Mohon tunggu...
Jeremy Randolph
Jeremy Randolph Mohon Tunggu... Buruh - opini-opini

aku ingin tinggal di Meikarta

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Opini : Mengapa Ada Sistem Tidak Naik Kelas, Ulangan, Rapor?

14 Maret 2017   02:58 Diperbarui: 14 Maret 2017   12:00 2719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Yang saya akan bahas berikut adalah salah satu dari banyak sistem pendidikan, yaitu apabila murid memiliki kompetensi (nilai, absen, keaktifan, kepatuhan, dsb) dibawah standar yang telah ditetapkan Guru-guru, maka ia harus ! .... saya ulangi harus ! in case anda tidak faham .. Harus ! mengulang satu tahun penuh paket pendidikan yang diatur sedemikian rupa agar (seharusnya) memenuhi kemampuan studi si murid.

Ada beberapa argumen yang sering saya  ingin utarakan tentang sistem tidak naik kelas :
1. Sepenting apa pelajaran yang harus di ulang selama satu tahun itu dan mengapa ?
2. Apabila salah satu mata pelajaran "primer" tidak tuntas, kenapa yang lain harus di ulang juga ?
3. Mengapa nilai rapor menjadi pedoman ? apakah kemampuan murid dapat dinilai dari angka yang didapat dari berbagai tugas dan ulangan ?

Pembahasan argumen :
1. Dalam setiap jenjang pendidikan pasti ada pelajaran-pelajaran yang sama sekali tidak berhubungan dengan cita-cita si murid, tidak akan digunakan saat dewasa, tidak setimpal dengan usaha yang di keluarkan, dan hanya menjadi beban lain yang harus ditanggun siswa kalau mau naik kelas dan cepat-cepat melangkah. contohnya saja saya yang sejak lama ingin menjadi penulis, namun harus menghabiskan 12 tahun masa kecil bukan dengan berimajinasi tapi berasionalisasi di rumus-rumus tak masuk akal.

 Walaupun saya selalu naik kelas, tapi apa bila saya tidak naik kelas, sepenting apa pelajaran-pelajaran itu dalam hidup saya sampai umurku harus dikurangi satu hanya agar sekolah mengerti didikannya memuaskan? Mengapa tidak ada pelajaran menjadi penulis sejak SD ? atau jurusan-jurusan kuliah lain? Mengapa harus menunggu 12 tahun untuk mempelajarinya? mengapa harus melewati hutan rumus dan semesta hafalan yang bejibun dari biologi untuk akirnya belajar membuat sebuah cerita yang bagus? 

Bagaimana mungkin Guru-guru yang tak mengerti cita-cita muridnya bisa tahu mana yang penting dan mana yang tidak penting untuk otak si murid.

2. Saya juga nyaris sekali tidak naik kelas hanya karena sebuah mata pelajaran yang memang sejak lahir tak saya kuasai dengan fasih. Tak ada yang masuk akal dalam matematika menurutku. Tapi saya tetap naik, walaupun begitu apabila saya tidak naik, mengapa saya juga harus mengulangi pelajaran-pelajaran lain yang notabene saya cukup pahami untuk menjadi pribadi berpendidikan sesuai keinginan semua guru dan orang tua? Kenapa tidak mengulang pelajaran tersebut saja di jenjang berikutnya dengan jam tambahan? agar murid membayar spp lebih lama? *eh

3. Dan yang satu ini yang paling rancu.

Nilai rapor adalah laporan dari proses pembelajaran murid selama kurun waktu tertentu. terdiri dari sebuah angka yang mewakili harga diri orang tuanya, serta warna tinta yang menentukan nasib pemilik rapor. Angka-angka itu didapat dari angka-angka lain yang diberikan saat murid mengerjakan tugas dan ulangan. Dalam kasus lain mungkin ada nilai untuk akhlak, praktik, keaktifan dan lain-lain yang menurut saya jauh lebih krusial. 

Ulangan, kita diberi pelajaran yang harus difahami atau dihafal misalkan satu bab... dari satu bab itu bisa guru bisa membuat 100 soal, tetapi yang akan menjadi soal ulangan hanya 10. Apabila seorang murid mengerti bab itu dengan baik tetapi tidak bisa mengerjakan 10 soal ulangan tersebut, apakah ia pantas dikatakan bodoh dan mendapat nilai jelek ? Apabila murid dapat mengerjakan 90 soal lain apakah betul ia tak memahami bab itu seperti kata guru? Apabila murid tersebut faham 100 soal dalam satu bab namun saat ulangan ia lupa untuk jangka waktu tertentu ia pantas disebut tidak belajar dengan sungguh-sungguh ? Mengapa harus ada soal ulangan ? bagaimana jika murid diberikan saja kertas kosong dan biarkan ia menjelaskan apa saja yang ia fahami tentang bab yang ia pelajari. Mungkin ada korelasinya dengan krisis eksistensi guru sebagai pengajar kompeten sehingga soal-soal yang susah, spesifik dan detail menjadi bukti kekompetenannya.

Rapor, setelah melewati ulangan tadi dan tugas-tugas yang tak kalah saing susahnya terciptalah sebuah angka baru yang merepresentasikan jumlah total substansi kepintaran kita dalam bentuk tinta tergores. Guru dan orang tua akan melakukan tugas selanjutnya, yaitu memarahi apabila nilai itu jelek. 

Sepertinya semua orang juga harusnya sudah tahu tentang penelitian bahwa otak manusia memiliki warna yang begitu beragam, mustahil bila ada angka yang dapat merasionalisasikan berjuta kemungkinan yang bisa dimiliki seorang individu. Ada ranah otak kanan dan otak kiri, yang mewakili kemampuan "nyeni" dan "logis" dari situ pun masih banyak cabangnya, di otak kiri ada cabang bahasa, analisa, logika, angka, dan lain-lain juga di otak kanan yaitu imajinasi, konseptual, warna, musik, kreativitas, dan lain-lain. Bagaimana bisa semua orang di bumi datar ini dianggap cukup pandai untuk mendapat nilai 7,5 yang berarti 75 % dari 100 %, atau dia harus tidak mengerti sebanyak maksimal 25% saja dari keseluruhan rumus-rumus rancu itu. Bagi yang otak kirinya kuat dan memang ingin bekerja di ranah itu, hal itu bukan masalah tetapi bagi yang otak kanan nya kuat dan ingin menjadi pelatih tari kejawen ? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun