Mohon tunggu...
Jery Rhainhart Tampubolon
Jery Rhainhart Tampubolon Mohon Tunggu... IT Specialist | Social Justice/Activist | Photographer -

"All Humans Have Rights Let Them Be Equal"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yahudi dan Israel

23 Juli 2017   12:44 Diperbarui: 23 Juli 2017   12:49 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Louis-Napoleon was elected President of France largely on the basis of wide peasant support.

Tapi pada saat yang sama, Herzl juga melihat zionisme sebagai proyek pemberadaban yang mengemban mission civilicatrice. Ini terlukis dalam novel utopianya,The Old-New Land (1902). Novel ini berkisah tentang Friedrich Loewenberg, Yahudi asal Wina yang melancong ke Macedonia dan mampir ke Yerusalem. Di sana ia menemukan betapa Yerusalem adalah tanah yang tandus tak terurus, dengan perkampungan Arab yang kumal. Namun betapa takjub Loewenberg ketika ia singgah sekian puluh tahun lagi, karena Yerusalem berhasil disulap oleh kaum zionis sebagai metropolitan yang bersih, dan makmur. Yang ada di benak Herzl, negara Israel akan menjadi seperti Swis. Israel, kata Herzl, akan menjadi "bagian dari benteng Eropa berhadapan dengan Asia, markas peradaban Barat untuk menangkal barbarisme Timur.

Di tanah yang baru ini, masih menurut Herzl, Yahudi tidak lagi menjadi target serangan antisemitisme seperti terjadi di Eropa, di mana Yahudi ditampilkan sebagai sosok yang "kotor, licik, parasit, lembek." Karena "Yahudi baru" ini tampil sebagai sosok yang "rasional, kuat, beradab."

Dengan kata lain, di Eropa, Yahudi diperlakukan sebagai "yang lain." Namun di tanah Israel, Yahudi bermetamorfosis menjadi Eropa yang memosisikan Arab sebagai sebagai "yang lain." Untuk menghapus identitas ke-"yang lain" annya di Eropa, Yahudi eskit dari Eropa. Di luar Eropa is menjadi Eropa. Jika di "Barat" Yahudi adalah "Timur," maka di Timur ia menjadi "Barat."

Dua unsur utama zionisme politik ini (pemujaan terhadap supremasi kekuatan fisik dan persepsi diri sebagai pembawa peradaban Barat) pada akhirnya menjelaskan kenapa bangsa Arab/Palestina sama sekali tak muncul dalam narasi zionisme? Lihat saja semboyan mereka tentang Palestina, "tanah tanpa bangsa untuk bangsa tanpa tanah." Atau simak ungkapan Golda Meir, mantan perdana mentri Israel, "tidak ada yang namanya rakyat palestina." Di sinilah letak ironi zionisme: ia lahir sebagai respon terhadap "persoalan Yahudi" di Eropa, tetapi ia memunculkan "persoalan Arab, " atau meminjam judul buku Edward Said, the question of Palestine.

Berbeda halnya dengan zionisme kultural yang dipelopori oleh Ahad Haam, tokoh zionis asal Rusia yang hidup semasa dengan Herzl. Ahad Haam mengartikan upaya kembali ke tanah zion lebih dalam kerangka spiritual dan bukan politik, yakni sebagai manifestasi dari renaisans kultural Yahudi. Di mata Haam, pertautan bangsa Yahudi dengan Zion sesungguhnya berada pada level moral dan spiritual, sebagai jalan untuk merealisasikan nilai utama keyahudian, yakni Tikkun Olam (memperbaiki dunia). Inilah yang menjelaskan kenapa sejak awal Haam bersebarangan dengan Herzl. Bahkan dalam Kongres Zionis pertama pada 1898 mereka berdua tidak saling menyapa.

Sejalan dengan Haam, Martin Buber juga menolak zionisme politik Herzl dan Nordau. Penolakan Buber bertolak dari penghargaannya terhadap eksistensi bangsa Arab di Palestina dan hasratnya menjalin relasi yang otentik dengan mereka, dalam kerangka relasi I-Thou. Bagi Buber, berdirinya negara Israel tidak akan menyelesaikan persoalan Yahudi manakala kaum Yahudi mengabaikan fakta bahwa tanah Israel pada dasarnya milik dua bangsa, masing-masing dengan klaimnya sendiri. Negara yang berdiri di atsa tanah tersebut mestilah berbentuk negara dwi-bangsa, bukan negara Yahudi. Atas dasar itulah Buber menentang The Law of Return dan upaya pemerintah Israel untuk mendatangkan imigran Yahudi secara besar-besaran untuk mencapai status mayoritas.

Dengan paparan di atas, saya mencoba menunjukkan betapa pro daa kontra di kalangan Yahudi terhadap Zionisme ternyata berlangsung dengan tajam dan tak jarang saling menafikan satu sama lain. Bahkan di kalangan internal kubu Zionis, pertentangannya juga sangat keras. Setidaknya itu terjadi sampai akhir 1940an, ketika akhirnya negara Israel berdiri pada 1948.

Tapi seperti apa pertengkaran internal di kalangan Yahudi mengenai zionisme setelah negara Israel berdiri? Dan bagaimana setelah Israel menang telak atas negara2 Arab pada Perang Enam Hari pada 1967?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun