Mohon tunggu...
Jepfruit Alpanchi
Jepfruit Alpanchi Mohon Tunggu... -

Menemukan masalah tanpa mencari-cari masalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perlu Bijak Menyikapi Keputusan MK

25 Januari 2014   08:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Keputusan MK tentang pemilu legislatif dan presiden serentak sudah keluar. Hasilnya memang menyebabkan pemilu 2014 dilakukan secara inkonstitusional (alasannya dapat dibaca di sini).

Tentu banyak pihak merasa ada yang mengganjal di hati masing-masing menyikapi pelaksanaan pemilu yang inkonstitusional ini. Perasaan yang mengganjal ini berpotensi kelak dapat menimbulkan konflik baru terhadap hasil-hasil pemilu. Hasil pemilu 2014 dipertanyakan keabsahannya walaupun telah dengan tegas dinyatakan MK bahwa pemilu 2009 dan 2014 sah.

Jika perasaan itu dipelihara, maka konflik antara yang mendukung keputusan MK dan yang menentangnya akan meruncing. Partai-partai yang dirugikan akibat pemilu tidak serentak bisa jadi akan memprotes hasil pemilu. Partai-partai yang sejak awal berkeberatan jika pemilu dilaksanakan serentak akan mempertahankan hasil pemilu dengan mati-matian.

Kedua pihak yang berseberangan itu memiliki logika yang sama-sama kuat sehingga konflik dikhawatirkan akan melebar karena masih dipengaruhi atmosfir politik yang panas, kepentingan masing-masing partai merasa terancam, dan sumber masalah merupakan urusan yang sangat penting (penggantian rezim karena pemilu).

Konflik akan melebar dengan melibatkan konstituen partai masing-masing. Sehingga, akan terjadi konflik yang mulanya antarpartai menjadi konflik horizontal. Manakala konflik yang terjadi bersifat horizontal, maka untuk mengatasinya akan sangat sulit. Kekhawatiran terjadinya chaos bukan mustahil akan terjadi.

Memang keluarnya keputusan MK tak dapat dimungkiri menciptakan blunder. Sebetulnya bisa saja MK menolak gugatan PUU (Pengujian Undang Undang) oleh Effendi Gazali, dkk. Penolakan MK itu tidak akan memanaskan suhu politik. Publik pasti menyadari alasan-alasan penolakan MK. Partai-partai juga tidak akan bereaksi terlalu keras. Namun, untuk jangka panjang kita akan terus-menerus melaksanakan pemilu yang tidak serentak yang inkonstitusional.

Secara substansial keputusan MK untuk menerima gugatan PUU patut disambut lega. Artinya, MK telah meluruskan argumentasi yang menyatakan bahwa pemilu terpisah adalah tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945).

Masalah muncul ketika MK menyatakan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada pemilu 2019. Keputusan ini bagai buah simalakama. Jika MK tidak menegaskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan 2019 banyak pihak akan menuntut pemilu 2014 harus dilakukan secara serentak. Jika MK menegaskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada 2019, MK telah menggeser fungsi MK sendiri yang semestinya tidak menjalankan fungsi regulatif terlalu ketat (dengan menyatakan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada pemilu 2019).

Sikap bijak yang diperlukan

Keputusan sudah dibuat dan untuk melaksanakan pemilu serentak sudah tidak dimungkinkan lagi. Upaya-upaya hukum sudah buntu. Mau tidak mau kita mesti menerima keputusan MK, sekalipun pemilu yang sebentar lagi akan diselenggarakan bersifat inkonstitusional. Semua pihak dituntut sikap bijak.

Sikap bijak ini diperlukan karena untuk menyelamatkan kepentingan bangsa secara keseluruhan dari keadaan chaos. Sejak sekarang kita dapat mencegah potensi chaos asal kita dapat bersikap bijak.

Hal ini dapat dilakukan dengan upaya-upaya kondusif oleh para aktor politik maupun institusi sosial.Pertama, alih-alih partai-partai politik mempermasalahkan lagi, lebih baik fokus kepada usaha partai yang sebaik-baiknya untuk mengikuti kontes pemilu agar dilakukan dengan azas-azas LUBER dan JURDIL. Partai-partai, terutama yang masih “terluka” akibat keputusan MK perlu mengawal pemilu agar tidak terjadi kecurangan dan kekurangan. Pemilu yang berkualitas akan meningkatkan juga kualitas kehidupan bernegara.

Kedua, para ilmuwan dan pengamat politik perlu mengurangi perdebatan tentang pro-kon keputusan MK. Menjelang pemilu perdebatan itu bisa menjadi kontraproduktif untuk hal yang sudah sulit berubah. Memang, kita tidak bisa melarang diskusi atau semacamnya tentang aspek-aspek akademis keputusan MK. Dengan melarang pewacanaan seperti itu justru bertentangan dengan maksud demokrasi yang menghendaki dan mendorong terjadinya kebebasan berpikir.

Perdebatan tidak dilarang, apalagi yang bersifat ilmiah. Hanya saja perdebatan yang menyangkut pro-kon keputusan MK perlu dikurangi. Kalaupun perdebatan itu perlu dilakukan, maka sebaiknya yang menyangkut aspek-aspek substansial yuridis yang menyumbang peningkatan wacana akademis ilmu-ilmu yang terkait (hukum, politik, sosiologi, psikologi, komunikasi, misalnya).

Ketiga, pemerintah (KPU, Bawaslu, kepolisian, dan instansi terkait) perlu menghilangkan keragu-raguan yang berakibat tugasnya menjadi terhambat akibat imbas keputusan MK. Mereka perlu lebih fokus kepada persiapan administratif dan teknis. Masalah-masalah yang belum tuntas diselesaikan seperti DPT, perangkat pemilu, sosialisasi, perlu segera dicarikan solusi.

Keempat, elite-elite partai, pejabat yang berwenang, ilmuwan dan pengamat perlu memberikan informasi dan mengajak publik untuk meningkatkan kedewasaan sikap dalam berpolitik. Pernyataan-pernyataan di media massa yang dapat memancing reaksi negatif publik perlu dihindarkan.

Kelima, media juga dituntut untuk meningkatkan perannya dengan mengedepankan pemberitaannya yang lebih banyak menciptakan suasana kondusif di masyarakat. Suhu politik yang kian memanas jangan malah dijadikan komoditas di media, seperti yang sering dilakukan beberapa media sebelum ini yang cenderung memegang prinsip “bad news is good news,” atau “conflict is a commodity,”

Keenam, kita sebagai bagian dari publik juga dituntut mengambil peran positif dengan menyebarkan informasi tentang pentingnya pemilu sebagai cara melakukan perubahan sosial, meningkatkan kualitas kehidupan, melaksanakan tanggung jawab bernegara, mengontrol kekuasaan entitas politik, dan menjaga keutuhan bangsa dan negara.

Apa boleh buat, pemilu 2014 ini dilaksanakan dengan kondisi yang tidak sebaik harapan kita semua. Biarlah ini menjadi catatan sejarah kelabu perjalanan demokrasi negara kita demi kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan negara.

Semua pihak diminta introspeksi dengan lebih cermat agar ke depan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan lebih adil, arif dan bijaksana. Yang diperlukan dalam menyambut hajatan bangsa pemilu sebentar lagi adalah sikap bijak seraya belajar menegakkan hukum dengan mentaati keputusan MK meskipun mungkin tidak sesuai dengan kehendak kita. <<>>

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun