Dalam event Hari Hutan Internasional yang diselenggarakan 21-24 Maret 2017 di Manggala Wanabakti Jakarta Pusat, pada hari kedua sungguh kedua telinga tiba-tiba mendengar alunan musik nan merdu dari salah satu booth. Ternyata alunan merdu berasal dari booth ForClime•FC (Forests & Climate Change Programme Financial Cooperation) yang dimainkan oleh Reza Dc yang merupakan staf di Biro Perencanaan Setjen Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK).Â
Saat ini Reza yang bertugas dalam proyek ForClime•FC dan ketika berdinas melakukan sosialisasi ke desa-desa pedalaman Kalimantan Timur, dipastikan akan disambut tarian musik adat setempat yang salah satunya adalah atraksi menggunakan gitar khas Dayak bernama Sampek.Â
Menurut Reza berdasarkan cerita asal mula penggunaan alat musik berbentuk sampan ini dikenal terlebih dahulu oleh Suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur. Kemudian dikenal meluas hingga ke Kalimantan Barat dan dikenal dengan beberapa istilah seperti sape, sapea, sampeh. Dalam cerita turun temurun dikisahkan bahwa dalam masa penjajahan kolonial suatu waktu ada warga Suku Dayak Kenyah tersesat di dalam hutan, terdengar alunan musik yang sangat merdu.Â
Ternyata kemudian dipertemukanlah dengan seseorang keturunan Tionghoa yang entah datang dari mana. Kemudian warga Dayak ini tertarik untuk mempelajari lebih dalam bagaimana cara membuatnya. Seiring waktu generasi muda suku Dayak memang masih mengenal namun mulai tidak dapat menggunakan sampek, hanya kaum generasi tua yang masih dapat menggunakannya. Justru saat ini Sampek mendapatkan perhatian lebih di luar negeri khususnya di Sarawak Malaysia.Â
Reza sendiri yang asli Betawi ini secara otodidak belajar via Youtube dan blog milik artis Dayak (seperti Uyau Moris dan Bang Tambun), dan menggunakan sampek dalam waktu setahun terakhir ini. Hal ini bermula dari pertemuannya dengan Artis Dayak Malinau Uyau Moris, yang memainkan sampek pada event Indogreen 2016 lalu. Alasan ketertarikan pada sampek adalah suara yang dihasilkan dapat memberikan kenyamanan dan ketenangan di telinga. Saat itu butuh adaptasi sekitar hingga tiga minggu untuk dapat menggunakannya secara benar, yang sangat berbeda dengan teknik memetik gitar.Â
Untuk single neck dengan motif lukisan berkisar dua juta hingga tiga juta rupiah, sementara untuk motif ukiran berkisar tiga hingga empat juta rupiah. Menurut Reza para pengrajin sampek dapat produksi sampek single neck dengan motif lukisan hingga 2 unit dalam tiga hari. Untuk produksi satu unit sampek double neck dengan motif ukiran, dapat diselesaikan satu minggu.Â
Keahlian baru ini turut terbentuk dari kegiatan kedinasan ForClime•FC  yang mengharuskan dapat beradaptasi dengan kearifan lokal masyarakat adat. Kegiatan ForClime•FC yang berfokus mengelola hutan dengan tata kelola lestari, dengan  basis masyarakat desa sekitar hutan yang penghidupannya bergantung pada hutan. Masyarakat diberikan kesempatan untuk turut berperan aktif dalam menghadapi dampak perubahan iklim, sehingga dapat memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) tanpa perlu merusak hutan. Lestari Hutanku, Lestari Kampungku, Lestari Tanah Airku. Sambil memetik Sampek, Reza turut tetap memegang kendali untuk pelestarian hutan..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H