- Saya tidak yakin.
- Anda tidak yakin?
- Yahh, saya menulis surat untuk istri saya ketika saya berada di penjara. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya pergi untuk waktu yang lama, dan jika dia tidak tahan lagi, atau jika anak-anak terus bertanya-tanya - jika terlalu banyak masalah - yah, dia bisa melupakan aku, aku akan mengerti. Cari pria lain, bangunlah kembali hidupmu, dan lupakan aku. Dia seorang wanita yang luar-biasa - seorang yang benar-benar baik. Aku mengatakan bahwa ia tidak perlu membalas surat saya. Dan dia tidak pernah membalasnya selama tiga setengah tahun ini.
- Dan Anda akan pulang, sekarang ... tidak tahu?
- Yeahh, katanya dengan enggan. - Minggu lalu, ketika saya tahu hari pembebasanku akan tiba, aku mengirimkan surat lagi. Kami tinggal di Brunswick, tepat sebelum Jacksonville. Disana ada pohon Oak besar tepat saat anda masuk ke kota. Saya mengatakan kepadanya bahwa jika dia ingin aku kembali, ia harus meletakkan sebuah saputangan kuning di pohon, dan aku akan turun dari bus dan pulang ke rumah. Tapi jika dia tidak ingin aku kembali, lupakan saya - tidak usah ada saputangan, dan aku akan terus berjalan.
Wow, gadis itu berkata,- Wow!
Gadis itu menyampaikan kisah itu pada temannya yang lain, dan segera seisi bus pun mengetahuinya. Saat itu mereka menuju Brunswick, sambil melihat foto-foto yang ditunjukkan Vingo kepada mereka tentang istri dan tiga anak-anaknya. Wanita itu, cantik dengan penampilan sederhana, sementara anak-anak kurang jelas terlihat pada foto-foto yang agak rusak karena sering dipegang.
Sekarang mereka 20 mil dari Brunswick, dan anak-anak muda itu pindah ke kursi jendela sisi kanan, menanti munculnya pohon ek besar. Kini bus itu dipenuhi suasana hati yang redup, penuh keheningan yang disebabkan oleh ketidakhadiran dan tahun-tahun yang hilang. Mata Vingo berhenti mencari, dia memasukkan wajahnya ke tudung baju mantan napi-nya, sambil menguatkan hatinya untuk tegar menghadapi kekecewaan lain.
Kemudian Brunswick tinggal sepuluh mil lagi, dan kemudian lima. Kemudian, tiba-tiba, semua orang muda itu berdiri dari tempat duduk mereka, menjerit dan berteriak dan menangis, menari-nari kegirangan. Semua orang kecuali Vingo.
Vingo duduk di sana tercengang, memandangi pohon oak besar itu. Pohon itu dipenuhi dengan saputangan kuning, ada dua puluh, tiga puluh, mungkin ratusan - sebuah pohon yang kini berdiri bagai spanduk selamat datang melambai-lambai ditiup angin.
Bersamaan anak-anak muda berteriak dan menyelamatinya, si mantan narapidana bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke bagian depan bus untuk pulang ke rumahnya.