Mohon tunggu...
Rahma Jenniva
Rahma Jenniva Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Andalas

Hai! This is me.. Sekarang aku merupakan mahasiswa S1 Psikologi di Universitas Andalas. Aku menaruh minat kepada topik-topik yang concern dengan keilmuan psikologi. Aku hobi dengerin musik, nulis dan membaca. Semoga kamu suka dengan tulisan-tulisanku yaa!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kehilangan di Usia Senja: Proses Berduka yang Perlu Dipahami

25 Juni 2024   00:45 Diperbarui: 25 Juni 2024   00:49 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghadapi kehilangan di usia senja adalah pengalaman yang bisa sangat menyedihkan dan sulit. Saat seseorang memasuki masa lanjut usia, kehilangan teman, pasangan, atau bahkan kesehatan bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Proses berduka pada lansia seringkali lebih kompleks karena melibatkan refleksi pada hidup yang telah dijalani dan masa depan yang terbatas. Oleh karena itu, memahami bagaimana lansia berduka sangat penting untuk memberikan dukungan yang tepat. Hal ini akan sangat membantu

Berduka tidak hanya tentang menangisi yang hilang, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru tanpa kehadiran orang yang dicintai. Pada lansia, proses ini bisa memakan waktu lebih lama dan memerlukan dukungan yang berbeda dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Sebagai contoh, kehilangan pasangan hidup setelah puluhan tahun bersama bisa membuat lansia merasa sangat kesepian dan hilang arah. Mereka tidak hanya kehilangan seseorang, tetapi juga rutinitas harian dan peran yang telah mereka mainkan bersama selama bertahun-tahun.

Ketika berbicara tentang berduka pada lansia, penting juga untuk mempertimbangkan kondisi kesehatan fisik dan mental mereka. Lansia mungkin menghadapi masalah kesehatan seperti penyakit kronis atau penurunan kemampuan kognitif, yang dapat memperparah perasaan duka. Terkadang, mereka mungkin merasa sulit untuk mengungkapkan perasaan mereka atau mencari bantuan karena stigma atau kebiasaan budaya yang mendorong mereka untuk 'tetap kuat' di depan orang lain.

Dukungan dari keluarga, teman, dan komunitas sangat penting untuk membantu lansia melewati masa-masa sulit ini. Memberikan perhatian, mendengarkan cerita mereka, dan membantu mereka menjaga rutinitas sehari-hari bisa membuat perbedaan besar. Selain itu, ada berbagai sumber daya seperti kelompok dukungan atau konseling yang bisa membantu lansia menghadapi duka mereka dengan cara yang sehat dan konstruktif. Memahami proses berduka yang dialami lansia adalah langkah pertama menuju memberikan dukungan yang tepat dan memastikan mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi kehilangan. 

Pengalaman kehilangan orang tercinta adalah salah satu pengalaman paling menyakitkan yang bisa dialami seseorang, dan proses berduka adalah perjalanan yang unik bagi setiap individu. Elizabeth Kubler-Ross, seorang psikiater terkenal, memperkenalkan model lima tahap berduka dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1969. Meskipun model ini awalnya dikembangkan berdasarkan pengamatan terhadap pasien yang menghadapi kematian mereka sendiri, tahapan ini juga dapat diterapkan pada orang yang mengalami kehilangan. Mari kita telusuri lima tahap berduka menurut Kubler-Ross (2014) dan bagaimana hal ini relevan bagi lansia yang sedang menghadapi kehilangan.

1. Penolakan (Denial)

Tahap ini adalah mekanisme pertahanan sementara yang membantu kita mengatasi syok dari kehilangan yang baru saja terjadi. Pada tahap ini, lansia mungkin merasa bahwa kenyataan dari kehilangan itu sulit untuk diterima. Mereka mungkin berpikir, "Ini tidak mungkin terjadi," atau "Ini pasti hanya mimpi buruk." Penolakan memberi waktu untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan yang berubah secara drastis.

Penolakan dapat terlihat seperti ketidakmauan untuk membicarakan orang yang telah pergi atau menghindari situasi yang mengingatkan mereka pada orang tersebut. Bagi lansia, hal ini bisa berarti menghindari aktivitas yang biasa mereka lakukan bersama pasangan atau teman yang hilang. Meskipun tahap ini bisa tampak seperti bentuk penolakan terhadap kenyataan, sebenarnya ini adalah cara alami untuk memberi waktu pada diri sendiri untuk memproses kehilangan tersebut secara perlahan.

2. Marah (Anger)

Setelah kenyataan mulai meresap, sering kali muncul rasa marah. Marah bisa ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, atau bahkan orang yang telah pergi. Lansia mungkin merasa marah pada diri sendiri karena merasa tidak bisa berbuat lebih banyak atau pada dokter dan perawat yang merawat orang yang mereka cintai. Perasaan ini adalah bagian dari upaya mencari seseorang atau sesuatu yang bisa disalahkan atas rasa sakit yang mereka rasakan.

Marah adalah emosi yang normal dalam proses berduka. Ini menunjukkan betapa dalamnya kehilangan itu mempengaruhi mereka. Pada tahap ini, penting bagi orang di sekitar lansia untuk memberikan dukungan dan pengertian, serta tidak mengambil sikap defensif terhadap kemarahan mereka. Mengizinkan mereka untuk mengekspresikan kemarahan dapat membantu mengurangi intensitas emosi tersebut dan memungkinkan mereka untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam proses berduka.

3. Tawar-menawar (Bargaining)

Pada tahap ini seseorang mungkin mulai membuat janji atau "kesepakatan" dengan diri sendiri atau dengan kekuatan yang lebih tinggi untuk menghindari kenyataan dari kehilangan tersebut. Lansia mungkin berpikir, "Jika saja saya bisa melakukan ini atau itu, mungkin semuanya akan kembali seperti semula," atau "Jika saya berhenti melakukan ini, mungkin rasa sakit ini akan berkurang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun