Saya (mungkin juga Anda) sangat menikmati kembalinya momen bahagia, terutama kesenangan jiwa, yang di masa lampau begitu mengangkat dan menyanjung jiwa. Momen bahagia itu memang tidak kembali setiap saat, juga tidak kembali seperti yang kita kehendaki. Dia justru hadir di situasi yang tidak diduga, sama sekali tak-terpediksikan. Dia datang dan singgah sesaat di hati sesudah itu beranjak pergi, dan entah dia akan kembali lagi.
Salah satu momen membahagiakan itu adalah ketika mencoba membaca dua buku mengenai Prof. Dr. Antonius Sudiarja, SJ. Satu buku (diberi judul Meluhurkan Kemanusiaan) berisi tulisan-tulisan rekan dalam rangka memeringati Hari Ulang Tahun ke-65 dari Romo Dipo -- demikian Sudiarja biasa disapa. Dan satu buku lagi (diberi judul Bayang-bayang Kebijaksanaan dan Kemanusiaan) sebenarnya juga merupakan kumpulan karangan, tetapi dari Romo Dipo sendiri. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh penerbit buku Kompas (2018).
Dan ketika membolak-balik halaman demi halaman kedua buku tersebut, saya menemukan tulisan Dr. Karlina Supelli di buku pertama. "Apa yang ditulis Ibu Karlina?" saya membatin. Lanjutku dalam hati, "Apakah Ibu Karlina akan menulis artikel yang berjarak dengan Romo Dipo?" "Jika Ibu Karlina menulis sesuatu yang dekat dengan hati dan pikiran Romo Dipo, tema apa yang mau dieksplorasi?" Lebih menggetarkan lagi, tulisan Bu Karlina diberi judul "Jeda Di Antara Kata-kata" (Meluhurkan Kemanusiaan, 2018: 73-98). Dan yang lebih menarik lagi, Bu Karlina memilih jalan masuk ke peziarahan intelektual Romo Dipo lewat novel yang pernah diterjemahkan imam Yesuit itu. Itulah novel Pergilah Ke Mana Hati Membawamu (Va Dove Ti Porta Il Cuore).
Jalan Sunyi
Seketika saya tertegun membaca catatan Ibu Karlina di halaman 94 soal Romo Dipo dan novel yang dia terjemahkan. Ibu Karlina menempatkan pergumulan batin Olga, si nenek yang menjadi tokoh utama dalam novel ini dalam konteks spiritualitas hati, dan tampaknya ini diposisikan sebagai pintu masuk untuk menjelaskan siapa Romo Dipo. Spiritualitas hati adalah spiritualitas penanda para Yesuit.Â
Kata Bu Karlina, "Setiap Yesuit memilah dan memilih, mendengarkan gerak hati, mengenali tanda-tanda ke mana hasratnya bergerak setiap saat... mereka dilatih mengenali yang baik dan yang buruk, serta menafsirkan makna spiritual dari dinamika hatinya... mereka dilatih untuk memilah dan memilih untuk menemukan makna di antara hal-hal yang sama-sama baik; bahkan memilah dan memilih di anara keadaan-keadaan buruk dlam keterlibatannya dengan keruh gejala dunia" (Karlina Supelli, hlm. 93).
Bahwa cucunya tidak harus terkungkung dan membelenggukan diri dalam nilai dan norma terberikan tetapi bertindak berdasarkan putusan nuraninya yang bebas, pun pula ketika putusan itu bertentangan dengan nilai budaya, tradisi dan adat-istiadat yang sedang berlaku. Itulah jalan pembebasan jiwa dalam arti memberi makna pada sisi gelap kehidupan di masa lalu dilihat sebagai cara membebaskan diri. Termasuk dalam jalan pembebasan diri itu adalah kerelaan menerima cara hidup generasi yang memang memihaki nilai dan norma yang berbeda seperti yang dipraktikkan oleh cucunya sendiri.
Alasan Untuk Bergembira
Bagi saya, novel Pergilah Ke Mana Hati Membawamu adalah salah satu dari banyaknya novel yang pernah saya dan yang memiliki gaung begitu kuat dalam hati. Novel ini mengingatkan saya pada kegembiraan hati membaca cerita bersambung di harian Kompas di awal tahun 1990-an yang kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku (novel) oleh Penerbit Gramedia (2004).Â
Alasan utama mengapa karya ini begitu kuat dan membekas dalam hati tampaknya berhubungan dengan gaya penuturan Sussana Tamaro yang sangat cair dan filosofis. Kalimat-kalimat yang digunakan penulis, bagi saya, adalah cara berfilsafat dalam arti cara melihat dan memberi makna lebih mendalam pada fenomena-fenomena yang tampak remeh-temeh. Kesan ini dapat saya mengerti karena cerita bersambung ini hadir dalam periode saya sedang menggeluti filsafat sebagai mahasiswa tingkat sarjana di Sekolah Tinggi Filsafat (Driyarkara).