0 Advanced issues found▲
Sejak dilansir media pada hari Sabtu, 27 Juli 2019, perkawinan inses dua warga Desa Lamunre, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu bernama AA (38 tahun, laki-laki) dengan adiknya BI (30 tahun) terus menyita perhatian publik. Pasangan "terlarang" yang telah dikaruniai 2 anak dengan kondisi BI yang tengah mengandung anak ketiga mereka itu nyaris menjadi sasaran amuk warga jika saja polisi dari Polres Luwu tidak segera tiba di lokasi.
Dengan mengacu kepada hukum adat, berbagai pihak--termasuk kepolisian--sepakat untuk mengusir pasangan itu dari desa. Sementara AA masih berurusan dengan pihak kepolisian, BI berada bersama sanak-keluarga di Makassar (bersama anak-anak lainnya).
BI sendiri telah memiliki dua anak hasil perkawinan sebelumnya. Di rumah mereka di Luwu, pasangan inses itu juga masih hidup bersama ibu mereka (ayah sudah meninggal dunia). Dengan begitu, pengusiran terhadap pasangan itu juga berarti pengusiran terhadap 7 orang manusia dan seorang calon manusia (janin).
Rujukan Hukum
Saya berada pada posisi menolak perkawinan sedarah. Pertama-tama karena alasan kemuakan etis (ethical disgusting), semacam perasaan aneh melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang masih terikat hubungan darah.
Perasaan semacam ini bisa jadi bersifat subjektif--mengingat ada suku-suku tertentu di dunia yang tidak mempersoalkan praktik ini. Tetapi tidak tertutup kemungkinan, perasaan ini bersifat objektif --dalam arti sebagian besar masyarakat (untuk tidak menyebut semua) menolaknya.
Saya juga berada pada posisi menolak perkawinan sedarah karena alasan ilmiah. Sebagaimana sudah dibahas di banyak media dan berbagai jurnal ilmiah, perkawinan sedarah tidak hanya berpotensi menghasilkan keturunan yang cacat (karena rendahnya variasi gen pembawa sifat karena menyatunya dua gen resesif menjadi dominan), tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup keluarga, suku atau etnis tertentu. Dalam arti itu, alasan ilmiah ini dapat dikatakan sebagai alasan yang paling objektif sebagai rujukan penolakan terhadap perkawinan sedarah.
Perkawinan inses di Luwu dan di beberapa daerah lain sebelumnya ditolak karena melanggar hukum, terutama (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (2) UU Perdata (KUH Perdata), dan Hukum Islam.
Pasal 8 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1074 menegaskan bahwa suatu perkawinan dilarang di antara dua orang yang:
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
- Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
- Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
- Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan
- Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.