bunuh diri yang terjadi di dua perguruan tinggi swasta di Surabaya menjadi sorotan publik. Kedua korban adalah mahasiswa dan mahasiswi yang dikenal berprestasi dan tidak memiliki masalah dengan studi mereka. Meski demikian, keduanya melakukan tindakan bunuh diri dengan mekanisme yang sama, yakni meloncat dari gedung kampus masing-masing. Sang mahasiswi dari lantai 22 dan sang mahasiswa dari lantai 12. Kejadian ini mengundang pertanyaan mendalam: apakah bunuh diri semata-mata merupakan problematika individu, ataukah ada kaitannya dengan kondisi masyarakat yang lebih luas? Apakah tindakan ini sekadar disebabkan oleh depresi, ataukah masalahnya jauh lebih kompleks? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa memanfaatkan dua konsep sosiologis yang terkenal, yaitu verstehen dari Max Weber dan tipologi bunuh diri dari Émile Durkheim.
   Baru-baru ini, dua kasus   Verstehen adalah konsep yang dicetuskan oleh Max Weber dalam bukunya "Wirtschaft und Gesellschaft" (Economy and Society) yang diterbitkan pada tahun 1922. Konsep ini menekankan pentingnya memahami tindakan individu dari sudut pandang pelaku itu sendiri. Dalam konteks kasus bunuh diri di atas, memahami verstehen berarti kita mencoba menggali alasan di balik keputusan kedua mahasiswa tersebut untuk mengakhiri hidupnya. Menurut Weber, setiap tindakan manusia memiliki alasan, sehingga penting untuk memahami apa yang mendorong kedua mahasiswa tersebut untuk melakukan tindakan tragis ini.
   Alasan di balik tindakan bunuh diri ini juga dapat dianalisis menggunakan tipologi bunuh diri yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897). Durkheim mengklasifikasikan bunuh diri menjadi empat tipe: egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Dalam kasus ini, tipologi yang relevan adalah bunuh diri egoistik, yaitu situasi di mana individu merasa terasing dari masyarakat, yang bisa meliputi lingkungan terdekat seperti keluarga dan teman. Rasa keterasingan ini sering kali menjadi pemicu utama tindakan bunuh diri. Dalam konteks kedua mahasiswa tersebut, depresi yang dialami kemungkinan besar berasal dari perasaan terasing dan kurangnya keterhubungan sosial dengan orang-orang di sekitar mereka.
   Meskipun ditemukan bahwa depresi menjadi faktor utama dari tindakan kedua korban, depresi bukanlah kondisi yang sederhana. Depresi adalah masalah kompleks yang sering kali sulit diungkapkan oleh mereka yang mengalaminya. Banyak individu yang mengalami depresi memilih untuk menutup diri dan tidak memperlihatkan kondisi mereka kepada orang lain. Di sinilah peran lingkungan menjadi sangat penting. Lingkungan, terutama keluarga, harus mampu menciptakan suasana yang mendukung sehingga individu tidak merasa terasing. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat perlu menerapkan konsep verstehen dengan berusaha memahami perasaan dan kebutuhan anggota keluarganya secara mendalam.
   Ketika keluarga dan lingkungan berusaha memahami individu yang mengalami kesulitan, mereka dapat menciptakan rasa aman dan keterhubungan yang sangat dibutuhkan. Individu yang merasa diterima dan dipahami akan lebih mungkin terbuka tentang kondisi yang mereka alami, sehingga bisa mendapatkan bantuan yang tepat. Banyak orang yang mengalami depresi mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas, dan itulah sebabnya kita semua perlu lebih peka terhadap lingkungan di sekitar kita.
   Semoga dengan adanya upaya dari keluarga dan lingkungan untuk memahami serta mendukung individu yang sedang mengalami kesulitan, kasus-kasus bunuh diri seperti ini dapat dicegah di masa depan. Mari kita semua berusaha untuk lebih peduli terhadap orang-orang di sekitar kita, sehingga tidak ada lagi yang merasa sendirian dan putus asa. Semoga kedua mahasiswa yang telah pergi dapat beristirahat dengan tenang, dan kita dapat belajar untuk membangun masyarakat yang lebih empatik dan peduli terhadap sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H