistopheles. Tetapi di akhir cerita Faust harus menepati kontraknya, membayarkan nyawanya kepada Mephistopheles, yang serta merta merangkul Faust menuju neraka, ke dunia bawah. Yang menarik dan relevan memang bukan dongeng Faust secara keseluruhan, apalagi sampai akhir yang begitu seram. Bagi kita di Indonesia yang menarik adalah adegan ketika Mephistopheles menawarkan kekayaan, kekuasaan dan seterusnya kepada Faust. Kalau orang Jerman berani melihatnya sebagai tawaran Hitler kepada Speer, maka kita juga harus berani melihatnya sebagai tawaran Soeharto kepada Habibie. Bukankah Habibie diangkat oleh Soeharto? Bukankah Habibie dulu mengaku bahwa gurunya yang terhebat yang patut mendapat gelar profesor adalah Soeharto, bahkan sampai-sampai Soeharto disebutnya sebagai SGS atau Super Genius Soeharto? Bukankah selama 20 tahun mendampingi Soeharto, Habibie berhasil memperoleh semuanya, kekayaan, kekuasaan dan kemuliaan? Di Australian National University, Canberra, dalam Seminar Indonesia Update 1998, akhir September lalu, penasehat Presiden Habibie, Dewi Fortuna Anwar memperingatkan bahwa pada dasarnya, karena sampai pernah menjabat wakil presiden industri pesawat terbang Jerman Messerschmidt-Bulkow-Blohm (MBB), Presiden Habibie itu sudah kaya sebelum diangkat menjadi menteri. Dewi Fortuna Anwar mungkin benar, tetapi di jaman reformasi ini, seorang presidenpun harus bersikap transparan, juga dalam perkara kekayaan pribadinya. Akhir hikayat Faust memang berbeda dengan akhir nasib Hitler. Faust berhasil digondol Mephistopheles masuk neraka. Hilter malah keburu bunuh diri, sementara Albert Speer harus menghadap Tribunal Nürenberg yang mengadili para gembong Nazi. Di Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden, sehingga sebagai wakil presiden, Habibie kemudian disumpah menggantikannya menjadi presiden Indonesia ketiga. Adakah dengan begitu kita menumbuk jalan buntu untuk bisa berlanjut mencari paralel antara Habibie, Faust dan Speer? Bukankah Habibie kini telah berhasil melampaui baik Faust maupun Speer? Bukankah sebagai Faust, Presiden Habibie telah berhasil mengalahkan Mephistopheles dan sebagai Speer ia telah berhasil mengalahkan Hitler? Terlebih dahulu harus dicatat bahwa baik Faust maupun Speer menemui nasib malang itu, terutama karena hubungan dekat mereka dengan Mephistopheles maupun Hitler. Jadi, yang penting di sini bukannya apakah seseorang sudah berhasil melampaui nasib orang lain atau bukan, melainkan hubungan seseorang dengan angkara murka. Hubungan itulah yang menyebabkan Faust maupun Speer sulit merubah nasibnya. Melihat hubungan Soeharto Habibie, sulit untuk bisa ditegaskan bahwa Habibie akan tidak senasib dengan Faust maupun Speer. Sebagaimana hubungan itu sulit disangkal, sebagaimana itu pula nasib sulit ditangkal. Oleh karena itu, kesimpulan bahwa Habibie sudah bebas dari nasib Faust maupun Speer baru akan masuk akal kalau semua orang sudah menerima kepresidenan Habibie sehingga tahun depan tidak perlu diadakan pemilu. Bukankah sebagai penerus Soeharto, Habibie layak menduduki jabatannya sampai tahun 2003 (ketika itulah pemilihan umum baru layak diadakan lagi)? Kenyataan jelas bicara lain. 7 Juni mendatang akan digelar pemilu, oleh karena itu sulit untuk bisa memastikan bahwa Habibie sudah berhasil melampaui Faust maupun Speer. Variasi Faust Tapi, bisa dipastikan masih terluang kesempatan bagi Presiden Habibie untuk tidak menjadi Faust maupun Speer. Syarat utamanya: Habibie harus memperlakukan kepresidenannya sebagai periode peralihan sementara belaka, untuk memberi kesempatan kepada tokoh lain (Megawati?) menjadi Presiden RI keempat. Kalau Habibie tetap ingin bertahan dengan semua cara, jadi berbuat apa saja supaya Golkar menang, niscaya ia akan senasib dengan Faust (diseret ke neraka) atau senasib dengan Albert Speer yang diajukan ke pengadilan. Di sini pulalah signifikansi ucapan Habibie –di depan AMPI Oktober tahun lalu– bahwa ia tidak mau jatuh dengan cara tidak enak, seperti yang sudah dialami dua pendahulunya. Insyaalah, Habibie sudah menampik nasib Faust maupun Speer. Yang jelas –lain Habibie, lain Speer dan lain pula Faust– kepada sobat-sobatnya di Jerman Presiden B.J. Habibie bisa berbangga karena berhasil menggubah variasi baru pada tema Faust Mephistopheles dan Speer Hitler. Baru, karena dirinya tidak perlu presis senasib dengan "dua pendahulunya" dalam khazanah politik sastra Jerman, yang pasti bukan hal baru baginya. Radio Hilversum, Juni 1999. kutipan :  "Joss Wibisono"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun