Mohon tunggu...
Jenni Mulrita
Jenni Mulrita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo M.Si. Ak. NIM : 55520120011, Jenni Mulrita, Universitas Mercu Buana, Jakarta

Pembelajar --- Mahasiswa Magister Akuntansi, Dosen : Prof. Dr. Apollo M.Si. Ak. NIM : 55520120011, Jenni Mulrita, Universitas Mercu Buana, Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Kompleksitas BEPS

6 April 2022   02:50 Diperbarui: 6 April 2022   03:04 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Transaksi secara global mendasari timbulnya berbagai tindakan yang berujung pertikaian dan konflik antara negara. Tidak munafik untuk dikatakan bahwa egoisme setiap negara akan terlihat ketika melakukan transaksi baik dalam segi ekonomi, sosial dan politik. Sehingga dari hal tersebut memicu munculnya ide untuk membentuk sebuah wadah dan menjembatani agar tidak terjadi konflik dan sama-sama membangun ekonomi negara unttuk penduduk dunia. Misalnya OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), organisasi pemerintah yang beranggotakan berbagai negara yang bertujuan untuk mengembangkan serta mempromosikan berbagai kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial penduduk seluruh dunia. (sumber : oecd.org).

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Tax Treaty merupakan salah satu kebijakan yang diambil dan dikembangkan dimana prinsip serta isi yang terkandung didalam kebijakan tersebut menjadi acuan pajak international. Ada lebih tiga ribu jaringan P3B yang mengatur alokasi pemajakan atas 85% perdagangan dan investasi dunia. (Yariv Brauner, "What the BEPS?", Florida Tax Review 2014). Tujuan P3B tidak lain adalah untuk mengatasi pajak berganda atau dapat dikatakan untuk mengeliminasi hambatan-hambatan aktivitas ekonomi lintas batas. Sejatinya P3B ini juga bertujuan untuk mencegah penghindaran dan penggelapan pajak.

Namun demikian praktik penghindaran pajak yang tertuang didalam P3B tidak lah begitu luas cakupannya dan cenderung hanya pada skema tertentu, termasuk perlakuan kepada aturan domestik saja dan bukan elemen penting dalam sistem pajak internasional, sehingga praktik penghindaran pajak skala internasional makin meningkat. Terlebih dengan berkembangnya model bisnis multinasional yang berorientasi kepada global value chain yang memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap keberadaan harta tak berwujud (Intangibles) dan bisa saja berdalih tidak eligible dalam memajakinya, seperti pemanfaatan ekonomi digital.

Salah satu praktik penghindaran pajak (Tax Avoidance) dalam ranah international adalah strategi BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). Base Erosion mengacu kepada penggerusan basis pajak yang berpengaruh secara negatif terhadap penerimaan pajak domestik, kedaulatan, serta mencederai prinsip keadilan pajak (Isabel Lamers et al,2013). Sedangkan salah satu cara untuk menggerus basis pajak tersebut adalah melalui pengalihan laba atau Profit Shifting. BEPS mengacu kepada strategi perencanaan pajak oleh perusahaan multinasional (MNCs) yang mengeksploitasi kesenjangan dan ketidaksesuaian dalam aturan pajak sehingga memicu praktik penghindaran pembayaran pajak. Negara-negara berkembang yang sangat bergantung terhadap pajak penghasilan badan (Corporate Tax) akan sangat menderita karena praktik BEPS ini.

Menurut OECD, BEPS berkaitan erat dengan upaya memanfaatkan interaksi ketentuan pajak antara negara yang berbeda yang berakibat berkurangnya pajak terutang atau tidak adanya pemajakan sama sekali. Dalam laporan OECD, praktik penghindaran pajak melalui BEPS ini telah menggerus jumlah penerimaan negara dari pajak penghasilan badan (Corporate Tax) di tingkat global sebesar USD 100-240 milliar setiap tahun. Dan hal ini dialami oleh baik negara maju ataupun negara berkembang.

Dapat dikatakan bahwa penyebab utama dari BEPS ini adalah praktik profit shifting yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk meminimalkan pembayaran pajak dan memaksimalkan profit mereka. Selain itu regulasi yang telah disusun pada era lama mengacu pada regulasi perpajakan konvensional sudah tidak dapat mengatur perkembangan saat ini, dimana salah satunya mengarah kepada ekonomi digital yang berbasis teknologi.

Dampak yang ditimbulkan oleh praktik BEPS ini selain dari penerimaan pajak suatu negara terancam, BEPS akan mendorong terjadinya praktik profit shifting ke negara yang pemajakannya rendah (low-tax jurisdiction) yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Perbedaan tarif pajak akan mengakibatkan timbulnya tax arbitrage, yaitu praktik memaksimalkan laba dengan mengidentifikasi dan mengeskploitasi kompleksitas ketentuan perpajakan. Biasanya MNCs melakukan melalui tax planning mereka. Tentu dalam perkara domestik akan sangat menganggu kepatuhan wajib pajak lainnya dengan adanya praktik seperti ini.

Fenomena BEPS sangat meresahkan dan mengancam pertumbuhan negara dimana penerimaan negara dari sisi pajak menjadi terancam mundur. Selain dampak yang ditimbulkan sebelumnya, masalah keadilan akan menjadi sorotan. Berbagai kombinasi kebijakan dijadikan bahan oleh perusahaan multinasional untuk menghindari pembayaran pajak, sehingga menjadi tidak adil bagi perusahaan-perusahaan domestik yang memenuhi kewajiban perpajakannya dan hal ini akan mempengaruhi kepatuhan yang sudah dibangun melalui aturan dan sanksi yang diberlakukan.

Terjadinya interaksi sistem perpajakan antar negara mengakibatkan pendapatan dapat dikenakan pajak oleh lebih dari satu yurisdiksi, sehingga mengakibatkan pajak berganda. Dan pada akhirnya pendapatan ini tidak dikenakan pajak sama sekali. Pemanfaatan situasi melalui kelemahan aturan menjadi dasar sebuah perusahaan untuk mengeksploitasi aturan tersebut sehingga pendapatan tidak dikenakan pajak.

BEPS bukanlah persoalan yang sederhana. Faktor tarik menarik dari kepentingan antaranegara  dan bisnis itu sendiri (MNC company) adalah kompleksitas yang hakiki yang merupakan dasar persoalan BEPS. Untuk itu perlu adanya satu tindakan yang tidak bisa ditangani oleh satu negara saja, namun diperlukan kerjasama dan keterlibatan secara global. Tahun 2013, OECD dan G20 telah menginisiasi adanya Proyek Anti-BEPS yang bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak dalam suatu kerangka global yang sama. Kemudian dilanjutkan pembahasannya pada presidensi Australia tahun 2014. Pembahasan BEPS berlanjut sampai dengan G20 tahun 2021 di Roma. Walaupun pembahasan BEPS tidak menjadi prioritas pada pertemuan G20 diBali-Indonesia, namun tetap menjadi sorotan dan sebenarnya telah menerbitkan model dua pillar pajak internasional dan sudah masuk kepada fase implementasi. Pada dasarnya Proyek Anti-BEPS mencakup elemen koherensi, subtansi, serta transparansi.

Subtansi dari strategi BEPS adalah penghindaran pembayaran pajak yang dilatarbelakangi eksploitasi aturan sehingga mendapatkan celah untuk untaxed. Semoga saja ada langkah konkrit dari hasil proyek Anti-BEPS melalui G20 dan OECD sehingga penggerusan penerimaan negara dari sektor pajak dapat dihindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun