Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

KETIKA KEHARUSAN MEMILIH TERASA BERAT

5 Maret 2011   19:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:02 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suatu waktu di bulan Juli 2010. Seorang sahabat tiba-tiba menulis statusnya di Yahoo Messenger, katanya, “Do it or leave it!” Saya menduga dia sedang menghadapi suatu pilihan, dan dia harus memutuskan untuk melakukannya atau tidak melakukannya sama sekali. Menyadari dia masih online waktu itu, saya coba menyapanya, dan terjadilah dialog di bawah ini.

Saya:

Bagaimana kalo seseorang tidak memilih di antara keduanya?

Dia:

Saya yakin seseorang tersebut punya pertimbangan yang matang sebelum memilih apakah mau benar-benar melakukannya atau meninggalkannya.

Bila dirasa sdh cukup matang pemikirannya tersebut.. PASTILAH dia akan memilih yang terbaik sesuai dengan hati nurani orang tersebut..

Saya:

Wah, mendalam banget. Pengalaman pribadi pasti sudah membuktikannya, kan?

Dia:

Ada sih pak..sedikit. Itu yang membuat saya sekarang ini belajar untuk lebih bisa mempertimbangkan segala sesuatu sebelum memilih agar tdak gegabah.. dan diharapkan tidak salah langkah..

Saya:

He…he…he. Aq setuju banget. Tapi jika kesalahannya masih bisa ditolerir kan tidak harus disebut kesalahan, tetapi sebuah pilihan. Atau?

Dia:

Bagi saya hidup adalah pilihan pak.. kalau kita yakini pilihan kita benar pasti akan kita ambil apapun konsekuensi dan resiko yang datang menghampiri..tapi kalau pilihan tersebut tidak kita yakini, bisa juga akan menjadi suatu kesalahan..

Tidak Sekadar Menaati Kewajiban Moral

Bagian pertama dari dialog itu menonjolkan beberapa aspek yang sebenarnya adalah bagian dari hidup kita. Mari menyebut beberapa kata kunci: memilih atau pilihan, yang terbaik, suara hati, belajar dari pengalaman (masa lampau), dan hidup adalah pilihan. Perhatikan bahwa semua ini adalah bagian dari pengalaman riil keseharian manusia.

Para filsuf sibuk dengan pertanyaan “what should I do?” Ini adalah pertanyaan etika, karena jawaban atasnya menunjukkan bagaimana seseorang mendasarkan tindakan-tindakannya pada prinsip-prinsip moral tertentu. Kalau kita bertanya kepada mereka, kalau Anda sudah menemukan jawaban atas pertanyaan itu, apa tujuan Anda melakukan suatu tindakan tertentu? Di sini seorang Immanuel Kant, misalnya, akan mengatakan, bahwa dia memilih bertindak dalam cara tertentu, karena prinsip moral yang mendasari tindakannya dia kehendaki (baca: dia mau) agar berlaku umum (siapa saja boleh menjadikannya sebagai prinsip tindakannya). Bahwa kalau prinsip tindakan itu sudah berlaku umum, setiap orang yang rasional, begitulah harapan Kant, akan mematuhi prinsip moral itu, bukan agar dipuji atau mendapat nama baik. Alasan utama mematuhi prinsip moral itu adalah kewajiban mematuhi hukum moral itu sendiri.

Ketika menghadapi sebuah pilihan yang sulit dan teman saya harus memilih atau tidak memilih alias meninggalkannya, pertanyaan “what should I do?” barangkali masih relevan dan akan tetap relevan. Tetapi ketika dia sudah memilih, apakah pilihannya itu atas dasar semata-mata kewajiban terhadap prinsip moral yang sudah diyakininya sebagai yang berlaku universal, atau pertimbangan lain? Tampaknya temanku itu tidak mengerti apakah pilihan tindakannya semata-mata karena kewajiban mematuhi prinsip moral yang dia kehendaki sebagai berlaku universal. Yang dia ketahui adalah bahwa dia mendapatkan dirinya berada dalam situasi memilih dan dia menganggap sebagai kewajiban untuk memilih yang terbaik. Berdasarkan apa? Dia akan mendasarkannya pada suara hatinya.

Di sini kita sungguh-sungguh melihat perbedaan antara orang yang tindakan-tindakannya semata-mata bersifat formal (bahasa filsafat Kantian) demi mematuhi prinsip moral yang diyakininya sebagai berlaku universal. Orang semacam ini tidak peduli akibat atau konsekuensi tindakan apa yang akan timbul karena tindakannya tersebut. Sahabatku persis kebalikannya. Belajar dari pengalaman memilih di masa lampau dan akibat-akibat ikutannya, muncul semacam kebijaksanaan bahwa dia akan memilih hanya yang terbaik. Berdasarkan apa? Tentu berdasarkan akibat-akibat baik dan buruk yang ditimbulkan oleh pilihan-pilihan semacam itu. Itulah sebabnya dia begitu yakin, bahwa hidup manusia ini pada akhirnya adalah sebuah pilihan. Ya, hidup memang bergerak selalu dalam ketegangan antara memilih berbagai tawaran pilihan di hadapan mata.

Baiklah, kita coba ikuti lebih lanjut dialog kami berikut! Saya coba mendalami konsep “hidup sebagai pilihan” yang sahabat saya kemukakan di atas.

Saya:

Kadang hidup sebagai pilihan hanyalah sebuah rasionalisasi (orang biasa mengistilahkannya sebagai “menghibur diri”) ketika orang berada dalam kepahitan hidup sementara dia melihat orang lain berada dalam keadaan hidup yang lebih baik. Cara pandang ini hanya akan menghasilkan manusia yang pesimistik atau yang bermental “nrimo”.

Dia:

Cara pandang tersebut memang dialami oleh kebanyakan orang karena mereka mungkin masih merasa nyaman dengan keadaan mereka saat ini.. tapi mereka berani tidak untuk memilih keluar dari “COMFORT ZONE” mereka untuk pilihan yang lebih baik..itu yang terkadang tidak kita sadari..

Keberanian Memilih

Sebagai latar belakang, dialog kami ini sama sekali tidak direncanakan sebelumnya. Karena itu, begitu mendengar dia mengatakan bahwa hidup adalah pilihan atau menurut pemahaman saya adalah ketegangan di antara berbagai pilihan yang menampakkan diri kepada kita, saya coba “mendesak” dia untuk mendalami apa artinya hidup sebagai pilihan itu. Bagi saya, mengatakan hidup sebagai pilihan bisa bermakna ganda. Di satu pihak, ada optimisme bahwa menghadapi berbagai pilihan dalam hidup, seseorang akan mampu memilih yang tebaik. Mungkin seperti sahabat saya ini. Tetapi di lain pihak, ada nada pesimisme dan kepasrahan pada pilihan yang sudah dibuat, terutama ketika pilihan-pilihan itu bukanlah yang terbaik. Perasaan semacam ini menjadi sangat kuat, misalnya ketika melihat ada rekan kerja atau sahabat yang lebih sukses meniti karier dibandingkan dengan kita.

Tentu ada bahaya semacam itu, tetapi tampaknya sahabat saya itu lebih tepat dimasukkan ke dalam kelompok mereka yang selalu optimis. Optimisme semacam inilah yang pada akhirnya mendorong orang untuk keluar dari apa yang dia sebut sebagai zona aman (comfort zone) dan memilih melakukan hal yang lain, betapa pun pilihannya itu tampak tidak mengenakkan.

Mari kita ambil contoh praktis. Seorang karyawan berada dan bekerja di sebuah perusahaan yang modern, maju, dan kaya. Suatu waktu dia diangkat menduduki jabatan penting dalam perusahaan tersebut. Seiring berjalannya waktu, suatu saat dia menyaksikan sendiri betapa perusahaan itu sudah sering melanggar undang-undang. Misalnya, tidak jujur membayar pajak, tidak jujur membayar gaji karyawan, menipu konsumen, dan sebagainya. Kita pakai pemahaman sederhana kawan saya di atas, suara hati akan mengatakan kepada karyawan ini, bahwa apa yang dipraktikkan itu salah. Di sini sang karyawan persis berhadapan dengan pilihan hidup, apakah menerima saja keadaan—zona aman yang dinikmati sekarang sayang kalau ditinggalkan—atau mengoreksinya. Koreksi bisa dilakukan dengan tetap berada dalam perusahaan tersebut, tetapi ketika tidak ada tanda-tanda perubahan, pilihan lain harus diambil. Pilihan yang paling sulit tentulah menuruti hati nurani dan meninggalkan pilihan itu.

Koq mau meninggalkan perusahaan. Lagi-lagi di sini dibutuhkan keberanian moral. Kata sahabat saya di atas, kebanyakan kita memang lebih mencintai zona aman dari pada mengambil risiko hanya karena idealisme kita. Ya, saya setuju itu! Saya sendiri pun khawatir apakah bisa mengambil keputusan seradikal itu. Meskipun demikian, paling tidak sahabat saya itu, dalam kesederhanaannya, menyadarkan saya, betapa memilih itu berat, karena itu perlu keberanian moral. Saya yakin, pada akhirnya hanya orang-orang yang berkeutamaan morallah yang sanggup memilih manakah yang baik dan benar secara moral, dan bukan manakah yang lebih menguntungkan atau menyenangkan.

Benar sekali, kita memang masih terus belajar untuk memilih!

(Terima kasih, sahabatku. Sharing kita telah menginspirasiku menulis pikiran-pikiran ini. Leuven, 28 Desember 2010. Dalam kesendirian di kamarku, ketika di luar dingin dan bersalju)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun