Mohon tunggu...
Jenner Sihombing
Jenner Sihombing Mohon Tunggu... -

jenner sihombing, lahir di takengon, aceh tengah pada tanggal 19 nopember 1972 dan saat ini berkerja sebagai pns di kementerian keuangan republik indonesia, suka menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pulau Tiga: One Day In My Life [Part 1]

24 September 2010   13:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:00 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan ini bercerita tentang perjalanan ke Pulau Tiga di Kab. Aceh Timur, yang sekarang masuk menjadi Kab. Aceh Tamiang, suatu tempat di mana masa kecilku berada. Suatu hari di tahun 2006, tiba-tiba saja kerinduan menyergapku untuk berkunjung ke sana, tanpa terlalu memikirkan resiko yang mungkin ada akhirnya aku dan keluarga berangkat ke sana, tepatnya itu hari Minggu tanggal 26 Februari 2006. Aceh belum seratus persen aman pada saat itu, maklum Perjanjian Perdamaian Helsinki yang ditandatangani bulan Agustus 2005 antara pemerintah RI dan GAM belum sepenuhnya dapat dilaksanakan di lapangan.

Orangtuaku berkerja di Perkebunan PTPN I Langsa, Propinsi Aceh, sekarang menjadi Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sejak tahun 1966. Walau aku lahir di Takengon, Kab.Aceh Tengah tepatnya di suatu tempat yang namanya Lampahan, tapi masa kecilku lebih banyak dihabiskan di Pulau Tiga. Pulau Tiga sebenarnya terletak di ujung Propinsi Aceh yang berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara. Kami pindah ke kebun Pulau Tiga sejak tahun 1978 dari kebun Karang Inong, dan awalnya kami menempati rumah Askep (Asisten Kepala). Emplasemen di Pulau Tiga ini seperti garis lurus dengan diawali rumah Administratur di puncak bukit terus diikuti dengan rumah KTU, Askep, dan 4 rumah asisten di dataran yang lebih rendah. Di depan emplasemen ini ada lapangan sepakbola dan di seberangnya lagi mengalir sebuah sungai besar yang bila tidak hujan di hulu, airnya akan berwarna hijau kebiruan sanking jernihnya. Jarak dari jalan lintas Sumatera Banda Aceh-Medan ke Pulau Tiga sebenarnya tidak jauh, kurang lebih 16 km namun waktu tempuhnya bisa sampai 1 jam lebih karena kondisi jalan tidak baik dan tidak beraspal pada saat itu, apalagi bila musim hujan yang bisa membuat mobil tidak dapat melaluinya karena berlumpur dan berlubang sangat dalam. Ada satu lagi halangan menuju ke sana, yaitu banjir bila lagi musim penghujan. Bila itu terjadi maka otomatis jalan terputus dan sulit dilalui, jalan yang menjadi titik banjir ini terletak di daerah yang namanya Kampung Pasar, terkenal sebagai daerah penghasil Jambu Bol, sejenis jambu yang memiliki tekstur daging yang lebih lembut dan lebih padat dibandingkan dengan jambu air.

Pagi-pagi sekali kami sudah bersiap, dengan Imelda isteriku dan Kezia anak kami satu-satunya saat itu, kami berangkat dengan mobil Isuzu Panther plat merah BK 1373 H. Sudah lama sekali tidak pernah lagi berkunjung ke Pulau Tiga ini, terakhir seingatku tahun 1989 dan 1992 waktu membawa orangtuaku berjalan-jalan ke sana, jadi sudah cukup lama.
Perjalanan cukup lancar, kami singgah di Kota Stabat untuk makan dan terus saja jalan melewati Kota Tanjungpura, terus lagi sampai Besitang yang merupakan perbatasan Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Aceh. Dari sini tidak terlalu jauh lagi sampai di persimpangan menuju Pulau Tiga, namanya Seumadam, kita tinggal berbelok ke kiri kalau datang dari arah Medan. Aku lambatkan mobil ketika masuk di Seumadam, di kiri kanan masih banyak deretan ruko-ruko memanjang sederhana yang banyak terbuat dari kayu, belum banyak berubah pikirku dalam hati. Dulu, kalau mau bepergian ke Medan, dan bila sudah sampai di Seumadam ini, rasanya begitu bersemangat karena seperti akan segera melompati waktu dan peradaban. Cuma sekarang jalannya sudah beraspal, walau sudah banyak juga yang rusak tapi itu sudah sangat lumayan dibanding dulu.
Lewat dari Seumadam, langsung jalanan memasuki jalan yang sepi, di kiri kanan banyak hutan dan sesekali melintasi perkebunan karet dan kelapa sawit milik rakyat ataupun milik perusahaan swasta nasional. Ada beberapa jembatan untuk menyebrang sungai yang memang banyak di sana, kadang terbayang seandainya ada hambatan rasanya 'ngeri' juga, tak tahu mau minta tolong kemana. Tapi rasa rindu mau lihat tempat masa kecil, membuat rasa kuatir itu segera tertepis dari pikiran, walau dalam hati terus berdoa semoga tak ada apa-apa di jalan ini. Kami sampai di suatu tempat yang bernama Kampung Pasar, masih belum berubah dengan puluhan tahun yang lalu, rumah-rumah penduduk relatif sama, aku lambatkan mobil mau melihat siapa tahu ada penduduk yang menjual Jambu Bol, salah satu buah favoriteku dulu waktu masih anak-anak. Tapi ternyata tak ada, sepertinya tidak lagi musim, pikirku dalam hati. Lewat Kampung Pasar ini, artinya sudah semakin dekat ke Pulau Tiga, yang seterusnya akan melewati daerah yang namanya Bukit Babi. Bukit Babi dari dulu terkenal angker karena di bukit inilah terdapat perkuburan yang bila ada penduduk dari sekitar Pulau Tiga meninggal dunia akan dimakamkan di sini. Dulu, bila melintas di sini aku tak berani menoleh ke arah bukit. Tapi sekarang, ternyata Bukit Babi tidak seseram waktu masa kecilku dulu, hampir separuh bukit itu kini telah penuh dengan kuburan dan tidak lagi rimbun oleh pepohonan seperti dulu. Setelah Bukit Babi, maka sampailah di Titi Panjang dan bila menyebrang jembatan maka kita akan masuk ke Pulau Tiga. Kalau Titi Panjang masuk dalam Kecamatan Kejuruan Muda maka Pulau Tiga masuk dalam Kecamatan Tamiang Hulu. Mobil aku lambatkan lagi, sekarang sudah masuk di Pulau Tiga, dan yang pertama dilewati adalah perumahan karyawan yang berderet-deret memanjang dan jumlahnya banyak.

Tahun 1979 aku masuk sekolah di SD Negeri 01 Pulau Tiga. Umurku saat itu belum genap 7 tahun. Hanya ada dua Sekolah Dasar yang ada di Pulau Tiga saat itu, yang lain adalah SD Inpres yang lokasinya di dekat pasar Inpres, suatu pasar yang ramai hanya sekali seminggu yang khusus ada di setiap hari Sabtu. Kakak-kakakku juga bersekolah di SD ini, Kak Mami dan Bang Obeth.
SD ku ini sangat sederhana, dengan dinding kayu, atapnya seng dan lantainya masih tanah waktu aku pertama sekali bersekolah di sini. Karena lantai tanah itulah, maka setiap anak diatur setiap harinya untuk menyiram lantai tanah itu dengan cara memercikkan air dengan tangan yang diambil dari sungai kecil atau biasa kami sebut 'alur' yang terdapat di belakang sekolah, agar debunya tidak berterbangan ketika dipakai untuk belajar. Guru-guruku yang masih kuingat adalah : Ibu Ijah_wali kelasku awal masuk sekolah, Ibu Ida_beberapa kali menjadi wali kelasku, Ibu Mumul_selain mengajar adalah guru kesenian yang salah satu keahliannya adalah mengajar menyanyi, Pak Saly_sebagai guru olah raga dan mempunyai tulisan yang cantik nan rapi sekali, Pak Saleh_orang Kalol dan Kepala Sekolahnya adalah Pak Rakimin_seorang guru yang sangat kami segani dan sangat pintar pelajaran matematika. Anak-anak yang bersekolah di sini kebanyakan adalah anak-anak staf perkebunan dan karyawan walau ada juga yang berasal dari luar itu, karena memang di sekitar perkebunan ini banyak juga perkampungan seperti: Kampung Tempel, Kampung Plosok, Bandar Kalipah, Alur Tani, Simpang Tiga dan Ka'lol.
Teman-teman sekelasku yang masih kuingat saat itu seperti : Asmara, Susanto, Dedy, Tugiman, Ladiono, Arso, Arya, Ina, Ipen, Pancawaty, Endang, Neneng dan Poniman sebagai ketua kelas kami dulu.
Masa-masa itu adalah masa yang menyenangkan dan tetap kukenang sampai sekarang. Biasanya sepulang sekolah kami akan bertemu kembali di sungai depan emplasemen dan mandi-mandi bersama. Walau ini termasuk pelanggaran tingkat berat buat kami anak staf perkebunan, karena kuatir akan terhanyut dan mati terbawa arus sungai. Tapi aku termasuk yang selalu melanggar larangan itu, aku sangat menikmati mandi di sungai itu dan disinilah aku mahir berenang dan menyelam. Tidak hanya itu, berenang di arus sungai yang deras juga kami semua mahir dan aku banyak belajar dari teman-temanku itu. Selain berenang, sebenarnya banyak hal bisa dilakukan waktu di sungai itu, mencari ikan dengan cara menombak meggunakan jari-jari sepeda yang diruncingkan, biasanya ikan-ikan itu bersembunyi di celah-celah pohon tumbang yang banyak terdapat di sekitar sungai. Atau mencari udang di rerumputan di pinggir sungai, ini bisa kita tangkap dengan membalikkan rumput-rumput itu ke daratan di pinggir sungai, tapi kadang tidak hanya udang yang kelihatan tapi bisa juga ular yang keluar dan ini biasanya akan membuat kita panik dan menjerit ketakutan, yang pasti ular itupun sama paniknya dengan kita dan lari menjauh..ha..ha..
Udang juga bisa ditangkap yang biasanya bersembunyi di balik bebatuan yang banyak terdapat di pinggir sungai, begitu batu diangkat berlahan-lahan, bila ada udang dibaliknya maka kita tinggal mengepung untuk menangkapnya dengan kedua tangan kita. Bila kita sudah puas dengan tangkapan itu, biasanya akan memanggang ikan atau udang di tengah sungai yang berbentuk pulau yang penuh dengan bebatuan. Seingatku waktu itu, rasanya nikmat sekali, walau dimakan tanpa bumbu atau sambal. Untuk minumnya, tidak perlu repot-repot dibawa dari rumah, cukup langsung minum air sungai yang memang sangat jernih, dijamin sama kualitasnya dengan Aqua yang ada sekarang.

Di pinggir sungai itu ada bekas menara air yang sangat tinggi bekas peninggalan jaman Belanda yang sering kami pakai untuk terjun bebas ke sungai, sanking tingginya bila sudah sampai ke air maka kita akan lama sekali baru bisa muncul lagi ke permukaan, makanya kalau tidak kuat menahan napas, sangat dianjurkan untuk tidak mencoba terjun dari menara ini.
Ada penghuni sungai ini yang sudah sangat 'akrab' dengan kami yaitu seekor labi-labi atau bulus
(freshwater turtles), yang batok tempurungnya sangat besar dan akan muncul ke pinggir sungai di bawah menara air bila keadaan sepi dan tenang. Konon kabarnya bila bulus ini menggigit jari kita saat berenang maka jari tersebut akan langsung putus, walau sampai aku meninggalkan Pulau Tiga tak ada pernah ada kejadian semacam itu, mungkin bulus itu menikmati juga kebersamaan dengan anak-anak yang mandi di sungai dan sudah dianggapnya sebagai sahabatnya.

Selain mandi di sungai, ada satu kegiatan lagi yang sering kami lakukan dengan teman-teman SD ku itu yaitu bermain sepak bola di lapangan di dekat emplasemen. Kami yang anak staf biasa disebut anak Gedong dan teman-temanku yang anak karyawan ditambah anak kampung sekitar Pulau Tiga ini disebut anak Pondok. Dan ini selalu akan menjadi pertandingan hidup mati dan musuh bebuyutan turun temurun, mungkin bisa disamakan dengan seteru abadi antara kesebelasan Real Madrid dan FC.Barcelona di Liga Spanyol..ha..ha..
Memang di perkebunan saat itu, nuansa feodalnya sangat kentara terlihat, walau aku tak pernah terpengaruh dan berteman dengan semua anak dari manapun latar belakangnya.

Melewati perumahan karyawan, kami memasuki perkantoran Kebun Pulau Tiga. Di kantor inilah dulu orangtuaku menjadi Administraturnya tahun 1981-1984. Pabrik di depan kantor juga masih ada walau sudah sangat tua, sementara kolam-kolam di depan pabrik sudah kering airnya, padahal dulu begitu terawat dengan bunga teratai besar sebagai penghiasnya.
Mobil kami jalan terus melewati mesjid di dekat kantor, mesjid itu jadi kelihatan sangat kecil dan sederhana padahal dulu menurutku sangat besar, walau tetap sampai sekarang tampak anggun dan beribawa. Lapangan tenis masih ada di depan mesjid, tampak sudah uzur dimakan usia.
Akhirnya sampai juga di emplasemen tempat aku dan keluargaku pernah tinggal, semua rumah tampak tua walau nampak masih kokoh berdiri. Aku lihat sungai tempat kami dulu sering mandi di sana, sungai itu semakin besar dan lebar dan kelihatan mulai mendekati jalan. Pulau bebatuan yang dulu tempat kami sering memanggang ikan dan udang juga semakin besar. Aku langsung mencari menara air tempat kami sering terjun bebas dari sana, ternyata sudah tidak ada, sepertinya sudah tumbang disapu arus sungai.
Pohon-pohon Waru (Hibiscus tiliaceus L.) yang berdaun lebar dan cukup menyejukkan di sepanjang pinggir sungai masih ada dan semakin banyak saja. Melihat itu semua kembali pikiranku melayang puluhan tahun silam.

Ketika Bapakku menjabat menjadi Administratur Kebun Pulau Tiga, kami menempati rumah yang berada di bukit. Rumah ini cukup menonjol dibanding rumah lainnya di emplasemen, selain besar juga arsitekturnya benar-benar bercirikan rumah peninggalan Belanda. Rumah itu dibuat tinggi dengan dinding bawahnya terbuat dari batu-batu kali yang besar, bila mau masuk ke rumah kita harus naik tangga beton yang sangat kokoh. Setiap ruangan semuanya besar-besar dengan langit-langit yang menjulang tinggi ke atas. Di kiri kanan rumah tersebut ada balkon yang letaknya agak tersembunyi dan bila kita berada di sana, kita bisa memandang lepas ke bawah, waktu aku kecil sering dipakai sebagai tempat bersembunyi. Setiap kamar tidurnya semua berukuran raksasa, mungkin kalau empat mobil saja pasti bisa parkir di dalamnya. Waktu aku kecil dulu, selalu diperingati oleh orang-orang kalau rumah ini berhantu dan ada penunggunya, makanya aku tak pernah berani sendirian ditinggal di rumah, walau itu semua tak pernah terbukti kebenarannya sampai kami meninggalkan rumah itu. Di bagian belakang rumah yang dihubungkan oleh selasar, tinggal Keluarga Lek Misnan. Lelek inilah sebagai penjaga rumah sekaligus bertanggungjawab dengan kebersihan rumah bagian dalam. Keluarga Lek Misnan adalah keluarga besar, anak-anaknya yang masih kuingat : Tumini, Lastry, Apri dan Ina. Karena masih sepantaran umurnya denganku, aku sering bermain dengan mereka, dan sering bila malam tiba dan kesepian di rumah aku main ke belakang ke tempat tinggal mereka. Mereka keluarga yang sangat sederhana dan sudah tinggal di sana sejak lama, dan sudah merasakan beberapa Administratur yang pernah tinggal di sana dan pada umumnya mereka selalu bisa diterima dan bisa menyesuaikan diri.
Halaman rumah kami itu sangat besar dan luas, banyak pepohonan yang tumbuh, yang masih kuingat ada dua pohon rambutan di belakang, yang selalu ditunggu musim berbuahnya setiap tahun. Di belakang kiri juga ada pohon manggis yang sangat rimbun buahnya bila sedang musim berbuah. Banyak juga tumbuh pisang kepok yang sepertinya tak pernah habis walau hampir setiap sore dibuat gorengan oleh Ibuku.
Di depan rumah ada tumbuh pohon beringin yang luar biasa besarnya dengan banyak akarnya yang besar-besar yang berjuntai ke bawah, dan bila berbuah akan banyak burung yang singgah untuk memakan buahnya itu. Burung favoriteku waktu dulu adalah Burung Rangkok Besar (Rhyticeros cassidix), yang sanking besarnya bila hinggap di dahan pohon beringin tersebut akan bergoyang-goyang hebat menahan berat tubuhnya. Jeritan burung ini sangat khas dan dapat terdengar dari kejauhan, lengkingannya sama kuatnya seperti lengkingan seekor monyet. Kalau lagi terbangpun di angkasa, suara kepakan sayapnya akan terdengar sampai ke bawah. Entahlah, apa burung ini masih ada sampai sekarang di sana, atau malah sudah punah sama sekali.
Satu lagi jenis burung yang sering singgah adalah sekawanan burung Perling, burung ini bermata merah dengan seluruh tubuhnya berwrna hijau kehitaman yang berkilap, dari Wikipedia aku mendapati kalau nama sainsnya ialah Sturnus sturninus.
Untuk urusan kebersihan dan perawatan halaman dan kebun rumah setiap harinya, adalah Lek Mangun yang saat itupun sudah cukup berumur. Rasanya hampir setiap hari pasti ada saja yang dikerjakan, kalau sudah bersih di bagian yang sini pasti di bagian yang lain sudah mulai tumbuh lagi rumputnya dan begitu seterusnya. Belum lagi memangkas bunga-bunga yang tumbuh sepanjang jalan menuju rumah ataupun menyirami bunga-bunga yang memang cukup banyak jumlahnya.
Sedangkan bila malam tiba, ada penjaga malam yang namanya Lek Wito dan khusus Lelek ini sedikit spesial karena sangat dekat dengan keluarga kita.

Setelah melewati sungai tempat kami sering mandi dulu, mobil kembali berjalan terus menunju 'kota'-nya Pulau Tiga, yaitu Simpang Tiga. Dari kejauhan aku melihat rumah kami dulu yang berada di atas bukit, rumah itu tetap kokoh dan beribawa walau entah kenapa tidak sebesar seperti aku melihatnya dulu waktu anak-anak. Mungkin sebabnya karena saat besar sekarang aku sudah banyak melihat rumah-rumah besar di banyak tempat, jadi sudah banyak pembandingnya. Perubahan yang cukup kentara di sekitar rumah itu, kalau di sekelilingnya telah tumbuh pohon-pohon kelapa sawit yang tinggi menjulang, padahal dulu seingatku masih baru ditanam, jadi umurnya sama dengan waktu aku telah meninggalkan Pulau Tiga, lebih dari 20-an tahun.
Tapi...astaga, pohon beringin besar di depan rumah itu sudah tidak ada lagi, hilang tanpa bekas entah kenapa bisa begitu, sedikit kecewa dan sedih hatiku.
Akhirnya sampai juga di Simpang Tiga, yang memang bersimpang tiga, yang satu bila diteruskan akan berujung di sungai dan satunya lagi akan mengarah ke SD Negeri 01 dan bila diteruskan akan menuju Blok 49 dan Afdeling II dan bila terus akan sampai ke Bukit Karim.
Simpang Tiga adalah 'kota'-nya Pulau Tiga, ruko-ruko sederhana berderet-deret di sisi kiri jalan dan inilah pusat perekonomian Pulau Tiga. Kalau hari Sabtu, pasar di dekat Simpang Tiga ini juga akan ramai oleh pedagang yang berjualan apa saja. Pedagang-pedagang ini berasal dari luar dan terus berkeliling dan di tiap daerah lain-lain hari pekannya, mereka banyak berasal dari Kuala Simpang, Sungai Liput atau Langsa. Simpang Tiga tak banyak berubah, masih tetap dengan kesederhanaannya, aku coba melirik ke orang-orang yang sedang asyik mengobrol di warung kopi, siapa tahu ada yang masih kukenal. Tidak ada sepertinya atau aku yang sudah tidak tanda lagi.
Dulu di sini ada yang berjualan es cendol kegemaranku, nama penjualnya adalah bang Akup, aku masih ingat segelas es cendol bang Akup ini dijual dengan harga Rp.25,- untuk gelas kecil dan Rp.50,- untuk gelas besar. Untuk menyerut es batunya, dulu dia menggosokkan bolak balik es batu ke sebuah papan yang berpisau di tengahnya, dan serutan es akan keluar dari bawah dan siap dicampur ke es cendol di dalam gelas. Adalah sebuah kemewahan untuk dapat menikmati es cendol Bang Akup ini dulu.
Aku juga masih ingat di antara sederetan ruko ini ada yang satu-satunya dimiliki oleh orang China yang cukup akrab dengan orang sekitar yang mayoritas pemilik rukonya adalah suku Aceh dan Gayo.
Untuk kebutuhan sekolah, seperti membeli pensil, pulpen, buku, sampul coklat, kelir warna atau buku gambar, aku dan teman-teman biasanya ke tokonya bang Agam yang paling lengkap koleksinya.
Mobilku tetap bergerak melewati Simpang Tiga, serasa waktu berhenti di sini, berbeda sekali dengan di kota yang setiap orang berpacu dan berlomba tak kenal lelah.

Tak lama, sampailah kami di depan SD Negeri 01 Pulau Tiga, tempat sekolahku dulu. Hatiku sedikit teriris melihat sekolahku dulu, tempat aku pertama belajar mengenal huruf dan angka. Keadaannya benar-benar diluar dugaanku, SD ku ini seperti limbung berdirinya dan sudah sangat renta dimakan usia. Walau ada penambahan bangunan baru di sebelahnya, tapi bangunan yang lama tampaknya sama sekali tidak ada renovasi atau peremajaan.
Kami berhenti dan turun semua mendekat ke sekolahku ini, semua sepi karena kebetulan hari itu hari Minggu yang memang libur. Aku buka gerbangnya yang tidak terkunci dan masuk ke halaman sekolah, hatiku bergetar dan seperti mimpi saja aku bisa hadir lagi di sini setelah 23 tahun berlalu waktu pertama sekali bersekolah di sini. Di halaman inilah aku bermain dengan teman-temanku, berlari berkejar-kejaran atau untuk yang perempuan bermain 'ye-ye', permainan khusus para perempuan dalam hal loncat gelang karet dan kombinasi gerakan kaki seperti gerakan dansa.
Aku dekati ruang kelasku dulu, dan coba membuka pintu kelas itu. Tidak Terkunci. Ketika pintu terbuka, aku terkesima, tak banyak berubah dan sepertinya masih sama dengan model bangku dan meja yang aku pakai dulu, atau telah diganti tapi dibuat sama modelnya.
Aku tunjukkan posisi dudukku dulu dengan isteri dan anakku, waktu di kelas V SD tahun 1984 yaitu di bangku nomor dua dari depan. Teman sebangkuku dulu si Anto namanya, atau lengkapnya Susanto Nugroho yang ibunya adalah perawat di Balai Kesehatan Perkebunan.
Setelah itu kami keluar ruangan kelas, dan Imelda mengingatkan untuk mengambil beberapa foto untuk dokumentasi dan sebagai kenangan.
Sambil berfoto, dalam hatiku berbisik pelan : "Ya Tuhan...aku sudah pergi dan terbang ke mana-mana ke banyak tempat, tapi sekolah ini tetap setia dan sabar menunggu di sini puluhan tahun lamanya tanpa pernah mengeluh dan protes, dan entah sampai kapan..."

BERSAMBUNG...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun