Pesakitan
Ia duduk di pojokan ruangan. Tempat ini sungguh tidak nyaman. Gelap, sempit, dan lembap. Tak ada jendela. Satu-satunya akses ke dunia luar hanya sebuah pintu. Temperaturnya selalu dingin. Memang begitu. Ruangan ini selalu dingin, gelap, dan hampa.
Ia mendongak, menatap langit-langit ruangan yang gelap. Lampu saja tak ada. Sampai lupa ia bagaimana caranya melihat cahaya. Hanya gelap yang mengkungkungnya setiap saat.
Mengapa aku disini?
Jutaan kali pertanyaan itu terlontar dari mulutnya. Tapi tak ada yang menjawab. Hanya sepi yang terus mengamati polahnya ini. Dingin mencengkeram tubuhnya yang ringkih dan kurus. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, berharap ada kehangatan yang tersisa di kedua tangannya. Ia menggigit bibirnya sendiri, gemetar karena menggigil.
Tiba-tiba pintu dibuka, membuatnya terpaksa memicingkan matanya karena serbuan cahaya yang masuk. Seorang wanita berambut panjang dan mempunyai paras yang cantik berdiri di depan pintu itu didampingi oleh seorang petugas. Tatapannya begitu menusuk, beribu dendam terukir disana.
“Biarkan aku keluar!!” serunya dengan lantang, berusaha untuk berdiri walaupun itu susah karena tubuhnya terlalu lemah.
“Tidak akan! Aku mau kau mati membusuk di ruangan ini. Dasar kau pesakitan! Aku tak sudi lagi bertemu dengan pembunuh sahabatku sepertimu!”
Setelah wanita itu mengeluarkan segala yang ia rasakan selama 7 tahun itu, wanita itu keluar meninggalkannya di ruangan gelap itu.
7 tahun ia disini sejak ia membunuh sahabatnya sendiri, sahabat wanita itu juga. Hanya karena cemburu, hanya karena ia dan sahabatnya menyukai wanita yang sama. Cemburu itu buta. Ia dikira gila karenanya. Cinta itu berbahaya. Kamar isolasi ini sudah terlanjur mencintainya.
Cinta itu mati. Sahabatnya mati. Ia pun akan mati membusuk disini.
Selasa, 220211
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H