Lain soal jika masyarakat sudah menerima sebagai kenyataan bahwa "orang Melayu memang lebih sopan dari orang Jawa" atau sebaliknya. Di sini kenyataan itu diterima saja sebagai kebenaran umum yang tidak perlu didiskusikan lagi alias "non-isu".
Menafsir Pendapat Mahasiswa
Berbekal uraian di atas, mari kita analisis jawaban mahasiswa dalam UTS Logika sebagaimana saya kemukakan di atas. Saya ulangi lagi pertanyaan yang diajukan di atas: "Apakah tidak mentaati orangtua adalah suatu perbuatan dosa?" Ketika diminta menentukan apakah ini adalah isu factual, atau isu non-faktual atau non-isu, enam puluh mahasiswa di kelas saya terbelah pendapat. Sekitar 10 persen mahasiswa mengatakan bahwa itu adalah non-isu, sekitar 15 persen menganggapnya sebagai isu factual dan sisanya berpendapat bahwa itu adalah isu non-faktual.
Satu hal menjadi jelas, bahwa hal yang ditanyakan itu bukan isu faktual. Itu berarti 15 persen mahasiswa saya memberi jawaban yang salah. Tetapi bagaimana dengan 85 persen sisanya? Apakah itu adalah isu non factual atau non isu? Apakah saya harus mencoret jawaban 10 persen mahasiswa yang mengatakan bahwa itu adalah non isu?
Tidak tahu mengapa, fenomena jawaban mahasiswa ini terus menghantui pikiran saya. Pertanyaan yang selalu muncul di kepala saya adalah mengapa mahasiswa menganggap pertanyaan itu sebagai non-isu? Apa maknanya? Apa sebenarnya yang ada dalam benak dan pikiran mahasiswa ketika memikirkan pertanyaan itu?
Saya melihat ada dua kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan reflektif ini. Pertama, bisa jadi mahasiswa berpendapat bahwa itu bukan isu alias non-isu karena sudah menjadi pandangan umum dan kesepakatan public, bahwa tidak mentaati orangtua memang merupakan suatu perbuatan dosa alias melanggar perintah agama dan perintah Tuhan.
Kedua, bisa jadi mahasiswa juga beranggapan bahwa pertanyaan itu bukan isu dalam artinya yang ateistik. Bahwa mentaati atau tidak mentaati orangtua tidak perlu dievaluasi berdasarkan standar dosa atau tidak dosa. Dosa atau tidak dosa adalah kategori religious dan menegaskan moralitas agama tertentu. Itu berarti menolak menjustifikasi tindakan tidak mentaati orangtua sebagai dosa, secara tidak langsung juga berarti penolakan mahasiswa atas moralitas agama.
Apakah mahasiswa saya yang 10 persen itu termasuk mahasiswa kelompok pertama atau mahasiswa kelompok kedua? Penelitian dan diskusi lebih lanjut dengan mahasiswa akan menyingkapkan maksud mereka yang sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H