Keragaman di Indonesia merupakan suatu hal keniscayaan. Keragaman ini meliputi banyaknya suku, agama, ras, maupun aliran kepercayaan. Apabila kita mengangkat satu topik saja yaitu terkait keragaman suku, tentunya dapat dilihat komparasi yang jelas antara keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia dengan negara lainnya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik yang Penulis ambil dari Portal Informasi Indonesia, terdapat 1300 suku bangsa di Indonesia. Jika dibandingkan negara besar lainnya yaitu Amerika yang hanya memiliki 5 suku bangsa. Dan, Rusia yang hanya memiliki 185 suku bangsa. Dengan mengacu kepada perbandingan kedua negara ini, maka dapat dikatakan Indonesia sebagai suatu negara memiliki bangsa yang lebih beragam.
Â
Dalam hal membahas keragaman, tentunya kita tidak boleh melupakan terkait ajaran multikulturalisme. Multikulturalisme diawali dengan teori melting pot yang sering diwacanakan oleh J Hector yang mana menekankan kepada penyatuan budaya dan melelehkan budaya asal. Teori ini didasarkan kepada penyatuan bangsa kulit putih dan kulit hitam di Amerika. Jika didefinisikan secara sederhana, maka multikulturalisme merupakan pandangangan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam menyangkut nilai-nilai, sistem social-budaya, dan politik yang mereka anut.
Â
Dalam konteks di Indonesia, multikulturalisme erat kaitannya dengan bhinneka tunggal ika. Bhinneka tunggal ika dirumuskan oleh Mpu Tantular yang mana pada dasarnya adalah sebuah pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan di kerajaan Majapahit. Dalam pemaknaannya, bhinneka tunggal ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Bhinneka tunggal ika ini merupakan salah satu konsensus yang terdapat pada Wawasan Kebangsaan.
Â
Pada pelaksanaannya di masyarakat Indonesia yang beragam, konsensus Bhinneka Tunggal Ika ini merupakan ruh dan jiwa khas Indonesia guna mengatasi perpecahan yang sangat mungkin terjadi di masyarakat. Kita dapat berkaca kepada negara Yugoslavia yang memiliki keragaman seperti Indonesia. Negara Yugoslavia telah pecah menjadi 7 negara karena tidak bisa menjaga keragamannya. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat keragaman di Indonesia serupa dengan Yugoslavia. Dalam satu pulau sebagai contoh Pulau Sumatera, terdapat suku Aceh, Batak, Melayu, Gayo, Minang, dan suku besar lainnya. Tiap suku tersebut berinteraksi dan berpotensi untuk bermusuhan antara satu dengan lainnya mengingat perbedaan yang sangat besar. Suku Aceh yang mayoritas beragama muslim dapat bermusuhan dengan suku Batak yang mayoritas beragama Kristen. Akan tetapi, bhinneka tunggal ika hadir menjadi perekat terhadap keragaman yang ada di Indonesia. Dengan hadirnya Bhinneka Tunggal Ika tersebut, setiap perbedaan yang berpotensi konflik besar maka wajib diminimalisasi konfliknya menjadi kecil. Begitu pula konflik yang kecil maka wajib dihilangkan.
Â
Dikaitkan dengan Aparatur Sipil Negara, Bhinneka Tunggal Ika menjadi nilai yang wajib diinternalisasikan sebagai perpanjangan tangan pemerintah di masyarakat. Aparatur Sipil Negara merupakan tokoh yang penting sebagai perekat dan pemersatu keragaman di masyarakat. Disini Aparatur Sipil Negara berkedudukan sebagai penjaga harmoni dan persatuan masyarakat. Sebab, tanpa adanya seorang penjaga, maka perpecahan dan disintegrasi akan sangat mudah terjadi di masyarakat yang beragam.
Â
Aparatur Sipil Negara dalam kedudukannya sebagai penjaga harmoni dan persatuan masyarakat harus memiliki kompetensi dan pengetahuan yang utuh terhadap pemaknaan keragaman. Dalam membuat dan melaksanakan kebijakan publik, Aparatur Sipil Negara harus memasukkan unsur dan nilai keberagaman. Kebijakan tersebut tidak boleh bersifat diskriminatif dan hanya menguntungkan satu kelompok agama saja. Kebijakan tersebut harus mengakomodir nilai keragaman agar mencegah terjadinya disintegrasi dan perpecahan di masyarakat. Dengan adanya kebijakan publik yang mengandung nilai keragaman tersebut, tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat saja. Akan tetapi, kebijakan tersebut akan terlaksana dengan mudah dan tanpa ada resistensi di masyarakat. Sehingga kebijakan tersebut dapat dieksekusi dengan baik dan mempermudah Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahannya. Hal ini tentunya dapat mempermudah Pemerintah dalam hal ini Aparatur Sipil Negara guna mencapai dan memenuhi tujuan negara yang termuat di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.