Mohon tunggu...
Jenniver Mantow
Jenniver Mantow Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog klinis dari Sulawesi Utara

Psychologist is my job, being a mother is my role

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menurunkan Angka Kekerasan terhadap Anak, Mungkinkah?

30 Agustus 2020   11:43 Diperbarui: 30 Agustus 2020   11:45 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Siklus Kekerasan/reddit.com

Kisah Arie Hanggara yang difilmkan pada tahun 1980-an membuka mata banyak orang mengenai kasus kekerasan terhadap anak karena film ini berdasarkan kisah nyata. Kisah ini berakhir tragis karena Arie tewas akibat disiksa oleh orang tuanya sendiri, orang tuanya pun harus berakhir di penjara. 

Sayangnya, kasus kekerasan terhadap anak cenderung meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Kasus yang sedang viral saat ini adalah mengenai kasus seorang anak perempuan berinisial LL, berusia 5 tahun di Ketapang Sampit, Kalimantan Tengah yang disiksa oleh Ayah tiri dan Ibu kandungnya. Beberapa kasus pemerkosaan anak juga menjadi pemberitaan di beberapa daerah, tak jarang pelaku pencabulan anak ternyata adalah orang tuanya sendiri. 

Di masa pandemi ini, beberapa orang tua bahkan mengaku sering membentak anak saat mendampingi anak belajar dari rumah. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada 1 Januari - 19 Juni 2020 telah terjadi 3.087 kasus kekerasan terhadap anak, diantaranya 852 kekerasan fisik, 768 psikis, dan 1.848 kasus kekerasan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dapat dikategorikan dalam empat bentuk, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran anak.

Pemerintah memandang serius mengenai masalah pengasuhan anak, karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa. Mandat pengasuhan anak ini tercantum dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak sebagai revisi atas UU nomor 23 tahun 2002. Undang -- undang ini diadaptasi dari Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh PBB pada tahun 1989. Masalah kekerasan terhadap anak dibahas dalam klaster 5 mengenai perlindungan khusus.

Goleman, D. (1996) menyebut bahwa tindakan kekerasan lebih merusak dari bencana alam karena korban kekerasan merasa dirinya telah dipilih dengan sengaja sebagai target kejahatan. Kekerasan terhadap anak kerap dilakukan oleh orang-orang terdekat anak, seperti keluarga (Ayah, Ibu, dan Saudara), tetangga, dan lingkungan pendidikan (guru dan teman). 

Orang tua sebagai figur terdekat anak menghabiskan waktu terbanyak bersama anak, bila anak tersebut diasuh oleh orang tuanya. Menurut Santrock (2002), menjadi orang tua menuntut beberapa keterampilan interpersonal dan tuntutan emosional, namun sayangnya keterampilan tersebut sangat sedikit sekali dipelajari dalam pendidikan formal. sebagian besar orang tua belajar menjadi orang tua dari orang tua mereka sendiri. 

Dari mana kekerasan ini bersumber? Menurut Felayati dan Widiningsih (2018), terjadinya kekerasan terhadap anak disebabkan berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor Internal antara lain: faktor pengetahuan orang tua/ pengasuh, warisan kekerasan antar generasi, stres, faktor dari dalam diri seperti ketidakmampuan mengontrol rasa marah, sementara faktor eksternal adalah status sosial ekonomi, isolasi sosial, dan struktur keluarga. Pengasuh anak adalah kunci penting sebagai target dalam memutus rantai siklus kekerasan terhadap anak.

Kekerasan yang dilakukan seringkali muncul akibat dari respon emosi negatif. Kemarahan yang mudah meluap dan tidak terkendalikan mendorong pengasuh melakukan kekerasan terhadap anak (Felayati dan Widiningsih, 2018). Setelah memahami penyebab kekerasan dari faktor internal, ketidakmampuan mengontrol rasa marah, langkah selanjutnya adalah mencari solusi bagaimana cara mengontrol rasa marah.  

Hasil penelitian dari Langer dan Erika (2009) dalam Felayati dan Widiningsih (2018), menyatakan bahwa regulasi emosi dapat mengurangi terjadinya kekerasan. 

Menurut Gross (1998) dalam Felayati dan Widiningsih (2018), regulasi emosi merupakan usaha mengubah valensi baik atau buruk yang terjadi antara individu dan lingkungan dalam bentuk koping, regulasi suasana hati, dan pertahanan psikologis. Faktor-faktor dalam regulasi emosi yaitu: penilaian ulang kognitif, seleksi situasi, modifikasi situasi, perubahan fokus perhatian, dan perubahan kognitif. Berdasarkan faktor-faktor regulasi emosi, beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pengasuh untuk meregulasi emosi, antara lain:

  • Instrospeksi diri, mengingat apakah ada kejadian-kejadian di masa lalu di mana pengasuh pernah menjadi korban kekerasan. Dengan menyadari kejadian-kejadian di masa lalu, pengasuh bisa mengidentifikasi apakah ada siklus berulang yang terjadi antar generasi
  • Kenali situasi spesifik apa yang membuat emosi tidak terkontrol saat menghadapi anak, misalnya: pada saat anak tidak menuruti permintaan pengasuh, saat anak merusak barang, dan seterusnya.
  • Saat hendak berlaku agresif, segera berpindah ruangan atau menjauhkan diri sejenak dari anak.
  • Pikirkan dampak dari perilaku pengasuh terhadap anak
  •  Edukasi diri, banyak mencari informasi mengenai pengasuhan anak dengan disiplin positif.

Memang tidak mudah mengubah cara kita merespon atas suatu kejadian, namun perlu disadari bahwa apabila cara yang digunakan cenderung destruktif, perlu dilakukan perubahan agar menjadi lebih baik. Bantuan tenaga profesional (psikolog klinis atau psikiater) diperlukan apabila pengasuh merasa kesulitan dalam mengontrol amarah hingga melakukan kekerasan yang merugikan pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun