Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teror, Kapankah Berlalu?

25 Maret 2011   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentetan bom kembali meneror kehidupan normal kita persis ketika sebagian kita mulai perlahan melupakan aksi bom bunuh diri yang merenggut ratus korban tak berdosa sepuluh tahun terakhir. Pola serangan yang berubah—dari aksi bom bunuh diri masif yang menarget massa tak-berdosa kepada pribadi atau figur—sepertinya “merepotkan” analisis pengamat. Apakah perubahan ini sebuah strategi involutif ke arah pencanggihan pola gerakan dan masifikasi efek teror? Apakah perubahan ini pertanda keberhasilan ekstensifikasi “tanggung jawab” meneror dan membunuh yang semula ada di pundak seorang “suicide bomber” terlatih kepada semua anggota jaringan selaku peneror dan pembom tanpa harus menjadi pelaku bom bunuh diri?

Diperlukan analisa berbasis evidensi untuk membaca peralihan semacam ini. Meskipun demikian, yang tidak pernah berubah dari setiap terorisme adalah sifatnya yang mengancam dan menakutkan. Bagi seorang Brian Jenkins, “terorisme adalah teater”(2006: 7). Dia sebuah lakon yang peran dan pelakunya absen dari dari panggung nyata, tetapi pelaku utamanya menatap wajah pelaku lainnya dan penonton dengan sorot mata penuh kedengkian dan amarah. Hanya dia yang tahu kapan teater itu mencapai klimaks. Dia tidak memberi ruang dan kesempatan kepada penonton untuk menikmati, tertawa dan hanyut dalam setiap adegan yang dipertontonkan.

Tiga alasan mengapa teror dalam segala bentuknya sangat menakutkan dan menelanjangi kebebasan individual warga negara, sehingga tidak pernah bisa dibenarkan secara moral. Pertama, terorisme sebagai ideologi terus berjuang untuk eksis agar bisa diterima sebagai gerakan politik “normal” demi perealisasian sebuah cita-cita. Meminjam pemikiran W.B. Gallie mengenai “essentially contested concept” (1956), sebagian orang berpendapat bahwa terorisme lebih merupakan perjuangan epistemologis di ranah politis demi merealisasikan ideologi itu sebagai bagian dari gerakan politik normal.

Jika itu yang dimaksud maka kita bisa menebak arah perdebatan epistemologis itu. Pertarungan makna berakhir pada fase penerimaan nilai-nilai ideologis yang menjadi semacam “source of morality”. Pada level ini, ideologi yang telah mengeksis menjustifikasi tindakan setiap individu dalam wilayah kekuasaannya sebegitu rupa sehingga setiap perilaku menyimpang akan ditindak, bahkan dengan membenarkan kekerasan demi kemurnian nilai-nilai ideologis.

Persis di sinilah kita berhadapan dengan sifat menakutkan kedua dari terorisme. Kekerasan berkala dimaksud sebagai sarana untuk mengingatkan kita bahwa mereka eksis dan bahwa mereka sedang memperjuangkan sebuah ideologi politik yang penerimaan publik atasnya harus melalui pertarungan epistemologis. Pada titik ini masifikasi kekerasan dan teror seakan “melatih” kita membiasakan diri dengannya sebagai sarana perjuangan yang normal mencapai cita-cita politik. Anehnya, pertarungan epistemologis itu mengandalkan kekuatan teror dan kekerasan yang tidak hanya melumpuhkan fisik dan menakutkan jiwa, tetapi juga menelanjangi akal sehat dan nalar. Maka, kalau pun benar terorisme adalah pertarungan epistemologis demi eksistensi ideologi politik, pertarungan itu sendiri berat sebelah persis ketika nalar selaku senjata dalam pertarungan itu telah dilucuti jauh sebelum memasuki arena perang.

Ketiga, tunduk pada skenario perjuangan para teroris sama artinya dengan membenarkan penggunaan kekerasan demi sebuah tujuan. Keluhuran manusia terletak pada harga dirinya, pada nilai-nilai luhur semacam kebebasan, kesucian tubuh, integritas diri, tujuan pada dirinya, dan sebagainya, yang tidak pernah bisa direduksikan sebagai alat demi tujuan apapun. Setidak-tidaknya itulah yang dimaklumkan Immanuel Kant melalui karya, Foundations of the Metaphysics of Morals(1785), ketika mengatakan, “Act with reference to every rational being (whether yourself or another) so that it is an end in itself, never as a mere means.”

Lagi-lagi para teroris meloloskan diri dari seruan moral semacam ini. Sebagaimana dikatakan F. Shughart (2006: 10), para teroris tidak pernah mau tunduk pada aturan moral atau norma hukum positif tertentu dengan mengatasnamakan universalitas dan kemurnian nilai-nilai ideologisnya sendiri. Dan kita pun, seraya takut dan was-was, seakan diyakinkan bahwa berperilaku sebaliknya dari apa yang diyakini Kant adalah hal yang wajar. Dan ketika mencoba memahami alasan mengapa kekerasan dipakai sebagai sarana mencapai tujuan ideologis dan politis, nalar kita seakan lumpuh mencerna pemikiran Robert Nozick dalam Anarchy, State and Utopia (1974), saat dia meyakinkan kita bahwa kekerasan dibenarkan terhadap mereka yang menjadi ancaman. Masalahnya lagi-lagi terletak di simpul perdebatan epistemologis: mengkategorikan orang sebagai “kelompok kita” dan “orang lain” selaku objek yang harus dimusnahkan.

Pada simpul-simpul ketakutan itulah kita seharusnya berhenti dan bertanya: dengan cara apakah kekerasan dan terorisme harus dihentikan? Atau, mungkin lebih tepat, apakah kekerasan dan terorisme dapat dihentikan? Pertanyaan semacam ini dapat menjadi teror tersendiri, tetapi urgensinya jelas: pendekatan kekerasan melawan kekerasan hanya akan mengekalkan kekerasan itu sendiri. Kalau gerakan itu sebuah ideologi berbasis ajaran agama, proses dialog dan sosialisasi doktrin suci yang inklusif dan moderat seharusnya dimulai dari setiap keluarga. Jika itu sebentuk pemberontakan karena ketidakadilan dan kesenjangan sosial, mewujudkan masyarakat yang adil dan beradab semestinya ditingkatkan. Dan bila itu sebuah pertarungan epistemologis demi eksistensi ideologi dan politik, keberanian mendiskursuskan cita-cita ideologis secara terbuka di ranah publik sangat dituntut dari para teroris.

Tampaknya terorisme selaku teater akan terus menegangkan dan menakutkan persis ketika para pemainnya bersembunyi di belakang layar kebencian, irasionalitas, dan kekebalan nurani. Sebagai rakyat kecil, kita tidak pernah tahu siapa menarget siapa atau apa motifnya yang sebenarnya. Hanya satu harapan masih tersisa, semoga ketakutan ini segera berakhir. Sir John Lubbockmengatakan, “A day of worry is more exhausting than a day of work.” Di tengah kegetiran dan kesulitan hidup, kita ingin terbebas dari rasa takut dan gelisah, karena hanya akan membuat hidup yang sudah susah ini semakin berat tak tertahankan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun