Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paulo Coelho dan Ziarah Rohani

12 Juni 2012   03:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13394730431294508958

[caption id="attachment_187492" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi berdasarkan salah satu kutipan kata-kata Paulo Coelho. Gambar ini diambil dari: http://nataliaph.com/wp-content/uploads/2012/04/coelho-quotes-water.jpg (12 Juni 2012). "][/caption]

”Mengapa kau menjadi begitu tergila-gila dengan novel-novelnya Paulo Coelho,” tanya istriku suatu ketika. Pertanyaan ini ternyata menyadarkan saya untuk menemukan jawaban, apa yang mendorong saya membaca semua novel karya Paulo Coelho. Apa ya? Saya tidak langsung menjawab, tetapi pertanyaan itu tetap tinggal dalam pikiran dan pergumulan batin saya. Perlahan-lahan saya menemukan, bahwa ternyata karya-karya Coelho menjadi bagi saya semacam pencerahan spiritualitas. Bahwa saya menemukan semacam kekuatan ”rohani” dari buku-buku Coelho. Pengakuan ini terdengar aneh, karena novel-novel Coelho bukanlah ekspresi perjalanan spiritual. Penyimpulan semacam ini bisa benar, tetapi bisa juga keliru. Dalam sebuah wawancara, Coelho mengakui bahwa novel-novelnya memang merupakan refleksi mendalam dari pencarian batinnya mengenai arti kehidupan atau pencarian ”rohani” akan kekekalan. Sekadar menyebut satu contoh, dalam novel berjudul The Valkyries, misalnya. Novel ini mengambil sudut pandang orang pertama sehingga kesan bahwa ini sebuah otobiografi tidak bisa dihindari. Paulo Coelho memang mengakui hal ini, bahwa novel yang satu ini memang menjadi semacam otobiografi. Novel ini menjadi semacam pengakuan iman Coelho akan adanya ”malaikat pelindung” (guardian angels). Bagi dia, malaikat pelindung itu harus dialami secara sangat sederhana sebagai sikap rohani yang sederhana, rendah hati, terbuka, naif (tidak mencoba memahami Tuhan secara abstrak dan metafisik), dan justru sikap seperti inilah yang memungkinkan seseorang merintis jalan menuju Tuhan. Karena dia seorang Katolik, sudut pandang ini persis mengatakan apa yang Yesus maksudkan sebagai beriman seperti anak kecil, dengan kualitas kerendahan hati, keterbukaan, dan bersandar sepenuhnya pada Tuhan itu.

Bagi saya, Paulo Coelho memang tidak menyatakan sesuatu yang baru dalam peziarahan rohani. Yang dia lakukan adalah menyatakan hal-hal yang selama ini sudah diketahui dan menjadikannya berbicara secara otoritatif. Ketika ditanya apakah dirinya pernah melihat malaikat (pelindung), misalnya, dia dengan mantap mengatakan ”ya”. Ini sebuah pengakuan yang mengejutkan, karena malaikat tidak memiliki tubuh, dan karena itu tidak bisa dilihat. Tetapi cara Coelho mengartikan malaikat sangat menakjubkan.Paulo Coelho mengatakan bahwa malaikat itu adalah ”pembawa pesan Allah” (the messengers of God). Merekalah yang membawa cahaya terang ke dalam dunia yang gelap dan penuh dosa. Para malaikat berbicara kepada kita melalui orang lain, sesama yang kita jumpai, yang kita sapa, yang kita terima sebagai saudara. Lagi-lagi cara tafsir dan pemahaman seperti ini mengingatkan kita akan ajaran Gereja Katolik tentang malaikat. Bagi saya, itulah kesempatan mengalami kehadiran Tuhan dalam hidup ini ketika kita menerima siapa saja sebagai malaikat (utusan Tuhan), pembawa kabar suka cita, dan sebagainya.

Tidak hanya itu. Bagi saya, melalui novel-novelnya, Paulo Coelho mengingatkan saya untuk terbuka kepada kekaguman, keterkejutan yang datang dari dalam diri, pertanyaan-pertanyaan terdalam yang mencari jawaban. Sebagai seorang yang hidup dari mengajarkan filsafat, Paulo Coelho mengingatkan saya bahwa filsafat yang otentik adalah yang sungguh-sungguh mampu menjawab berbagai kebutuhan batin. Filsafat yang benar harus mampu membangkitkan sisi feminitasku, mendorong imajinasi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan terdalam, dan menegaskan keyakinan akan pilihan-pilihan hidupku.

Pauolo Coelho juga mengingatkan saya bahwa setiap orang, termasuk Anda, memiliki tujuan dalam hidup yang ingin direalisasikan. Sama seperti yang dia bangun dalam novelnya berjudul The Pilgrimage, di mana dia menghayati hidup dan seluruh pencarian jati diri sebagai sebuah peziarahan (menuju Tuhan). Keindahan novel ini terletak pada penegasan bahwa ziarah menuju Santiago (de Compostela di Spanyol) itu dapat menjadi simbol peziarahan batin menuju Tuhan. Sikap yang dibutuhkan agar bisa mencapai tempat ziarah adalah kesederhanaan (simplicity). Lagi-lagi di sini Coelho mengingatkan kita akan sikap kesederhanaan, sama seperti sikap iman seorang anak kecil, sebagai syarat mengalami kehadiran Tuhan. Hidup itu sendiri sebenarnya mengandung simbol-simbol yang dengan keterbukaan mata dan hati dapat dialami sebagai cara Tuhan menyingkapkan dirinya. Dengan kata lain, pertanyaan-pertanyaan dari dalam diri tentang makna hidup dan keabadiannya sesungguhnya dapat ditemukan jawabannya – untuk sebagiannya – dalam kehidupan nyata itu sendiri. Dan itu mengandaikan keterbukaan pada kehidupan dalam sikap simplicity tadi.

Kembali ke pertanyaan istri saya tadi, apa yang mendorong saya begitu mengagumi dan fanatik pada novel-novel Paulo Coelho? Untuk sementara saya memberikan dua jawaban sebagaimana diuraikan di sini. Pertama, hidup ini adalah sebuah peziarahan, sebuah kesempatan untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terdalam. Bahwa pertanyaan-pertanyaan terdalam itu membawa kepada pertanyaan kekal mengenai keabadian, sebuah kerinduan jiwa untuk menyatukan diri dengan Sang Khalik. Bahwa keterbukaan kepada kehidupan itu sendiri dapat menjadi jalan untuk menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan perenial tersebut. Kedua, dibutuhkan sikap batin yang sederhana (simplicity) dalam mencari dan menemukan jawaban-jawaban tersebut. Sikap semacam inilah yang memungkinkan saya sanggup menerima orang lain sebagai pembawa kabar gembira dari Tuhan. Sikap ini juga yang memampukan saya mengurung atau menunda pemahaman rasional mengenai siapa Tuhan, membuka diri dan membiarkan Dia menyatakan siapa diriNya.

Terima kasih, Paulo Coelho. Terima kasih juga kepada istriku yang sudah mengajukan pertanyaan ini. Kedua jawaban ini akan terus diolah dan didalami lagi. Semoga refleksi selanjutnya mengenai perjalanan rohani berdasarkan karya-karya Coelho akan terus terlahir dari refleksiku mengenai kehidupan ini. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun