Apakah Anda percaya bahwa apa yang dikatakan atau ditulis seseorang sebenarnya mencerminkan nilai yang dihidupi orang tersebut? Misalnya, jika Anda mengatakan bahwa saat ini Anda tidak boleh diganggu karena sedang mengerjakan proyek penting, apakah pernyataan Anda ini mengindikasikan suatu nilai yang Anda pegang teguh dalam hidup?Â
Per definisi, nilai (value) itu memang sesuatu hal yang baik, dapat berupa prinsip hidup, norma, aturan, pedoman hidup, yang memang memiliki nilai pada dirinya dan karena itu ingin direalisasikan, bukan demi nilai lainnya, tetapi demi nilai itu sendiri. Dengan kata lain, nilai sebenarnya adalah suatu daya atau kekuatan dari dalam diri yang mendorong dan menggairahkan seseorang untuk bergerak, berjuang, berusaha, beraktivitas, dan sebagainya. Nilai juga yang membuat seseorang tetap setia pada apa yang dikerjakannya, pada keadaannya saat ini, dan sebagainya.
Saya sendiri percaya bahwa apa yang diomongkan atau ditulis umumnya merepresentasikan nilai yang diyakini dan dihidupi orang itu. Tidak semuanya demikian, karena itu saya menggunakan kata "umumnya". Ini juga yang mendorong saya meyakini bahwa apa yang dikatakan, ditulis atau diekspresikan mahasiswa saya bisa saja menunjukkan nilai-nilai yang mereka hayati dan hidupi.
Demikianlah, tulisan ini berangkat dari sebuah permenungan sederhana setelah mengoreksi jawaban Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah logika (critical thinking) di Unika Atma Jaya Jakarta. Seperti biasa, mahasiswa umumnya mencapai nilai yang kurang memuaskan dalam mata kuliah yang satu ini. Dan ini sering mengagetkan, tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi para dosen lainnya yang juga mengajar mata kuliah yang sama. Kesan umum yang kita peroleh adalah bahwa semakin tahun para mahasiswa semakin kehilangan kekuatan berpikir abstrak dan filosofis.
Kembali ke soal UTS mahasiswa. Dari semua soal yang ditanyakan -- soal yang diujikan dalam UTS yang baru lalu disusun oleh seorang dosen dalam kelompok pengajar mata kuliah -- saya tertarik dengan satu soal berikut. "Apakah tidak mentaati orangtua adalah suatu perbuatan dosa?" Hal yang ditanyakan adalah apakah pertanyaan tersebut termasuk "isu factual", atau "isu non-faktual", atau "non isu".
Masalah Isu dan Non-Isu
Dalam konteks berpikir kritis, sesuatu dianggap sebagai "isu" jika masih diperdebatkan, dipersoalkan, didiskusikan. Itu artinya belum ada kata sepakat mengenai suatu hal. Misalnya, dalam hal "perkawinan sesame jenis", belum ada kata sepakat apakah praktik semacam ini dapat ditolerir dan dibenarkan di Indonesia. Selain indicator bahwa suatu masalah itu masih diperdebatkan atau didiskusikan, kemungkinan dapat dibuktikan karena kandungan empirisnya yang besar dapat menjadi indicator lain sebuah masalah dapat disebut sebagai "isu". Artinya, ada peluang untuk dapat dibuktikan sebagai salah atau benar berdasarkan ukuran objektivitas.
Lawan dari "isu" adalah "non-isu" atau "bukan isu". Sesuatu yang telah diterima public sebagai kebenaran tidak perlu diperdebatkan. Misalnya, soal matahari terbit di siang hari dan terbenam di malam hari, soal air yang mendidih jika dipanaskan atau besi yang memuai jika didinginkan, adalah fakta-fakta ilmiah yang kebenarannya diterima begitu saja dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Secara ilmiah, semua hal yang disebutkan itu adalah fakta yang sejauh ini belum terbantahkan.
Sebenarnya "isu" masih dapat dikategorikan lagi menjadi "isu faktual" dan "isu non-faktual". Suatu hal disebut sebagai isu factual jika pembuktian atau pemecahan isu tersebut memiliki probabilita yang tinggi. Dalam skala satu sampai sepuluh, probabilitas yang mendekati angka sepuluh memiliki tingkat faktualitas yang lebih tinggi. Sementara itu, isu non-faktual adalah kategori yang digunakan untuk menyebut isu-isu tertentu yang memiliki tingkat probabilitas pemecahan masalah yang lebih rendah.
Pembedaan isu factual dan isu non factual memiliki nilai relevansi yang tinggi dalam kerja ilmiah. Terhadap isu "apakah gaya hidup (life-style) adalah penyebab terjadinya korupsi" adalah sebuah isu factual atau non-faktual seharusnya dipecahkan dalam kerja ilmiah. Dan itu mengandaikan dilakukannya suatu penelitian ilmiah dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan -- metodologi keilmuan yang lazim digunakan dalam penelitian ilmu sosial dan yang telah diakui suatu komunitas ilmiah. Jika kemudian sebuah penelitian ilmiah dapat membuktikan bahwa gaya hidup memang menjadi sebab utama terjadinya korupsi, isu sebagai masalah yang diperdebatkan di atas dengan sendirinya terpecahkan. Meskipun begitu, tetap saja terbuka kemungkinan terjadinya pembuktian yang sebaliknya.
Sebaliknya, terjadi bahwa suatu masalah hanya merupakan isu non-faktual dalam arti bahwa tingkat probabilitas pembuktiannya adalah rendah. Demikianlah, "apakah orang Melayu lebih sopan dibandingkan orang Jawa" dapat dikategorikan sebagai "isu" dalam arti dapat didiskusikan dan diperdebatkan. Tetapi tingkat probabilitasnya solusinya adalah rendah karena tingginya unsur subjektivitas yang dikandung isu tersebut. Dengan kata lain, berbagai isu yang tingkat subjektivitasnya tinggi memiliki kemungkinan pemecahan masalah yang rendah, dan itu berarti termasuk ke dalam isu non faktual.