Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Manusia Lebih Tertarik pada Hal Negatif?

25 November 2017   09:57 Diperbarui: 26 November 2017   03:18 11800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi manusia berpikir. (Gambar: Pixabay/MichaelGaida)

Sifat Negatif yang Diproduksi Otak

Ketiga jawaban yang dikemukakan di atas diperkuat oleh temuan dan analisis atas cara kerja otak manusia. Otak manusia memiliki dua sistem yang berbeda dalam menanggapi rangsangan negatif dan rangsangan positif. Bagian otak yang disebut amygdalamenggunakan dua pertiga dari neuron-neoronnya untuk mendeteksi pengalaman-pengalaman negatif. Setiap kali bagian otak ini mendeteksi berita buruk, neuron-neuronnya segera (quickly) menyimpannya dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Ingatan jangka panjang inilah yang membuat kita selalu bisa mengingat kembali berbagai fenomena dalam waktu yang lama.

Brainy Quote
Brainy Quote
Di lain pihak, kita membutuhkan lebih dari 12 detik untuk menyimpan kesadaran akan pengalaman positif agar dapat ditransfer dari short term memoryke long term memory. Itu artinya pengalaman atau fenomena negatif cepat akan "nempel" dalam ingatan jangka panjang kita sementara fenomena positif butuh waktu lebih lama untuk diingat.

Kajian tentang otak manusia yang cenderung melihat/menyimpan hal negatif daripada hal positif dapat juga dilihat dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Tiga contoh  penelitian dan hasilnya dapat dikemukakan di sini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Jason Moser dan Andy Henion (Michigan State University) yang telah dipublikasikan di Journal of Abnormal Psychology (Andy Henion, Jason Moser. Positive, Negative Thinkers' Brains Revealed,April 2, 2014).

Kedua peneliti ini menemukan bahwa terdapat brain markersdalam otak manusia yang membedakan para pemikir negatif dan para pemikir positif. Jadi, ada orang-orang positif da nada pula orang-orang negatif di dunia ini. Mereka juga menemukan bahwa people who tend to worry showed a paradoxical backfiring effect in their brains when asked to decrease their negative emotions.Moser dkk menulis: "...they have really hard time putting a positive spin on difficult situations and actually make their negative emotions worse when they are asked to think positively".

Kedua, Christopher Nass, professor komunikasi pada Stanford University dan co-penulis dari The Man Who Lied to His Laptop: What Machines Teach Us About Human Relationships,berpendapat behwa manusia memang cenderung melihat kepada orang yang mengatakan hal negatif sebagai kelompok yang lebih cerdas ketimbang mereka yang mengatakan hal-hal yang positif. Di sini kita mengerti mengapa manusia lebih memperhatikan kritisisme daripada pengakuan dan pujian.

Ketiga, Mihaly Csikszentimihalyi, seorang Psikolog Hungaria, mengatakan bahwa kecuali otak kita disibukkan oleh hal-hal lain, rasa khawatir adalah posisi default otak manusia. Csikszentimihalyi menyebut ini sebagai "psychic entropy" yang harus kita hindari atau sekurang-kurangnya kita belajar untuk menghindarinya. Caranya adalah dengan mengontrol kesadaran kita dan mengarahkannya ke aktivitas-aktivitas yang memberikan umpan balik positif dan yang memperkuat kepekaan kita akan pencapaian tujuan dan prestasi.

Sikap Kita

Sama seperti kita yang cenderung bersifat negatif, kita juga berhadapan dengan orang lain yang memiliki sifat yang sama. Keadaan sosial akan menjadi kacau jika terlalu banyak hal negatif. Karena itu, tugas setiap kita adalah menghindari sejauh mungkin hal-hal yang sifatnya negatif. Misalnya, dengan melakukan atau memberi perhatian pada hal yang lebih positif. Daripada mengharapkan orang lain, kitalah yang memulainya. Kitalah yang mengambil inisiatif dan langkah pertama.

Mengalihkan pikiran negatif ke pikiran positif. Sumber: https://www.nytimes.com
Mengalihkan pikiran negatif ke pikiran positif. Sumber: https://www.nytimes.com
Nasihat-nasihat lainnya dari psikologi juga penting untuk dicatat di sini. Mari kita menahan diri dari memberi terlalu banyak porsi dan analisis pada hal-hal atau pengalaman negatif yang kita hadapi. Ingat selalu bahwa hal yang negatif lebih cepat "nyantol" dalam ingatan kita ketimbang hal yang positif. Karena itu, usaha keras seharusnya lebih diberikan pada upaya memberi perhatian dan mempraktikkan hal-hal yang positif. Dan ini sungguh sebuah pilihan manusia. Bersikap negatif adalah hal yang kodrati, sementara bersikap positif adalah sebuah pembudayaan.

Ini dapat dilakukan dalam setiap aktivitas harian kita. Misalnya, kita menghindari kritisisme atau memberi porsi terlalu banyak pada kritik. Kalau ada sesuatu yang harus dikritik, sebaiknya kita memberi kritik terlebih dahulu -- jadi menyampaikan hal negatif atau aspek yang kurang terlebih dahulu -- setelah itu baru menyampaikan hal yang positif. Jangan dibalik. Ini sengaja dilakukan supaya hal negatif menjadi "asupan" yang paling akhir kita masukkan ke dalam otak, dengan harapan, hal positif ini yang akan bertahan dan diingat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun