Kata ’transmigrasi’ seolah-olah erat dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto di era orde baru. Program ini merupakan sebuah cetusan untuk meratakan persebaran penduduk Indonesia dikarenakan sejak zaman dahulu persebaran penduduk terkonsentrasi di Pulau Jawa. Selain itu, transmigrasi juga merupakan sebuah upaya yang mendorong transmigran untuk mengolah lahan pertanian di luar pulau Jawa yang belum banyak termanfaatkan pada masa itu.
Jauh sebelum pemerintah Indonesia mencanangkan program transmigrasi, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu menjajah Indonesia meggulirkan program serupa yang disebut kolonisasi. Latar belakang dari kolonisasi itu sendiri dikarenakan lahan pertanian di Pulau Jawa yang semakin menyusut pada awal abad ke-20 serta peningkatan penduduk yang tajam. Di sisi lain, lahan yang belum tergarap di luar Pulau Jawa masih banyak. Dalam konteks yang lebih spesifik, pemerintah kolonial Belanda mengadakan program ini sebagai bagian dari politik etis yang antara lain tujuannya adalah mengurangi penduduk pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah serta kebutuhan akan tenaga kerja di luar pulau Jawa oleh pemerintah kolonial dan perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan.
Lokasi yang akan menjadi tujuan program ini adalah Pulau Sumatera, tepatnya di wilayah yang sekarang bernama Provinsi Lampung. Para pendatang gelombang pertama yang berjumlah sebanyak 23 Kepala Keluarga (KK) ini tiba pada tanggal 12 Desember 1905 yang sekarang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Bakti Transmigrasi. Mereka berasal dari Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mulai mengadakan program transmigrasi terkoordinasi.
Sebagai modal awal pemerintah memberikan tanah yang luasnya dapat mencapai 5 hektar dan sebuah rumah untuk ditempati para keluarga transmigran. Namun tanah itu merupakan tanah mati yang harus diolah terlebih dahulu sebelum ditanami. Untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari pemerintah juga menanggung sembako yang dijatah setiap bulannya untuk delapan bulan pertama.Perkampungan yang ditinggali para transmigran ini awalnya belum dapat dikatakan layak tinggal. Rumah yang diberikan pemerintah pun ala kadarnya. Satu unit rumah terdiri atas dua kamar tidur dan satu ruang tamu serta sebuah dapur terbuka yang terdapat di bagian belakang rumah. Jarak antar rumah yang jauh sehingga kampung ini terkesan sepi.
Transmigrasi mencapai puncak kejayaannya pada era orde baru ketika Indonesia berada di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada masa itu hampir setiap orang, bahkan murid Sekolah Dasar (SD), akrab dengan kata ‘transmigrasi’. Kebijakan Orde Baru mengenai transmigrasi tidak semata-mata untuk memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar pulau, namun juga menekankan pada produksi beras untuk mencapai swasembada pangan. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas sampai Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi, bahkan Papua.
Program transmigrasi pada masa orde baru dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu transmigrasi umum dan spontan. Untuk peserta transmigran spontan, pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, sedangkan ongkosnya ditanggung peserta. Sementara pada transmigrasi umum semua biaya ditanggung oleh pemerintah. Setelah kejadian Gunung Merapi yang meletus pada tahun 1974, seluruh warga desa yang terkena dampak diikutkan pemerintah dalam program transmigrasi. Mereka ditempatkan di perkampungan yang sama. Sejak peristiwa ini istilah transmigrasi bedol desa mulai dikenal. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) kedua, konsep transmigrasi diintegrasikan dalam pembangunan nasional.
Pada masa reformasi, program transmigrasi berhasil memindahkan lebih banyak penduduk Pulau Jawa. Namun upaya pemindahan ini ternyata masih belum berhasil mengimbangi pertumbuhan penduduk pulau Jawa yang meningkat dengan cepat. Jika dikaitkan dengan tujuan pengurangan penduduk Pulau Jawa, maka program ini dikatakan belum tepat sasaran. Dampak pemerataan pembangunan yang diharapkan juga belum begitu terasa. Oleh karena itu, disusunlah sebuah terobosan baru di bidang transmigrasi. Pelaksanaan transmigrasi tidak lagi diprioritaskan pada pemerataan penduduk, namun difokuskan kepada pembangunan daerah.
Pelan tapi pasti, para transmigran yang diberangkatkan pada tahun 1990-an mulai merasakan kejayaan dari hasil kerja keras mereka. Omzet yang didapatkan Ponijan, seorang transmigran di Maluku Tengah, mencapai hingga Rp 900 juta pertahun dari beternak sapi. Selain beternak sapi, Ponijan juga memiliki bisnis dagang sayuran. Aset yang dimiliki Ponijan pada tahun 2014 tercata berjumlah Rp 1,1 Milyar. Apa yang ia peroleh ini sepadan dengan hasil kerja kerasnya yang gigih menjual hasil bumi bahkan hingga ke Sorong, Papua. Apa yang telah dicapai Ponijan merupakan bukti bahwa transmigrasi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk.
Di era modern ini transmigrasi tidak dapat dilepaskan dari peran investor. Peran investor tidak diragukan lagi dapat mendorong pertumbuhan di daerah dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perkampungan transmigran dan penduduk sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H