Memotret aktivitas pasar rakyat / tradisional sebagai obyek sebuah foto, merupakan kesempatan belajar bagi seorang jurnalis foto merasakan pendekatan human interest. Sementara banyak cerita menarik dari sebuah pasar rakyat yang ternyata dapat mengubah warna warni kehidupan. Bagaimana warna warni pasar dalam gambar serta bagaimana pasar dalam peta kuliner nusantara, dipaparkan dengan jenaka oleh Arbain Rambey (Jurnalis Foto Harian Kompas), J.J Rizal (Sejarawan) dengan moderator Vania Samperuru dalam diskusi interaktif Kompasiana Nangkring Festival Pasar Rakyat Danamon Peduli yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta pada 21 Desember 2016 lalu.Â
Pengalaman dalam memotret pasar merupakan acuan standar dasar dalam pengujian menjadi seorang jurnalis foto Harian Kompas oleh Kartono Riyadi. Human interest dalam aktivitas pasar, sangat dibutuhkan oleh jurnalis dalam memotret peristiwa politik yang sangat bersejarah. Pasar ada banyak disekitar kita dan dapat belajar untuk memotret sudut human interest secara gratis.Â
Menurut Arbain Rambey memotret pasar tradisional akan mendapatkan suasana eksotik & momen tepat dalam memotret aktivitas pasar tradisional adalah saat dinihari sekitar jam tiga pagi. Sementara momen memotret pasar malam adalah sebelum pukul setengah tujuh malam saat belum gelap sepenuhnya. Saat itu terlihat kesegaran wajah para pengunjungnya. Pasar itu merupakan cermin sebuah kota itu sendiri dan sampah pasar itu dapat menjadi sebuah rekaman budaya. Di dalam pasar ada berbagai aktivitas seperti belanja sayur mayur, tawar menawar harga, menikmati jajanan pasar & kuliner.Â
Tantangan bagi seorang fotografer dalam memotret pasar adalah interaksi dengan obyek termasuk tingkah laku para pedagang pasar. Pasar tradisional yang menjadi lokasi favorit Arbain Rambey berburu foto antara lain Pasar Pundong di Jogja, Pasar Gawok di Sukoharjo Solo Raya. Ada tipikal jenis dagangan pasar yang menjadi obyek foto Arbain Rambey yaitu sambal, kerupuk, pisang, tape. Pasar tradisional saat ini sudah tradisional lagi seiring penggunaan plastik dan alumunium.Â
Pengalaman lainnya adalah memotret kerbau "bule" seharga satu miliar rupiah di Tana Toraja. Ada juga kisah kerbau istimewa yang dibeli sahabatnya di Jogja hanya seharga 40 juta rupiah dirawat selama hampir dua bulan dan kemudian sukses terjual 500 juta rupiah di Tana Toraja.Â
Pasar Ubud merupakan wilayah pasar yang nyaman bagi fotografer karena natural suasananya, cuek para manusianya serta tidak ada yang meminta uang. Berbeda dengan Pasar Wamena yang dipastikan akan dimintai uang sebesar seratus ribu rupiah per jepretan  oleh obyek foto. Alasannya adalah jika hotel, rumah makan, penerbangan semuanya mendapatkan uang, mengapa kami tidak?. Jika ingin mendapatkan obyek foto tanpa dimintai uang di Wamena, tunggulah Festival Lembah Baliem maka bebas memotret di dalam lokasi festival.Â
Terinspirasi dari bekal lontong para warga kampung yang ingin menyaksikan pidato Bung Karno pada masa itu, maka dikenal juga  Lontong Piknik Nonton Bung Karno sebagai kuliner pilihan di Rawabelong. Namun ukuran lontong piknik saat ini semakin mengecil. Pasar Kopro yang tak jauh dari Rawabelong tersedia kuliner Soto Kaki Bang Juned. Sementara di Pasar Kebayoran Lama ada kuliner melegenda Ketupat Sayur Laksa bercitrarasa Betawi, Cina, Portugis.Â
Ada masakan Warung Padang pertama Jakarta di kawasan Pasar Senen (berdiri tahun 1735) yang sebenarnya kurang enak, namun menjadi tempat mangkalnya para seniman ibukota seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, dll. Ada juga Warung Kopi Ci An terkenal enak namun bisa juga dihutang oleh para seniman di Pasar Senen. Ada kisah sumber inspirasi Revolusi kemerdekaan dimulai oleh para preman & pelacur di Pasar Senen. Saat itu para seniman mendapat orderan pembuatan propaganda dari Presiden Soekarno. Lukisan dikerjakan oleh Affandi, model oleh Dullah, dan kata-kata oleh Chairil Anwar. Saat lukisan dan model telah dibuat namun kata-kata belum ada. Ketika Chairil Anwar dicari dan bertemu, tercetuslah kata-kata 'Bung Ayo Bung!' dan menjadi poster yang sangat terkenal. Tiga kata ini ternyata terinspirasi oleh perkataan para pelacur Pasar Senen ketika memanggil calon pelanggannya 'Bung Ayo Bung!'.Â