PengantarÂ
Konflik antara prinsip imunitas negara asing dalam pelanggaran hak asasi manusia ( HAM ) berat. Dalam konteks perkembangan normal hukum internasional, pelanggaran HAM berat diakui sebagai jus Cogens atau norma yang tidak dapat disampingi. namun, penerapan doktrin imunitas negara sering kali menjadi hambatan dalam penegakan keadilan terutama di pengadilan nasional negara lain. Lalu apakah imunitas negara dapat tetap dipertahankan dalam kasus pelanggaran HAM berat? maka dari itu mari kita bedah mengenai imunitas negara dalam pelanggaran HAM berat.
Imunitas Negara di Depan Forum Asing merupakan hak yang fundamental.
Doktrin imunitas negara adalah suatu doktrin yang mengijinkan suatu negara menuntut imunitas atau kekebalan di depan pengadilan nasional negara asing berkaitan dengan penerapan hukum lokal negara asing yang bersangkutan. Negara dalam berbagai bentuk penampakan seperti departemen pemerintah, pejabat negara,kepala negara mampu melepaskan diri dari penerapan hukum nasional yang dilakukan oleh pengadilan nasional negara lain.Â
Sejak pertengahan abad 19, prinsip imunitas kedaulatan telah diterima sebagai praktek umum di kebanyakan negara-negara modern di Eropa dan Amerika. Mayoritas pengadilan mereka menyetujui bahwa negara-negara asing harus dikecualikan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial setiap pengadilan nasional. Mereka juga mengakui bahwa dasar pengecualian tersebut berada dalam kedaulatan negara-negara itu sendiri. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dasar imunitas dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip kedaulatan,Kemerdekaan, persamaan derajat, penghormatan terhadap negara-negara asing, ekstra teritorial, sopan santun dan fungsi diplomatik. Tujuan keberadaan doktrin imunitas negara untuk meningkatkan sopan santun dan hubungan baik antar negara melalui penghormatan atas kedaulatan negara lain.
sampai saat ini imunitas negara asing masih merupakan prinsip yang fundamental, diakui dan diterima oleh masyarakat internasional. Negara wajib memberikan imunitas pada negara asing di depan forum nasional mereka. Pemberian imunitas ini sangat penting artinya,bertujuan untuk sopan santun, menghormati kedaulatan negara lain serta menjaga hubungan baik dengan negara lain. Mengadili negara lain di depan forum nasional akan dianggap merendahkan harkat dan martabat negara tersebut. Dengan mengadili Negara asing di forum nasional seolah meletakkan posisi sebuah negara merdeka yang semestinya punya kedudukan sejajar dengan negara merdeka lain negara dibawah posisi negara yang mengadili. Meskipun demikian, praktek negara-negara juga menunjukkan bahwa saat ini yang berlaku adalah teori imunitas terbatas yang membedakan tindakan negara menjadi jure gestionis dan jure imperii. Seiring dengan menguatnya penghormatan terhadap HAM pembatasan imunitas negara asing di depan forum nasional tidak lagi terbatas pada tindakan komersil semata tetapi juga terhadap tindakan yang mengakibatkan kematian atau kerugian lainnya pada seseorang dimana tindakan itu terjadi seluruhnya atau sebagian di negara forum dan dengan syarat tindakan itu dapat dilimpahkan (attributable) pada negara asing itu.
Putusan pengadilan terkait pelanggaran HAM berat dan imunitas negara.
Kali ini saya akan kasih 2 contoh negara yang memberikan imunitas negara kepada negara lain, dan negara yang tidak memberikan imunitas negara kepada negara lain dalam konteks Jus Cogens.
1. Putusan pengadilan yang menolak adanya Imunitas negara, seperti kasus :
- Kasus ferrini vs German
- Â Prefecture of Voiotia v. Federal Republic of Germany
- Kasus Furundzija
- Princz v. Federal Republic of Germany.
2. Putusan-putusan pengadilan yang memberikan imunitas Negara, seperi contohnya :
- Al-Adsani v Kuwait
- Bouzari v Iran(App no 31253/96).
- Ron Jones v Saudi Arabia.
- McElhinney v Ireland,
- Kasus the Arrest Warrant of 11 April 2000 (Democratic Republic of the Congo v Belgium), 14 February 2002.
Sebenarnya kasus-kasus diatas memiliki banyak faktor yang mendukung dan alasan-alasan yang masuk akal terhadap kasus tersebut.
1. Imunitas negara mengalami pengikisan terhadap norma-norma jus cogens yang memberi perlindungan kepada HAM yang fundamental.
2. Yurisdiksi universal dapat diperluas pada tindakan perdata sebagai akibat kerugian yang muncul dari dilakukannya kejahatan internasional.
3. Beberapa negara telah mengubah undang undang imunitas negara asing di forum nasional mereka dengan memprioritaskan pelanggaran HAM yang berat atas imunitas negara.
4. Tindakan yang masuk kategori kejahatan internasional tidak dapat dianggap sebagai tindakan resmi pejabat negara dalam rangka melaksanakan fungsinya ataupun tindakan pihak yang berdaulat untuk tujuan memperoleh imunitas.
5.Sifat HAM yang fundamental sebagai jus cogens , peremptory norms, melindungi HAM diutamakan atas hukum kebiasaan internasional yang biasa (simple customary rules)seperti pemberian imunitas negara.Â
6. Hanya tindakan negara yang masuk kategori jure imperi yang memperoleh imunitas. Pelanggaran HAM yang berat bukanlah jure imperii melainkan penyalahgunaan kedaulatan negara, pelanggaran peremptory norm /jus cogens,sehingga imunitas negara tidak dapat diberikan.
Konsekuensi Pelanggaran Jus cogens terhadap eksistensi imunitas negara. untuk menyatakan dampak pelanggaran jus cogens terhadap imunitas negara pengadilan pada kasus Al-Adsani, Jones dan Bouzari menyatakan bahwa antara imunitas negara dengann jus cogens adalah terpisah satu sama lain. Jus cogens adalah masalah substantif adapun imunitas negara adalah masalah procedural sehingga tidak ada hubungan satu sama lain dengan demikian pelanggaran terhadap jus cogens tidaklah memiliki pengaruh pada imunitas negara. Pendapat ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, hukum internasional tidak pernah menarik batas atau memisahkan antara norma substantif dan prosedural. Semua norma hukum internasional berasal dari kesepakatan negara-negara atau penerimaan oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, dan karenanya tidak ada kriteria yang pernah ditetapkan atau perwakilan yang diakui untuk memisahkan keduanya.Bahkan jika imunitas adalah prosedural pada level nasional, di bawah hukum internasional ini tetap adalah norma seperti yang lain dan dapat konflik dengan norma tertingi (peremptory norms) seperti pelanggaran HAM yang berat.
 Tidak ada keharusan prosedural khusus dalam penerapan jus cogens ke dalam hukum nasional karena larangan melakukan pelanggaran HAM yang berat seperti penyiksaan misalnya sudah melekat menjadi kewajiban negara forum yang harus dilaksanakan. Apabila negara forum tidak dapat melaksanakannya dalam arti melakukan penegakan hukum maka ia harus memberikannya pada negara forum lain yang mampu untuk melaksanakan atau menegakkannya. Kedua, jus cogens , berbeda dengan norma yang lain, tidak dibatasi pada masalah substansial, yang mendasar adalah untuk menerapkan konsekuensi hukum akibat pelanggaran norma tertinggi itu.Â
Pasal 53 dan 71 Konvensi Wina 1969 tidak menetapkan persyaratan substantif tetapi mengatur konsekuensi hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap jus cogens.Hal yang sama dapat ditemukan dalam Pasal 41 ILC draft articles tentang tanggung jawab negara yang memberikan kewajiban untuk tidak mengakui tindakan-tindakan pelanggaran jus cogens. Ketiga, secara umum telah diterima bahwa karakter prosedural imunitas tidak dapat mencegah penegakan hukum untuk kejahatan-kejahatan internasional seperti pelanggaran HAM yang berat. Keempat, sudah diterima pula bahwa tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang berat seperti penyiksaan (torture), penghilangan paksa (disappearance), juga kejahatan perang, baik karena statusnya sebagai jus cogens maupun sifat horrendousnya, tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan iure imperii atau tindakan pihak yang berdaulat (sovereign right), sehingga pembedaan antara masalah substantial dan prosedural tidaklah relevan.Â
Akhirnya apa yang disebut sebagai pembedaan antara norma substansi dan prosedural haruslah ditolak karena akan berakibat pada pemberian impunitas. Meskipun doktrim imunitas tidak sama dengan impunitas, karena sebagaimana dikatakan pengadilan pengadilan kasus Al-Adsani, Jones dan Bouzari karena yang pertama adalah substansial dan yang kedua adalah prosedural tetapi realita yang terjadi membuktikan yang lain karena korban yang berhadapan dengan imunitas negara tidak memiliki pilihan lain untuk membela hak-hak mereka dan kenyataannya mereka tidak pernah mendapatkan remedi apapun.
 Demikian halnya sang perpetrator tidak pernah mendapatkan hukuman. (Bouzari (CA), supra note 21, at paras 86-88, jones (HL), supra note 2, at para. 24 (per Lord Bingham).) Mengakui tindakan pelanggaran HAM yang berat sebagai tindakan pihak yang berdaulat (sovereign right) sama saja dengan mengakui negara pelaku beserta pejabatnya legal security yang absolut, dan mengabaikan hak korban mendapatkan remedi. Dengan putusannya memberikan imunitas dapat disimpulkan bahwa Pengadilan sama saja dengan mendorong terjadinya impunitas, mengakui keabsahan tindakan pelanggaran HAM,suatu hal yang bertentangan dengan kewajiban dalam Pasal 41 ILC draft tentang tanggung Jawab negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H