Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Figur Politik Mengucapkan Selamat Hari Raya

23 Desember 2012   02:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:10 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengucapkan selamat hari raya memang bukan hal yang tabu. Siapa pun boleh mengucapkan selamat hari raya. Kita memahami praktik ini sebagai ungkapan silaturrahmi ketika momen hari raya dimaknakan sebagai kesempatan untuk semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Berangkat dari asumsi semacam inilah kita harus jujur mengatakan, bahwa figur politik populer di Republik ini – Prabowo Subianto, Hatta Radjasa, Hari Tanoe, Chaerul Tandjung, Aburizal Bakrie dan seterusnya –punya hak yang sama untuk mengucapkan (atau tidak mengucapkan) selamat hari raya. Jika begitu, relevankah kalau saya merasa risih dengan iklannya Hatta Radjasa yang mengucapkan Selamat Hari Ibu pada tanggal 20 Desember kemarin?

Saya tidak tahu apakah sedang lebai atau over reacted atas iklan tersebut. Yang jelas, perasaan saya mengatakan bahwa iklan itu tidak iklas dalam arti didorong oleh motivasi murni untuk mengucapkan selamat hari ibu. Perasaan subjektif inilah yang kemudian mendorong saya untuk segera menemukan pendasaran konseptual-objektifnya. Saya mau menjawab pertanyaan mengapa saya merasa ill feel dengan tayangan iklan tersebut?

Pertanyaan kritis pertama: apakah Hatta Radjasa tetap akan memasang iklan ucapan selamat hari ibu pada tahun-tahun lain yang akan datang yang tidak mendekati pemilihan umum di mana kepentingan politik sebagai kandidat presiden menjadi taruhannya? Ada yang mungkin menjawab “ya”, dan itu artinya mengakui motivasi murni dari si pemasang iklan, bahwa ungkapan terima kasih kepada ibu memang sebuah ungkapan murni, keluar dari dalam hati yang ingin mengucapkan terima kasih atas seluruh kebaikan yang sudah ibu berikan.

Tetapi ada juga pihak yang menjawab “tidak”, dan saya termasuk kelompok ini. Mengapa begitu? Gampang melacaknya. Jika beberapa tahun sebelum Pemilu tahun 2014 Hatta Radjasa sudah beberapa kali memasang iklan serupa, kita bisa mengatakan bahwa motivasinya adalah murni mengucapkan syukur dan terima kasih kepada peran ibu dalam hidup manusia. Menurut catatan saya, iklan ucapan selamat hari ibu dari Hatta Radjasa baru muncul tahun ini, setahun menjelang Pemilu 2014, sehingga saya harus menghubungkan hal ini dengan interes politik sebagai salah satu calon presiden RI. Kita juga bisa menebak, apakah menjelang 20 Desember 2014 di hari ibu tahun depan, Hatta Radjasa masih memasang iklan yang sama, padahal Pemilu 2014 sudah selesai digelar pada saat itu? Jika motifnya adalah interes politik, bisa dipastikan tidak akan ada iklan yang sama di tahun depan.

Dalam konteks inilah saya memahami iklan selamat hari ibu itu sebagai iklan politik. Memang tidak ada kampanye politik atau ekspresi keinginan politik dalam iklan tersebut, tetapi kita tidak boleh lupa, bahwa iklan politik memiliki level pengungkapan yang berbeda-beda. Seseorang yang memiliki interes politik tidak akan langsung mengekspresikan keinginan politiknya pada kesempatan pertama penampilan iklannya. Level pertama biasanya adalah level memperkenalkan tokoh atau figur. Itulah yang terjadi pada tokoh-tokoh lain seperti Prabowo Subianto yang memanfaatkan perannya sebagai Ketua HKTI atau bahkan juga Chaerul Tanjung yang menggeber habis figur dirinya melalui iklan buku Si Anak Singkong.

Level memperkenalkan figur (endorsement) ini sebenarnya bertujuan untuk mengetes sejauh mana publik mengenal dan menerima figur tersebut. Melalui analisis dan kajian ilmiah untuk mengetes keberterimaan masyarakat atas figur, tahap berikutnya adalah menghubungkan atau membuat koneksi antara sang tokoh (figur) dengan pilihan ideologisnya. Ini yang kita saksikan pada iklan-iklan politik Prabowo Subianto atau sekarang sudah mulai tampak dalam iklan politik Aburizal Bakrie. Karena masyarakat sudah mengenal mereka dalam tahap endorsement, tahap kedua bertujuan untuk menciptakan dalam kesadaran masyarakat, bahwa tokoh atau figur tertentu identik dengan ideologi tertentu. Demikianlah, Prabowo Subianto melalui iklan-iklannya berusaha menciptakan kesan kuat dirinya yang pro pasar rakyat, pro petani, dan anti pasar bebas. Secara sadar, iklan-iklan politik Prabowo berusaha menghubungkan dirinya dengan ideologi non-liberalistis. Hal yang mirip juga terjadi pada iklan politik Ical. Iklan-iklan endorsement atas tokoh Ical (dilakukan oleh figur Nurul Arifin dan Tantowi Yahya) memang terus dilakukan, tetapi pada saat bersamaan masyarakat dikondisikan untuk mempersepsi Ical sebagai figur yang memperhatikan kepentingan rakyat kecil dan miskin. Itulah kepentingan ideologi.

Level atau tahap paling tinggi dari sebuah iklan politik adalah seruan atau ajakan untuk memilih seorang tokoh dalam pemilihan umum. Tahap ini biasanya terjadi menjelang diadakannya pemilihan umum. Wujudnya bisa berupa iklan dengan bahasa positif tetapi bisa juga kampanye negatif atau kampanye gelap. Keduanya memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri yang tidak ingin saya bahas di sini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa iklan politik yang kita saksikan tentang tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas belum memasuki tahap ketiga ini. Bahkan pada iklan Selamat Hari Ibunya Hatta Radjasa belum mencapai tahap kedua dari tiga tahap iklan politik yang saya deskripsikan di sini.

Apa relevansi tulisan ini bagi pembaca? Saya hanya ingin mengatakan, bahwa ternyata interes politik dapat dibungkus dalam iklan yang tampaknya mulia – mengucapkan selamat hari ibu, selamat hari raya keagamaan, dan sebagainya – tetapi menyembunyikan hasrat politik kekuasaan. Salah satu karakteristik iklan politik adalah propaganda, dan itu berarti memiliki jarak yang terlalu jauh dengan kebenaran (kenyataan). Dalam arti itu, mungkin baik kalau kita tidak terlalu mempedulikan apakah Ical atau Prabowo memang benar-benar pejuang wong cilik atau tidak, karena kuatnya elemen propaganda dalam setiap iklan politik. Cara berpikir yang sama juga yang kita terapkan dalam membaca iklan politik Hatta Radjasa, Chaerul Tandjung, atau tokoh politik siapa pun.

Tokoh-tokoh politik itu hanya menjadi apa yang mereka representasikan dalam iklan jika kerja politik mereka didukung oleh kiprah nyata mereka dalam memajukan kesejahteraan bersama. Dan itu harus diuji oleh masyarakat itu sendiri.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun