“Wah, udah pasti temannya pelakunya. Siapa lagi, kan?”
Teringat awal Januari 2016 tidak lama setelah bel masuk sekolah, saya masuk ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas yang terlambat, untuk informasi tambahan pada saat itu saya adalah siswa akhir Sekolah Menengah Atas. Terlihat beberapa guru sedang menonton berita pagi di televisi sambil mengomentari isi yang diberitakan, kopi sianida. Kasus tersebut sangat menyita perhatian masyarakat indonesia, bahkan ada beberapa media asing yang memberitakannya. Hal tersebut sangat dimaklumi, karena metode pembunuhan menggunakan sianida termasuk jarang sekali terjadi.
Tidak berhenti sampai di situ ternyata proses persidangannya juga disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun televisi swasta dan berlangsung sampai beberapa bulan kemudian. Banyak masyarakat Indonesia yang sengaja meluangkan waktunya untuk menonton proses persidangan melalui layar kaca. Bonus dari siaran secara langsung ini adalah masyarakat yang mungkin belum pernah sama sekali beracara di pengadilan menjadi tahu bagaimana sebuah persidangan berlangsung, termasuk saya yang merupakan orang awam pada saat itu. Saksi berganti saksi dan ahli berganti ahli. Tensi menjadi tinggi ketika penuntut umum berdebat dengan penasihat hukum. Saya ingat sekali pada saat itu ada dua orang Ahli Hukum Pidana yang didatangkan ke Pengadilan. Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Profesor Edward Omar Sharif Hiariej dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Profesor Masruchin Rubai. Sebagai seorang awam tentu kata-kata asing yang dikeluarkan oleh ahli menjadi sesuatu yang terlihat luar biasa.
Tidak diakuinya Presumption Of Innocence
“seseorang tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah”. Berasal dari maksim latin kuno Ei Incumbit Probatio qui dicit, non qui negat—“Proof lies on him who asserts, not on him who denies”. Maksim latin kuno ini adalah salah satu yang paling banyak dikenal oleh khalayak umum. Pada saat kasus ini menjadi perhatian publik, banyak media massa berlomba-lomba mengundang para ahli non-hukum dan meminta masyarakat awam untuk memberikan opininya. Muncul beberapa pakar Mikro Ekspresi yang diundang oleh televisi lalu memberikan opininya, bagaimana gerak tubuh Jessica di Kafe Oliver, bagaimana ekspresi Jessica pada saat mengikuti persidangan, dan dengan beraninya memberikan arah kesimpulan bahwa Jessica bersalah dan dialah pelakunya. Padahal proses persidangan masih berlangsung. Sungguh penghinaan terhadap badan peradilan. Presumption of innocence dikesempingkan, muka pengadilan dilangkahi.
Circumstantial Evidence
Tidak terasa tiga tahun setelah kasus tersebut bergulir, saya menjadi seorang mahasiswa hukum. Teringat jelas pada persidangan waktu itu bukti kuat hanyalah kandungan sianida yang terdapat di dalam kopi. Selebihnya penuntut umum hanya menggunakan Circumstantial Evidence. Tailor A. (2000) mengatakan bahwa Circumstantial Evidence adalah ketidakmampuan alat bukti untuk membangun fakta secara langsung.1 Tailor mengilustrasikannya sebagai berikut tidak ada yang melihat tersangka melakukan pembunuhan, tetapi dia terlihat di tempat tepat sebelum korban, yang mana orang-orang mengetahui bahwa tersangka mempunyai dendam terhadap korban. Sidik jarinya ditemukan di tempat kejadian. Ditariklah kesimpulan meskipun tidak ada yang melihat pembunuhan dan tidak ada alat bukti secara langsung (direct evidence), bahwa pelakunya adalah dia.2
Murders Conviction Without Body
Penggunaan circumstantial evidence tentu memiliki sejarahnya sendiri. ”no body, no murder”, tidak ada badan berarti tidak ada pembunuhan. Kasus Campden Wonder menjadi awal mulanya, tiga pria dihukum gantung karena dituduh telah melakukan pembunuhan. Dua tahun kemudia korban muncul dalam keadaan hidup dan mengatakan bahwa telah diculik dan dijadikan budak di Turki, namun gagasan bahwa harus ada badan untuk membuktikan adanya pembunuhan secara keliru telah digunakan oleh John George Haigh. Ia berpikir bahwa dengan menghancurkan korban dengan asam akan membebaskannya. Pada tahun 1949, terdapat sisa struktur gigi tidak hancur milik Mrs Durand-Deacon yang merupakan korbannya. Struktur gigi tersebut diidentifikasi oleh dokter giginya, Haigh dinyatakan bersalah dan dieksekusi mati. Pada 1951 terjadi perubahan besar terhadap alat bukti secara langsung untuk membuktikan adanya pembunuhan. George Cecil Horry dihukum karena pembunuhan terhadap istrinya yang tubuhnya tidak pernah ditemukan. Kasus Horry kemudian menjadi tombak sejarah runtuhnya maksim “no body, no murder”. Kasus People v. Scott juga menjadi tombak sejarah diakuinya Circumstantial Evidence dalam tatanan hukum pembuktian “Jika bukti tidak langsung cukup untuk mengecualikan hipotesis masuk akal lainnya maka kemungkinan dapat digunakan untuk membuktikan adanya kematian pada korban hilang, keberadaan sebuah kasus pembunuhan, dan kesalahan pelaku”.3