Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Ketika Jose Mourinho dibuat tak berdaya: Larangan spesial buat “orang special” (Special ban for a "special" one)

6 Mei 2011   22:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_105806" align="alignleft" width="300" caption="Jose Mourinho, The Special One!"][/caption] Bicara mengenai klub sepak bola, saya pendukung setia Arsenal, tetapi juga Real Madrid, karena kehadiran sang pelatih, Jose Mourinho alias “the special one”. Kebiasaan mendukung dua klub sekaligus ini tidak biasa saya lakukan sampai tahun 2004 ketika Jose Mourinho yang kala itu menukangi FC Porto memenangi Liga Champion. Menyaksikan langsung pertandingan waktu itu dan melihat pertama kalinya pria asal Setubal, Portugal ini mengekspresikan kegembiraannya dan kemudian melihat sendiri bagaimana dia menerapkan taktik permainan di lapangan, saya berpikir bahwa orang ini memang luar biasa. Karena itu, ketika dia menangani Chelsea, saya juga ikut mendukung klub ini. Demikian pula dengan Inter Milan, dan sekarang adalah Real Madrid.

Tentu dukungan semacam ini punya dampak psikologis, misalnya saat ini, ketika UEFA menghukum Jose Mourinho larangan mendampingi El Real dalam 5 pertandingan (tinggal tiga lagi, karena sudah dihitung sejak pertandingan league 1 melawan Barcelona di Bernabeu), saya tentu merasa sedih. Untuk menghilangkan rasa sedih dan kecewa, saya berusaha bersikap rasional, dan salah satunya adalah dengan cara membaca hampir semua berita dan komentar mengenai Jose Mourinho, baik yang pro maupun kontra. Dengan cara ini, demikian keyakinan saya, sikap rasional dan kritis bisa mengalahkan emosi, dan semoga bisa memahami apa yang terjadi saat ini secara seimbang.

Ketika membaca berita-berita di berbagai situs berita online di dunia itulah saya terinspirasi menulis karangan ini. Judul karangan itu diambil dari komentar seorang pembaca The Telegraph bernama menggunakan nama Grincher (komentar posted pada 6 April 2011, jam 20:00 waktu Inggris). Mengapa UEFA menjatuhkan hukuman sekeras itu? Apakah reaksi the special one, klub, orang-orang di sekitarnya, dan juga dunia? Menarik untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini sekaligus mengungkapkan hal-hal lain yang barangkali menarik tetapi tidak sempat diwartakan media massa kita.

Dihukum Lima Pertandingan

Sebagaimana juga diwartakan media massa dalam negeri, Jose Mourinho dikenai larangan mendampingi klubnya selama lima kali pertandingan ke depan, termasuk larangan kelima yang masa hukumannya diperpanjang sampai tiga musim ke depan. Hukuman itu berkenan dengan komentar-komentarnya setelah pertandingan melawan Barcelona di Liga Champion. Tiga hanya itu. Mou juga diwajibkan membayar denda sebesar 50.000 Euro (1 Euro bernilai Rp.12.390), sementara Real Madrid FC harus membayar denda sebesar 20.000 Euro.

[caption id="attachment_105807" align="alignleft" width="466" caption="Mou ketika diusir keluar dari lapangan saat Real Madrid melawan Barcelona dalam laga pertama Piala Champion, 2011."][/caption]

Apa sih komentar Mourinho yang membuat gerah dan marah para petinggi UEFA dan pencinta sepak bola sedunia? Mourinho mendata “dosa-dosa” wasit dan ofisial yang memimpin pertandingan melawan Barcelona. Menurut Mou, mereka semua menguntungkan Barcelona FC karena punya hubungan tertentu dengan klub itu, sekurang-kurangnya ikatan emosional. Mou menyebut Anders Frisk (Sang Wasit) sebagai yang pernah menerima kunjungan Frank Rijkaard di saat turun main di tahun 2005 ketika melawan Chelsea FC di Liga Champion. Tom Henning Ovrebo tidak memberikan penalti kepada Chelsea FC di tahun 2009, lagi-lagi saat melawan Barcelona di Stamford Bridge. Massimo Busacca, menurut Mourinho, adalah orang yang paling bertanggung jawab menghukum Robin ban Persie dengan kartu merah saat Arsenal bertandang ke Camp Nou di Liga Champion 2011 yang membuat Arsenal kehilangan peluang melaju ke babak berikutnya. Sementara itu, Wolfgang Stark, menurut Mourinho, menghukum kartu merah kepada Pepe di League Pertama melawan Barcelona dalam Liga Champion tahun ini di Bernabeu. Singkat kata, Mourinho melihat adanya konspirasi melawan dirinya dan klubnya ketika pertandingan dipimpin oleh keempat ofisial ini. Ketika ditanya mengenai apa yang dia katakana saat bereaksi kepada hukuman kartu merah kepada Pepe yang berujung diusirnya dirinya ke luar lapangan, Mourinho mengatakan bahwa sebetulnya dia tidak mengatakan apa-apa ketika sedang berjalan meninggalkan lapangan. “Saya tidak mengatakan apa-apa kepada wasit,” demikian Mourinho, “Saya hanya ketawa dan menunjukkan jempol saya ke arah mereka. Itu aja kog. Jika saya mengatakan sesuatu kepadanya dan kepada UEFA, saya kira karier saya sebagai pelatih akan berakhir hari ini. Saya tidak bisa mengatakan apa yang saya rasakan. Saya hanya memendam satu pertanyaan: why? Why? Ovreba, Busacca, Frisk, Stark? Mengapa semua orang ini [memimpin pertandingan]?”

Lebih lanjut, Mourinho juga berpendapat bahwa Barcelona lebih diuntungkan dan menikmati keuntungan itu. “Setiap semi final selalu menghasilkan hal yang sama [maksudnya menguntungkan Barcelona],” demikian Mourinho. “Saya tidak mengerti apakah ini adalah sebuah promosi buat Unicef [harap diketahui, logo Unicef tercetak di bagian depan kostum Barcelona, dan dengan mengatakan demikian, Mourinho tampaknya mengatakan bahwa kalau Barcelona semakin lama bermain, logo Unicef akan semakin sering disorot kamera, dan itu adalah iklan bagi lembaga PBB itu].

Jose Mourinho juga memberikan komentar yang pedas mengenai Pep Guardiola. Kata pria asal Portugal ini, “Saya tahu bahwa sahabat-sahabat saya dari Catalan akan sangat bahagia dan mereka akan pergi ke Wembley, tetapi untuk memenangkan pertandingan ini kita tidak bisa mengalami perasaan yang sama.” Lanjut Mourinho, “Saya memenangkan dua gelar Eropa dan memenangkannya melalui pertandingan yang ketat. Saya akan malu memenangkan gelar itu karena piala itu dimenangkan melalui skandal di Stamford Bridge. Dan pertandingan ini akan dimenangkan melalui skandal di Bernabeu. Saya harap suatu waktu dia [Pep Guardiola] memenangkan gelar sebagaimana seharusnya terjadi, sempurna, tanpa bantuan, dan tanpa skandal. Saya menghormatinya sebagai manejer. Saya menaruh hormat padanya sebelum pertandingan.”

Komentar semacam ini kontan saja menimbulkan reaksi protes dan kemarahan, termasuk ketidaksenangan dari orang-orang di sekitar Mourinho sendiri. Ramon Calderon, mantan Presiden Real Madrid ikut bereaksi keras melawan Mourinho. “Saya kira apa yang dilakukan Mourinho dalam mengkritik UEFA dan wasit tidak bisa diterima sama sekali. Itu tidak cocok dengan sejarah Real Madrid,” demikian Calderon.

Ketika banyak pihak mengecam the special one, Alex Ferguson justru memuji dan mendukungnya. Berbeda dengan Arsene Wenger yang tidak memberikan komentar apa-apa mengenai kekalahan Real Madrid dari Barcelona setelah pertandingan pertama, Ferguson justru menunjukkan keberpihakannya pada Mourinho. Kata Ferguson, “Saya cukup sering berbicara dengan dia, termasuk setelah pertandingan pertama melawan Barcelona di Bernabeu di mana Mourinho diusir dari lapangan dan kemenangan mereka dirampok oleh Uefa. Saya berbicara dengan dia minggu lalu.” Reaksi dukung-mendukung inilah yang memperkuat dugaan bahwa Jose Mourinho akan menukangi MU setelah Ferguson pension.

Memecahbelah Spanyol?

[caption id="attachment_105810" align="alignleft" width="610" caption="Kesebelasan Matador, terancam pecah gara-gara komentarnya Jose Mourinho?"][/caption] Sementara itu, Simon Briggs dalam sebuah tulisannya berjudul Real Madrid manager Jose Mourinho is playing a dangerous game with his mavericks posturing yang terbit di harian The Telegraph (Jumat, 6 Mei 2011) berpendapat bahwa komentar-komentar Jose Mourinho justru memecahbela kesatuan dan keharmonisan pemain nasional Spanyol. Menurut Simon Briggs, para pemain nasional Spanyol sebenarnya terfragmentasi dan terpecah berdasarkan tanah kelahiran mereka. Meskipun ada liga tingkat nasional bernama La Liga, bermain membela Barcelona bagi orang Catalan atau bermain untuk Real Madrid sama saja dengan membela tanah air. Orang-orang Catalan dalam sejarah Spanyol selalu dan tetap berjuang untuk melepaskan diri dari kekuasaan Madrid, sehingga ketika kedua klub bertemu, pertandingan serasa perang antardua negara. Apalagi orang Barcelona belum lupa, bahwa Jenderal Franco yang menumpas pemberontakan orang Catalan adalah pendukung fanatik Real Madrid FC.

Masih menurut Simon Briggs, para pemain Spanyol tidak memilih semangat nasionalisme sampai tahun 2008 ketika kesebelasan Matador berhasil maju ke final Piala Eropa di Wina, Austria. Mengutip Orfeo Suarez, koresponden bola kaki harian berbahasa Spanyol El Mundo, Simon Briggs menulis, bahwa Suarez mengakui absennya persatuan nasional di kalangan pemain Spanyol ini. Ketika bermain di final Piala Eropa, demikian pengakuan Suarez, para pemain Spanyol harus dimotivasi bahwa Liga Eropa itu lebih besar dan lebih berwibawa dibandingkan La Liga.” Setelah dimotivasi demikian baru perasaan nasional mereka timbul, dan baru setelah itu mereka bermain mati-matian memenangkan Spanyol. Masih mengutip Suarez, kemenangan kesebelasan Matador pada Piala Dunia di Afrika Selatan pun tidak murni sebuah kemenangan Spanyol, karena sebagian besar pemain nasional yang berlaga waktu itu adalah orang Catalan.

Pasca kemenangan di Afrika Selatan itulah Vincent Del Bosque, pelatih kesebelasan Spanyol saat ini, yakin bahwa persatuan dan kesatuan negaranya semakin kuat dan solid. Bahkan ketika pertandingan Real Madrid vs Barcelona tahun ini, baik di ajang La Liga maupun Liga Champion yang berakhir dengan ketegangan dan bahaya keretakan antarpemain, Del Bosque masih yakin, bahwa para pemain nasional tetap solid. Tetapi, setelah komentar-komentar pedas dan tajam Jose Mourinho ini, apakah kesebelasan Matador akan tetap solid? Akankah perasaan sebagai bangsa lebih diutamakan dari pada sentiment kedaerahan dan klub ketika Iker Casillas berlatih bersama Iniesta atau Xavi Fernandez? Atau, Gerald Pique bertemu Sergio Ramos?

Tentu dituntut kerja keras Vicente del Bosque untuk merajut kembali kesatuan dan rasa kebangsaan, dan itu sebuah pekerjaan yang tidak ringan, mengingat Piala Eropa sebentar lagi digelar. Dan tentu berpulang ke setuap pemain Matador, apakah sentiment klub akan lebih mereka utamakan daripada keutuhan tim nasional.

Kembali ke tesis Simon Briggs dalam tulisannya, apakah benar bahwa komentar-komentar dan sikap Jose Mourinho benar-benar mempertajam rasa kebencian di antara pemain-pemain asal Catalan dan pemain-pemain Madrid? Tentu masih harus dibuktikan, tetapi kalau pun kesebelasan Matador tidak berhasil mempertahankan gelar Piala Eropa tahun depan, saya kira faktor Jose Mourinho tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya alasan.

Demi sebuah kesucian sepak bola, mari bersikap jantan dan menerima segala kemenangan dan kekalahan secara jujur dan bermartabat. Hidup sepak bola!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun