Optimisme ilmu pengetahuan (alam) adalah membersihkan dunia kehidupan dari anasir dan pengaruh Tuhan. Dalam adagium friedrich Nietzsche, para ilmuwan ingin "membunuh Tuhan" dan memproklamirkan kemerdekaan hidup manusia melalui maklumat "Allah sudah mati" (God is dead). Â
Apakah Allah memang sudah mati? Atau, apakah Allah justru semakin eksis dan berpengaruh dalam kehidupan manusia ketika pemahaman mengenai-Nya mengalami perubahan dan perbaikan setiap kali ada kritik dan hantaman terhadap eksistensi-Nya? Atau, jangan-jangan Allah memang tidak ada. Jika Allah tidak ada, mengapa juga kita mempersoalkan keberadaannya dan memaklumatkan kematiannya?
Apa yang dimaklumatkan Nietzsche tidak lebih dari sebuah semangat sekularisme, yakni semangat mendahulukan dan memberi prioritas pada dunia dan kehidupan manusia di dalamnya, tanpa harus merefleksikan atau merencanakannya dari perspektif eksistensi Tuhan.Â
Friedrich Nietzsche memaklumatkan Allah telah mati sebagai proyek membebaskan manusia dari terpasungnya kebebasan dan otonominya dalam eksistensi Allah. Dalam bayangan Nietzsche, eksistensi Allah justru membatasi otonomi dan kebebasan manusia dalam menentukan dirinya, karena harus menyesuaikan diri dengan berbagai ajaran dan kehendak-Nya sebagaimana diwartakan agama-agama.
Meskipun maklumat Nietzsche itu tidak sepenuhnya benar, semangat sekularisme yang diperjuangkan semakin disadari akhir-akhir ini. Ilmu pengetahuan positivistik memang memperjuangkan terealisasinya nilai-nilai seperti nilai-nilai individual, kapasitas manusia dalam memilih, reliabilitas nalar, dan realitas kebaikan. Dalam arti tertentu saya sepakat dengan nilai-nilai ini, dengan atau tanpa eksistensi Allah.
Harus diakui, inilah nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan modern. Perhatikan nilai-nilai yang diperjuangkan para milenials.Â
Nilai individual seperti kebebasan dalam menentukan diri menjadi nilai yang tampaknya tidak ditawar. Kebanyakan orang tidak ingin kebebasannya dipasung. Mereka juga tidak ingin mengikuti arus atau kecenderungan publik. Kecenderungan ini nampak jelas, misalnya dalam konsumsi barang dan jasa.Â
Kalau pun masyarakat modern dan kaum milenials menggunakan produk dengan merek yang sama, mereka senantiasa berusaha membuatnya menjadi lebih personal, misalnya dengan mendandaninya dan sebagainya, dengan kandungan nilai yang sifatnya sangat personal.
Ini sekaligus menegaskan nilai kedua yang dijunjung tinggi masyarakat modern, yakni kapasitas manusia dalam memilih. Manusia modern dihadapkan dengan berbagai pilihan, dan dia sanggup menentukan pilihan, relatif tanpa rujukan pihak lain (pihak luar).Â
Kebebasan memilih bahkan nampak nyata dalam hal-hal yang sangat personal seperti memilih pasangan hidup, memilih untuk menikah atau tidak menikah, jika menikah, berapa banyak anak yang harus dilahirkan, bahkan juga soal beragama atau tidak beragama, memilih agama A atau agama B, dan sebagainya.
Nilai ketiga yang dijunjung tinggi manusia modern adalah kapabilitas nalar. Ini memang berhubungan erat dengan pendidikan. Manusia modern umumnya mengenyam pendidikan yang baik.Â