Hubungan Internasional Menurut Pasal 2 ayat (4), dalam menyelenggarakan hubungan internasional, suatu negara  tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Namun, pasal ini melarang Negara untuk menggunakan kekerasan kecuali dalam dua kondisi, yaitu untuk membela diri, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 dan dengan izin Dewan Keamanan PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB, termasuk tindakan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan nasional internasional.
Selanjutnya, Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB mengatur bahwa setiap negara yang menyelenggarakan hubungan internasional dilarang mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan PBB juga melarang campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain dan mewajibkan negara-negara yang bertikai, untuk menyelesaikan masalah mereka sesuai dengan ketentuan Piagam PBB. Hal ini berkaitan erat dengan  prinsip non-intervensi, yang merupakan salah satu landasan dasar  hukum internasional.
Maka dari itu kekerasan yang dimaksud dalam pembahasan ini ialah, tentang jika negara A melakukan agresi militer dan genosida pada Negara B maka kita sebagai negara yang mempunyai moralitas seharusnya membantu negara b untuk mempertahankan kedaulatannya. Dengan izin dewan keamanan PBB dan sesuai dengan hukum humaniter internasional.
Hukum humaniter internasional
Hukum humaniter internasional (international humanitarian law, IHL), yang juga dikenal dengan hukum perang (the law of war) dan hu- kum konflik bersenjata (the law of armed conflict, LOAC), adalah bagian dari hukum publik internasional yang mengatur konflik-konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun noninternasional. Hukum humaniter internasional selanjutnya disingkat HHI hadir diinspirasi oleh pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. HHI ditujukan untuk meminimalkan penderitaan mereka yang tidak atau tidak lagi mengambil bagian dalam pertempuran (peperangan) dan untuk membuat pertempuran menjadi lebih manusiawi (humane) dengan membatasi penggunaan senjata-senjata yang barbar (biadab, kejam). Dalam istilah Daniel Threr, HHI dimaksudkan untuk "memanusiakan" (humanize) kekerasan yang terorganisasi.
Sebagai hukum yang mengatur konflik-konflik bersenjata internasional dan noninternasional, HHI terdiri aturan-aturan yang berlaku selama konflik (in time of war) atau mengatur pelaksanaan konflik (jus in bello). Aturan-aturan ini juga berlaku untuk situasi pendudukan (occupation) yang timbul dari konflik bersenjata. Misalnya ketika terjadi konflik bersenjata (Perang Teluk 2003) antara Amerika Serikat (AS) dan Irak kemudian diikuti dengan pendudukan AS terhadap Irak hingga 2011, HHI semestinya berlaku baik pada saat Perang Teluk terjadi maupun ketika AS melakukan pendudukan di Irak selama bertahun-tahun. Demikian juga dalam konflik bersenjata di Suriah yang berlarut-larut sejak 2011 seyogianya dapat diberlakukan HHI.
Implementasi kekerasan dalam konteks hukum internasional dalam sebuah kasus
Yang pertama kita ambil contoh, kenapa tidak ada negara yang membantu palestina? Padahal secara terang-terangan  Israel sudah mengganggu kedaulatan negara Palestina dan melakukan genosida disana. Bahkan negara-negara seiman seperti ditimur tengah tidak ada yang membantu palestina merdeka. Meskipun yang berdempetan dengan palestina tidak ingin membantu rakyat Palestina untuk masuk dalam teritorial negara Mesir.Â
Pasti hal hal seperti ini mempunyai banyak faktor, tentang apakah banyak negara takut dengan AS? atau PBB dengan adanya hak vetonya menjadi penghambat perdamaian? Atau memang sudah takdir tuhan? Sebagai informasi, konflik antara Israel dan Palestina dimulai sejak akhir abad ke19. Namun Yerusalem berhasil membangun negara dan mencaplok wilayah Palestina lewat Perang Enam Hari yang berlangsung pada 5-10 Juni 1967 silam.
Perang Enam Hari atau disebut Musibah Kemunduran, merupakan perang antara Israel dan tiga negara Arab tetangganya yakni Mesir, Yordania, dan Suriah. Perang ini terjadi karena perebutan wilayah dan teritori.Lewat perang ini, Israel sukses merebut Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Israel juga merebut wilayah Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur) dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan dari Suriah.