Mungkin sebagian besar pembaca sudah tahu dan mengerti apa itu "euthanasia" Sekadar mengulang, secara etimologis, "euthanasia" berasal dari kata-kata Yunani eu yang artinya "baik" dan thanatos yang artinya "kematian". Itu artinya euthanasia adalah "kematian yang berbahagia".
Dalam sejarah peradaban Yunani dan Romawi, euthanasia digunakan untuk menyebut orang yang mengakhiri kehidupannya secara membahagiakan dalam arti mati tanpa penderitaan (lih. K. Bertens, Etika Biomedis, 2011: 241-242).
Pertanyaannya, apakah individu mengakhiri kehidupannya sendiri atau orang lain yang melakukannya? Apakah euthanasia itu dilakukan oleh seorang dokter dan pelayan kesehatan? Atau, itu dilakukan oleh pasien sendiri alias atas permintaan pasien? Apakah ketika dokter atau petugas kesehatan "merasa kasihan" terhadap penderitaan pasien yang tak-tertahankan (underable pain) dan kemudian mengakhiri penderitaan pasien itu dengan memberikan obat yang mematikan, tindakan itu sendiri dapat dibenarkan secara etis?
Aspek "atas permintaan pasien sendiri" sebagai indikator yang menunjukkan pilihan sadar, kebebasan dan otonomi pasien untuk mengakhiri hidupnya sering menjadi perdebatan persis karena kenyataan bahwa pasien yang mengakses "pelayanan" euthanasia adalah mereka yang berada pada tahap "sekarat" (terminal) yang kemungkinan besar tidak otonom dan tidak berada dalam kebebasan yang penuh.
Dalam konteks ini, euthanasia disebut sebagai "pengakhiran kehidupan karena belas kasihan" (mercy killing). Secara etis, jenis pengakhiran kehidupan ini tidak dapat diperbolehkan karena tidak menghormati kebebasan dan otonomi pasien.
Tetapi, apakah dengan begitu, permintaan pengakhiran kehidupan karena permintaan pasien sendiri yang dilakukan secara bebas dan otonom dapat dibenarkan? Bahwa dokter tidak terlibat dalam pembunuhan pasien karena dia hanya memberikan resep obat yang mematikan dan pasien meminum sendiri obat tersebut untuk mengakhiri kehidupannya? (Ini disebut sebagai "bunuh diri berbantuan" alias physician assister suicide)
Asosiasi Para Dokter Sebagai Kunci
Meskipun banyak pihak yang secara terang-terangan menolak mercy killingtidaklah demikian dengan bunuh diri berbantuan. Banyak argumen etis yang bisa dikemukakan untuk mendukung  posisi mendukung bunuh diri berbantuan: hak untuk mati (the right to die), hak untuk mati secara bermartabat (the right to die with dignity), atau karena belas kasihan (compassion).
Tetapi selama asosiasi dokter seluruh dunia masih melarang dokter terlibat di dalam praktik euthanasia, setiap dokter dan pelayan kesehatan biasanya tunduk pada ketentuan ini. Demikianlah, Kode Etik Kedokteran Internasional (World Medical Association/WMA) tahun 1949 menegaskan bahwa seorang dokter harus selalu mengingat dan mentaati kewajiban untuk mempertahankan kehidupan.
Ketentuan ini yang juga dipakai dalam Kode Etika Kedokteran Indonesia yang menegaskan bahwa "setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani" (pasal 7d, 2002).
Dengan begitu, tampak jelas bahwa asosiasi para dokter, baik pada level internasional maupun nasional, masih berpegang teguh pada janji profesi untuk tidak mempraktikkan euthanasia dan tidak menggolongkannya sebagai prosedur pelayanan kesehatan. Dan ini merupakan hal yang baik dan mulia, karena kalau pun negara misalnya menyetujui dan melegalisasi euthanasia, dokter dapat menggunakan prinsip etika profesinya untuk menolak terlibat dalam praktik semacam ini.