Seusai menyanyikan lagu "Ayah" bersama Judika, penyanyi nasional jebolan Indonesian Idol, Ahmad Abdul, peserta Indonesia Idol 2018 asal Kupang berkaca-kaca matanya. Dia tampak menangis. Air matanya meleleh membasahi pipinya. Ketika Maya Estianti, salah satu juri Idol bertanya mengapa menangis, apakah ada masalah dengan ayah, Abdul nyaris menjawab. Untung saja Judika memotongnya. Tetapi pertanyaan Judika membuat kita menduga bahwa relasi Abdul dengan sang ayah sedang tidak baik. "Masih ketemu ayah?" tanya Judika. "Sudah tidak ketemu," jawab Abdul. "Jadi sekarang tinggal sama ibu?" lanjut Judika. Abdul pun mengangguk.
Abdul tampak terkoyak hatinya. Saya yakin, kerongkongannya terasa sesak saat ia menyanyikan lagu. Pikirannya terarah kepada sosok ayah yang entah sudah berapa lama tidak berkomunikasi dengannya. Dan perasaan itu kini kembali tercabik lewat syair-syair indah lagu "Ayah": Untuk ayah tercinta/Aku ingin bernyanyi/Walau air mata/Di pipiku/Ayah dengarkanlah/Aku ingin berjumpa/Walau hanya dalam/Mimpi.
Entah mengapa air mata Abdul menembus kalbu. Di kejauhan kulihat wajah Alvhisahrina memerah. Kubaca kalimat demi kalimat yang Alvhisahrina tulis sebagai diary di blognya. Kata-katanya bagai belati yang kejam mengiris seluruh hati. Alvhisahrina menulis: Bagiku Ayah adalah orang yang paling berjasa menghancurkan hidupku. Yaa dia dengan teganya menikah lagi saat aku baru bisa mengucapkan kata ayah. Aku ingat saat itu aku sangat sangat mengingatnya saat ayah pergi dan Ibu mengejarnya hingga pintu depan. Aku tak mengerti kenapa aku mengingatnya. Tanpa memberiku pelukan ayah pergi dan tak pernah kembali lagi. Aku tak pernah mengerti kenapa ayah menikah lagi, apa dia tak pernah menyayangiku sehingga dengan mudahnya dia meninggalkanku dan Ibu.
Abdul, Alvhisahrina, dan entah siapa lagi. Mereka adalah orang-orang yang terluka. Mereka tidak pernah memilih untuk dilahirkan ke dunia ini, dan sekarang mereka harus menanggung semuanya itu. Entah siapa yang harus dipersalahkan, faktanya ribuan bahkan ratusan ribu pasangan suami istri yang memilih mengakhiri perkawinan suci. Dan mereka menyisakan luka teramat dalam dalam dada setiap putra dan putri mereka.
Itu artinya angka talak dan perceraian tahun 2010 mencapai 0,15 persen dan menjadi 0,17 persen di tahun 2015. Memang tampak kecil dan mungkin tidak bermakna. Tetapi kalau didramatisir, kita akan bisa merasakan makna di balik angka-angka itu. Jika Anda percaya bahwa tahun ketujuh sampai tahun kesepuluh adalah usia perkawinan yang rawan, maka dapat dikatakan bahwa rata-rata pasangan yang bercerai memiliki dua anak. Jadi, kalau ada 347.256 pasangan yang bercerai di tahun 2015, itu artinya ada 694.512 anak-anak yang harus hidup dalam keluarga yang tidak utuh.
Di situ saya sungguh merenung. Air mata Abdul dan kemarahan Alvhisahrina adalah bagian dari perasaan sakit ditinggal kedua orangtua yang mereka kasihi. Dan ini pengalaman yang sungguh menyakitkan, pertama-tama karena anak-anak tidak pernah memilih untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan. Mereka juga tidak pernah tahu apakah kedua orangtua mereka akan bercerai atau akan mempertahankan perkawinan mereka sampai kakek-nenek. Di situlah anak-anak adalah kelompok yang paling rentan -- untuk tidak mengatakan bahwa mereka adalah korban.
Apakah Anda percaya pada cinta? Jika dua insan memutuskan untuk menikah karena cinta, lalu mengapa mereka harus mengakhiri cinta itu? Saya tertarik dengan satu kalimat yang ditulis Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Amoris Laetitia (Kegembiraan Cinta): "Love is experienced and nurtured in the daily life of couples and their children" (Nr.90). Ya, cinta memang harus dialami dan dipelihara/dipupuk/dikembangkan setiap hari dalam diri pasangan suami istri dan anak-anak. Dan itu menuntut tanggungjawab setiap pasangan untuk memupuk, memelihara, dan memperhankannya.
Saya tidak berpretensi sebagai orang yang paling tahu soal apa yang dialami Abdul, Alvhisahrina dan ribuan anak-anak lainnya. Saya hanya merasakan sakit yang mendalam ketika melihat air mata Abdul meleleh membasahi pipi. Dan dalam perasaan tercabik itu, saya merenung pada diri sendiri -- yang juga seorang lelaki. Haruskah kita para lelaki lalai dalam menjaga, memelihara, dan merawat cinta? Haruskah kita menyerah pada keadaan, pada kesulitan hidup, pada kesulitan komunikasi, dan kemudian mencari seribu satu alasan untuk menjustifikasi, bahwa perkawinan kita sudah tidak sejalan lagi sesuai yang diharapkan?
Ah, saya tidak ingin menggurui karena takut karma. Saya hanya berharap, semoga Abdul dan Alvhisahrina baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H