Media sosial ramai dengan diskusi pesan berantai yang menyeruhkan pemboikotan film Soegidja dengan alasan film tersebut berbau kekristenan. Lebih ngeri lagi, film itu “dituduh” sebagai kampanye kristenisasi. Sebagai orang Kristen, tepatnya Katolik, saya tentu prihatin akan hal ini. Cukup banyak komentar yang mengecam dan menyesalkan ajakan memboikot film ini, dan itu membesarkan hati kita untuk terus membangun republik ini menjadi lebih pluralis. Terima kasih juga buat Sri Sultan H.B X yang dengan tegas menolak tuduhan film Soegidja sebagai sarana kristenisasi. Dalam konteks itu, kita seharusnya menerima pluralisme sebagai harga mati. Ketika berbicara mengenai pluralisme, saya selalu sepakat dengan pemikiran David Tracy yang saya baca, terutama tentang pluralisme radikal. Bagi dia, bahkan ketika ada satu saja orang dalam masyarakat yang memiliki keyakinan keagamaan yang berbeda dengan mayoritas, seluruh hak dia harus dipenuhi. Saya kira ini cocok dengan isi ajaran iman yang benar, yang meyakini bahwa Tuhan itu Maha Baik, yang tidak menghendaki kebaikannya dilokalisir oleh agama tertentu. Mengklaim agama tertentu sebagai benar sama dengan sikap picik memanipulasi kebenaran Tuhan (“K” besar) dan mereduksikannya menjadi kebenaran manusiawi (“k” kecil).
Saya justru berpikir agak sebaliknya. Tulisan Arswendo Atmowiloto di Harian Kompas (12 Juni 2012), jika direalisir, pasti lebih menghebohkan lagi. Saya yakin, seruan memboikot film Soegija akan lebih marak lagi dan bukan tidak mungkin, film ini akan dicap sebagai Kristenisasi sungguhan. Arswendo merasa tidak nyaman ketika Soegija disapa tanpa embel-embel Romo atau Monsignor. Ya, memang agak risih juga sih. Saya sendiri juga merasa risih menyaksikan peran Butet yang kocak dan ngelawak itu seakan-akan tidak menghormati Romo Kanjeng. Tapi saya langsung mengatakan kepada diri sendiri bahwa dialog lucu yang dibangun Butet menegaskan sisi kemanusiaan Romo Soegija, bahwa meskipun dia dipilih, dipisahkan, disucikan dan diutus untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, Beliau tetap seorang manusia.
Meskipun demikian, analisis Arswendo juga sebetulnya menarik untuk direnungkan. Arswendo bertanya, mengapa identitas keromoan Soegija justru “dicopot” dan dipresentasikan seakan-akan dia tokoh tanpa identitas? Apakah ini hanya karena alasan target pemasaran atau sebagai refleksi dari ketakutan kaum minoritas yang enggan menampilkan jati dirinya? Adalah wajar jika alasannya bersifat trik dan strategi pemasaran. Yang ditakutkan justru hal kedua, dan dengan demikian mengangkat ke permukaan suatu bahaya yang selama ini tidak kita sadari. Bahaya apakah itu? Menurut saya, berbagai aksi teror, pembatasan kebebasan beragama oleh kelompok agama tertentu, cepat atau lambat, akan menciptakan semacam ketakutan dalam diri kaum minoritas untuk menyatakan identitas dirinya. Sepintas ini dapat dibaca sebagai cara pragmatis menyiasati hidup dalam masyarakat. Tetapi ini akan berbahaya dalam jangka panjang ketika ketakutan justru melegitimasi gerak beringas dan upaya memonopoli eksistensi di republik ini.
Nah, jika kekhawatiran ini benar, maka misi film Soegija menjadi tidak tercapai. Dialog yang dibangun dalam film ini, terutama ketika Romo Soegija sedang berdialog dengan Lingling di tepi pantai, yang berusaha mengajari penonton betapa minoritas suku (Kecinaan) dan agama (Kekatolikan) haruslah diterima sebagai aset bangsa. Dialog dan pemikiran ini sebetulnya sudah menegaskan identitas keminoritasan itu, tetapi sekali lagi, jika kalah dalam merebut hegemoni diskursus dalam realitas nyata, maka keengganan menyatakan identitas diri akan tetap berlangsung ke depan. Bagi saya, salah satu pesan kuat dari film Soegija adalah keberanian menyatakan identitas diri, karena keyakinan bahwa menjadi 100 persen Katolik itu SAMA DENGAN menjadi 100 persen Indonesia. Pada simpul ini barangkali kritik atau lebih tepat kekhawatiran Arswendo dapat dipahami secara tepat.
Film ini memang manarik. Gambar-gambarnya prima, dialognya pun bagus. Bagian yang membuat merinding bulu kuduk justru terletak pada momen pentahbisan Soegija menjadi uskup. Seorang pribumi ditahbiskan menjadi uskup dan cincin uskupnya akan dicium juga oleh umat bule. Dalam konteks penjajahan Belanda, kenyataan ini justru menaikkan identitas diri orang pribumi sekaligus penegasan bahwa di hadapan Tuhan, semua orang bermartabat, bahwa kehadiran seorang gembala umat harus diterima dan dihormati, tidak peduli Anda seorang pribumi atau Londo.
Keluar dari bioskop 21, saya semakin bangga sebagai orang Katolik dan terus belajar untuk menjadi orang Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H