Selamat datang di Indonesia dimana yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.
Meiliana, seorang warga di daerah Tanjung Balai, Medan, Sumatra Utara ini terjerat suatu kasus "penistaan agama". Awalnya bermula pada hari Senin tanggal 29 Juli 2016 dimana Meiliana menyampaikan suatu protes mengenai suara adzan maghrib yang menurutnya menggema dan keras di salah satu masjid bernama Masjid Al Maksun. Ia menyampaikan protes dan keluhan hatinya kepada seorang tetangganya yang juga salah seorang nazir masjid bernama Kasidik. Lalu, Kasidik memberi tahu komplain tersebut kepada jemaah Masjid Al Maksun.
 Harris Tua Marpaung selaku Imam Masjid Al Maksun bersama beberapa Badan Kemakmuran Masjid (BKM) mendatangi rumah Meiliana. Terjadi perdebatan dan pertengkaran mulut di rumah Meiliana. "Lu, Lu yaa (sambil menunjuk ke arah jemaah masjid). Itu masjid bikin telinga awak pekak. Kalau ada pula jemaah minta berdoa, minta kakilah bujang, bukannya angkat tangan," ucap Meiliana seperti diceritakan Harris Tua saat dijumpai Tempo di Masjid Al Maksun pada Kamis, 4 Agustus 2016. Namun, hal itu dibantah oleh seorang kuasa hukum Meiliana, yaitu Ranto Sibarani.Â
Ia menegaskan bahwasannya Meiliana sebenarnya hanya mengeluh kepada Kasidik dan kalimat yang disampaikan adalah ""Kak, dulu suara Mesjid kita tidak begitu besar ya, sekarang agak besar ya", dengan nada yang pelan. Dalam sidang vonis hukuman atas Meiliana, Ranto Sibarani meminta hal itu agar dibuktikan dengan rekaman sebagai bukti nyata. Ranto menegaskan lagi bahwasannya kalimat itu berkembang kemana-mana dan berbeda dengan kalimat aslinya. Kalimat Meiliana telah diatur agar terkesan menista agama oleh pihak-pihak yang benar-benar tidak bertanggung jawab.
 Perdebatan di rumah Meiliana tidak berlangsung lebih lama lagi karena suami Meiliana, Lian Tui, meminta maaf kepada jemaah Masjid Al Maksun. Jemaah Masjid makin emosi dan akhirnya membawa Meiliana ke kantor Kelurahan Tanjung Balai Kota 1. Meiliana pun disoraki dan dicaci maki oleh masyarakat meskipun Ia telah meminta maaf di hadapan Lurah Tanjung Balai Kota 1, Edy Muriadi. Edy akhirnya membawanya ke Polsek Tanjung Balai.Â
Selama proses mediasi (penyelesaian konflik melibatkan pihak ketiga yang netral). Namun di tengah mediasi, sekitar pukul 21.30 WIB terjadi sebuah kerusuhan di rumah Meiliana. Pelaku kerusuhan diduga dilakukan oleh penduduk dari luar kelurahan Tanjung Balai Kota 1. Mereka menyerbu berbagai kelenteng dan vihara di kelurahan tersebut (Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera). Dampaknya 3 vihara, 8 kelenteng, dua yayasan Tionghoa, dan rumah Meiliana rusak. Pelaku pengrusakan diseret dan dihukum sekitar 1-3 bulan penjara.
Usai mendengarkan vonis, Meiliana tampak sedih dan tertunduk lesu. Keputusan Hakim yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Tanjung Balai. Kuasa hukum Meiliana menegaskan kembali bahwa akan banding karena memang tidak ada bukti mengenai kasus ini. Ratno menjelaskan bahwa dakwaan menyebutkan bahwa Meiliana melarang suara azan, namun nyatanya Meiliana hanya mempertanyakan mengapa suara azan dari Masjid Al Maksun agak besar.Â
Hal itu dibenarkan oleh saksi yang ditanyai oleh Meiliana. Sementara itu, dalam proses persidangan hanya ada alat bukti berupa dua unit pengeras suara merek TOA dan amplifier merek TOA. Alat bukti itu fungsinya apa? Alat bukti itu menjelaskan dakwaan yang mana?. Sangatlah tidak masuk akal. Alat bukti lain adalah surat pernyataan yang ditandatangani oleh 100 orang anggota BKM Al Maksun dan Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa Meiliana menistakan agama. Hanya itu. Hal itu sama sekali tidak menunjukkan bukti nyata kronologis kejadiannya. Padahal, bukti yang sangat kuat adalah rekaman, tapi tidak ada yang memberikan bukti rekaman sama sekali.
Sila ke-5 berbunyi "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia". Itulah bunyi sila ke-5 Pancasila yang katanya menjadi dasar Negara kita, tapi nyatanya? Banyak sekali di Indonesia ini khususnya, perbedaan menjadi halangan untuk memersatukan bangsa. Vonis yang dijatuhkan ke Meiliana adalah 1 tahun 6 bulan, sedangkan hukuman yang dijatuhkan kepada pengrusak vihara dan kelenteng hanya 3 bulan. Perbandingannya 1:6. Merusak sarana dan prasarana masyarakat lain hanya dijatuhi 3 bulan penjara, sedangkan Meiliana yang menyuarakan isi hatinya kepada tetangga dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan dan dibilang menistakan agama.Â
Berarti merusak tempat ibadah tidak dikatakan menista agama? Mau ditaruh mana wajah bangsa Indonesia? Miris sekali keadilan yang ada di Indonesia. Minoritas kalah dengan mayoritas. Mengatasnamakan kekuatan agama yang manyoritas untuk menindas yang lemah. Perbedaan bagaikan pisau bermata dua. Seharusnya perbedaan itulah yang menjadi kekuatan bangsa kita. Karena kita tidak sama untuk itulah kita kerja sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H