Dalam cara berpikir demikian juga seharusnya kita berbicara mengenai tindakan yang baik. Intinya, lebih baik membiasakan tindakan-tindakan yang baik, di mana pada tahap awal sebelum menjadi kebiasaan, kerja nalar dan pertimbangan rasional diberi ruang. Juga motivasi tindakan dan disiplin diri untuk terus bertindak secara baik. Ketika tindakan-tindakan baik itu sudah menjadi kebiasaan (habit), kerja nalar dengan berbagai pertimbangannya bisa kurang berperan di dalamnya, tetapi itu bukan sesuatu yang harus ditakutkan.
Meskipun begitu, tidak ada sesuatu yang sifatnya otomatis dalam tindakan manusia. Kalau pun orang sudah memiliki kebiasaan baik, ia tetap saja bisa melakukan hal-hal yang buruk dan merugikan, dan kadang-kadang perubahan itu terjadi secara cepat, drastis, bahkan dramatis. Kasus-kasus immoral yang melibatkan orang  yang selama ini dikenal baik dapat dikategorikan ke dalam cara berpikir seperti itu.
Karena itu, menurut saya, baik juga kalau kita tidak melulu mengikuti kebiasaan, meskipun itu kebiasaan baik. Terhadap kebiasaan buruk, kita senantiasa berusaha mengubahnya. Terhadap kebiasaan baik, kadang perlu disadari dan dipertanyakan: apakah kebiasaan itu memang sudah baik adanya? Atau, jangan-jangan ada sesuatu hal yang masih harus diperbaiki lagi supaya menjadi lebih baik. Intinya, jangan tenggelam dalam rutinitas dan kebiasaan.
Meski tampak sepele, sering kita melupakan kebijaksanaan hidup semacam ini. Jangan lupa, 45 persen manusia hidup berdasarkan kebiasaan, entah baik atau buruk. Karena itu, mengusulkan cara menjalankan kehidupan dengan menyeimbangkan antara rutinitas (yang telah menjadi kebiasaan) dengan mempertimbangkan secara rasional berbagai tindakan yang diambil bukanlah suatu pekerjaan mudah. Tetapi itu memang harus kita lakukan demi menyempurnakan kehidupan kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H