Media sosial kita ditandai oleh berbagai postingan status, ulasan, komentar, lontaran opini, dan sebagainya yang sering juga menjadi viral. Meskipun selalu ada dua sisi yang ditampilkan, yakni sisi positif dan negatif, harus diakui, sisi negatif sering jauh lebih terkenal, jauh lebih popular, cepat menjadi viral, dan sebagainya.
Kadang -- atau malah sering -- berbagai status, ulasan, komentar, dan semacamnya yang berasal dari public figureitu cepat menjadi viral dan mendapat puluhan ribu bahkan di-shared oleh jutaan pemirsa. Dalam hal demikian, jika public figure mengatakan hal yang cendrung negatif, dampak viralnya menjadi berlipat.
Tidak usah jauh-jauh untuk bisa mengerti hal ini. Ambil saja contoh public figure yang ucapan atau komentarnya biasaya mendapat ribuan tanggapan, taruhlah Fahri Hamzah, Fadli Zon, Ahok, dan sebagainya. Tetapi juga para pesohor lainnya, entah artis atau pesohor agama semacam ustadz. Kasus terakhir soal Rina Nose yang tidak lagi mengenakan jilbab plus komentar ustadz tertentu yang cenderung menghinda juga menjadi viral. Dan itu diikuti berbagai komentar yang sifatnya negatif.
Pertanyaannya, mengapa kita manusia lebih suka pada hal-hal yang sifatnya negatif? Mengapa kita cendrung lebih lama mengingat hal yang negatif dibanding hal yang positif? Apakah hal ini telah menjadi bagian integral atau hakikat manusia? Jika ya, maka negativitas adalah sebuah ontologi pengada dalam artian filsafat?
Tiga Jawaban
Kali ini saya ingin membahasnya dari segi psikologi populer lalu kemudian menunjukkan implikasinya. Tesisnya adalah bahwa negativitas memang bersifat ontologis. Dia adalah bagian integral dari hakikat manusia dan acap kali menjadi lebih dominan dibandingkan dengan hal yang positif.
Sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, sifat menyukai dan mengingat hal-hal yang negatif termasuk fenomena evolusioner. Kajian keilmuan menunjukkan bahwa sejak awal, subjek selalu menyadari dan mempersepsi sesuatu secara berbeda, mengindentifikasi hal atau fenomena yang asing dan yang tidak sama dengan dirinya.
 Logika evolusi mengatakan bahwa ini dilakukan sebagai tuntutan untuk menghindari sedini mungkin segala hal yang berbeda dan mengancam. Inilah inti dari prinsip "struggle for life" yang begitu masyur didengungkan dalam evolusi. Sejak awal kehidupannya, manusia dan makhluk hidup lainnya memang dituntut untuk memiliki keterampilan bertahan hidup (survival skills).
Karena hal ini, dapatlah dimengerti bahwa manusia akan berusaha untuk menghindari hal yang negatif, yang lebih banyak atau berpotensi menimbulkan kerugian (hal yang negatif). Â Itu artinya dalam setiap keputusan, manusia selalu mendasarkan dirinya pada apa yang disebut sebagai ".... Keinginan untuk menghindari pengalaman negatif daripada hasrat untuk mencapai/mewujudkan pengalaman positif". Artinya juga bahwa pengalaman negatif atau rasa takut memiliki dampak yang lebih besar bagi hidup manusia dan bukan sebaliknya.
Ketiga, perspektif atau sudut pandang negatif jauh lebih beracun (contagious) dalam arti jauh lebih berdampak atau jauh lebih cepat viral dibandingkan dengan hal yang positif. Kita alami dalam keseharian kita, bahwa ternyata sikap kita umumnya lebih dipengaruhi oleh berita-berita buruk (bad news) daripada berita-berita gembira (good news). Dari segi bahasa, menarik untuk disitir, bahwa kata-kata emosional negatif dalam Kamus Bahasa Inggris ternyata jauh lebih banyak (62 persen) daripada kata-kata emosional positif (32 persen).