Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Televisi Masih Layak Ditonton, tapi dengan Syarat...

20 Maret 2018   14:30 Diperbarui: 20 Maret 2018   19:04 2307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orangtua harus mendampingi dan membatasi akses anak-anak terhadap televisi. Sumber: http://sinetron-indonesia.com/unik/cara-menghindari-dampak-dan-pengaruh-sinetron-pada-anak

Kompasiana membuka diskusi mengenai artis alay dengan merujuk ke video yang diunggah Deddy Corbuzier di channel Youtube milik artis berkepala plontos itu. Video yang menjadi viral itu memang "menguak" dunia pertelevisian saat ini yang marak dan mencuri hampir sebagian besar waktu pemirsa, tetapi sayangnya, miskin kualitas. Saya sendiri berpendapat, bahwa televisi masih bisa dan perlu ditonton, tetapi dengan syarat.

Logika yang dibangun Deddy Corbuzier menjadi begitu sederhana dan simplistik, tetapi membuat orang mudah memahaminya. Ada semacam hukum pasar, bahwa ternyata program televisi yang berkualitas dan yang ada di bagian puncak piramida dalam pemahaman Deddy (mungkin sepertiga menjelang puncak) memang sangat sedikit dan terbatas. Dan celakanya, sebagian besar pemirsa Indonesia mau menontonnya.

Sebaliknya, program-program yang menghuni piramida bawah (mungkin dua pertiga piramida) adalah program-program yang mengeksploitasi emosi penonton, ditonton tanpa harus berpikir, mampu menguras air mata, sanggup mengocok perut dan cenderung menumpulkan akal sehat.

Justru program semacam ini yang tampaknya disukai. Berdasarkan karakteristik penonton seperti inilah para pelaku film, artis, dan sebagainya berusaha menyesuaikan perannya dengan kebutuhan pasar. Menjadi "alay" adalah bagian dari logika semacam itu.

Apakah kita heran akan hal ini? Seharusnya tidak, karena itulah gambaran karakteristik pemirsa Indonesia. Berdasarkan Survei KPI periode November-Desember 2016, acara infotainment, sinetron/film, variety show, dan komedi adalah empat program yang nilainya di bawah 3,5 dari skala 5 berdasarkan penilaian 120 penonton ahli yang dimintakan KPI dalam survei tersebut.

Dan itu nampak dari Survei Nielsen Indonesia pada kuartal ketiga 2011 di sembilan kota besar Indonesia, terhadap responden berusia 10 tahun ke atas. Survei itu menunjukkan bahwa orang Indonesia dari semua tingkat penghasilan senang sekali menonton TV (sekitar 95 persen). Dan program TV yang paling banyak disukai adalah talk show, majalah TV, infotainment atau dokumenter, yakni sebesar 26 persen pemirsa. Dan rata-rata waktu yang dibutuhkan orang Indonesia untuk menonton TV adalah 4 jam 40 menit.

Dengan begitu, jelaslah bahwa karakteristik penonton Indonesia memang menyukai acara-acara yang kurang berkualitas. Dan itu sedikit banyak menjawab kegundahan Deddy Corbuzier dan kita soal mengapa acara televisi alay dan pelaku dunia hiburan yang alay itu banyak disukai di Indonesia. Kesimpulan yang dapat kita ambil -- untuk sementara -- adalah bahwa pemirsa Indonesia tampaknya memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir kritis yang cenderung rendah terhadap sajian media.

Apa yang Harus Dilakukan?

Saya berpendapat bahwa televisi masih bisa dan harus ditonton tetapi dengan syarat. Apa syaratnya? Pertama, jika merujuk ke perkembangan anak, maka kita memang harus sepakat bahwa anak-anak usia 7-11 tahun dapat dibolehkan menonton TV tidak lebih dari 21 jam seminggu atau rata-rata 3 jam dalam sehari. 

Sementara anak-anak di atas 12 tahun tidak boleh menonton TV lebih dari 1 jam dalam sehari dengan durasi waktu yang bisa diperpanjang tidak lebih dari 2 jam di akhir pekan. Itu artinya kontrol atau kendali orangtua harus sungguh-sungguh diandalkan, dengan berbagai cara. Termasuk juga memilihkan program apa yang seharusnya ditonton oleh anak-anak.

Kedua, perbanyak tontonan yang memicu anak-anak berpikir kritis. Survei Nielsen yang saya rujuk di atas memperlihatkan bahwa orang Indonesia menghabiskan waktu yang terlalu sedikit dalam membaca majalah (rata-rata 44 menit per hari), tabloid (39 menit per hari), koran (21 menit per hari) dan sedikit baik dalam mendengar radio (1 jam 40 menit per hari).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun