Fokker F50 pesawat penumpang sipil komersil kecil bertenaga turboprop milik TransNusa menjejakkan 6 rodanya di Bandara Mali kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur, semakin menambah kagum akan keindahan Pulau Alor, yang sebelumnya dapat dinikmati selama penerbangan dari Kupang ke Alor.
Suhu udara lokal, Rabu (07/05/14), mencapai 86 derajat Fahrenheit atau 30 derajat Celsius, membuat keringat langsung bercucuran tanpa kompromi, namun di bandara yang tergolong kelas IV/A dimana crew bandaranya tidak kalah gesit dengan bandara kelas diatasnya, apalagi senyum ramah khas Alornya, membuat langsung sejuk hati rasanya.
Ketersediaan transportasi umum dari Bandara Mali masih terbatas, sehingga para pelancong harus mencarter travel atau menggunakan jasa ojek tidak resmi, itu pun tidak mudah ditemui.
Tujuanku kali ini adalah Apui. Apui bagian dari Desa Kelaisi Timur Kecamatan Alor Selatan Kabupaten Alor, berjarak 48,5 km dengan waktu 1 jam 30 menit dari Bandara Mali atau 47,8 km dengan waktu tempuh 1 jam 25 menit dari Kalabahi, Ibukota Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur Indonesia.
Perjalanan menuju Apui, sangat bervariasi, karena Pulau Alor sendiri secara topografi sebagian besar memiliki kemiringan di atas 40 derajat mencapai 64,25% dan Kemiringan 15–40 derajat mencapai 25,61%, namun Yoppie driver innova yang aku carter selain ramah, sangat mengedukasi tentang informasi Alor juga kooperatif, sehingga perjalanan yang berliku-liku tetap sangat menyenangkan. Perjalanan makin menyenangkan disaat kita dapat melihat langit biru dan juga tepian laut yang berwana senada, pemandangan yang jarang didapatkan di Ibukota Jakarta ataupun Bandung, ehmmm mantaaapss meen ...
Setiba di Apui langsung menemui Bapak Noh Mautakai, person in charge untuk tujuan ini, namun kalo untuk menginapnya di rumah Bapak Agustinus Kepala Sekolah SDN Apui Desa Kelaisi Timur Kecamatan Alor Selatan Kabupaten Alor, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Siang ke sore, pesona keindahannya semakin lengkap, di Apui tidak hanya karena kita dapat memandang langit birunya saja, namun di ketinggian 951 meter dari permukaan air laut (mdpl) ini, masyarakat lokalnya sangat ramah, sehingga tidak terasa cepatnya langit biru pun berganti temaramnya senja.
Perlahan, semula langit biru sepanjang mata memandang telah berubah menjadi gelap, dan satu persatu bintang mulai tampak, semakin tambah merambat malam, semakin banyak bintangnya, melihat bintang tanpa alat bantu, sungguh fantastis meen .... jarang sekali aku dapatkan di Jakarta.
Walo di daerah terpencil, namun malam ini menjadikan aku dan teman-teman baruku di Apui Alor NTT, seakan kami sedang berpesta dengan Taburan Bintang Maha Maestro. Sungguh meen ... taburan bintang di langit, yang aku ga tau berapa persis jumlahnya, seakan menjadi kanvas yang maha luas dengan berlukiskan seuluruh keindahan angkasa raya milik sang Maha Maestro, Pencipta segala isi alam semesta ini.
“Bapa .. coba dengar lagu ini” ujar Alfred tiba-tiba. Dia adalah temen Apui yang mendampingiku.