Mohon tunggu...
Jen Kelana
Jen Kelana Mohon Tunggu... Mengajar -

Pejalan yang ingin terus berjalan. http://bolehsaja.net

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Waktu

29 Agustus 2015   23:53 Diperbarui: 29 Agustus 2015   23:53 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Jerit kesakitan tak sempat melangit. Tersangkut pada serupa dinding pekat, gelap dan hitam di keempat sisinya. Atap datar juga hitam. Hanya bisa mendengar sendiri. Di luar ? Tidak berbeda. Tidak ada siang dan malam. Di manakah ? Entahlah ! Hembusan anginpun tidak ada. Air ? Apalagi ! Tapi ? Pertanyaan lain tiba- tiba terangkai dalam kesepian yang menggigit ini. Lagi-lagi seperti jeirtan kesakitan, pertanyaan-pertanyaan itu tersangkut pada serupa dinding pekat di keempat sisinya. Di manakah ? Entahlah !

Lengkingan itu memasuki gendang telingaku. Makin keras, makin menjadi lalu sekejap lenyap. Sunyi senyap. Kemudian berulang lagi, berulang lag. Begitu kejadiannya. Setiap waktu dan tidak pernah berhenti. Entah sudah berapa lama hal itu berlangsung. Semuanya absurd. Tapi tidak bagiku. Fenomena ini adalah keseharianku. Aku sudah terbiasa mendengar dan menyaksikan serentetan peristiwa ganjil yang mendirikan bulu kuduk itu. Aku justeru tersenyum menghadapi semuanya….

Aku terbaring di atas tempat tidur spesial yang tidak dimiliki siapa saja. Tidak seorang raja atau seorang presiden sekalipun. Apalagi sebangsa kere-kere yang berserakan di sana. Di atas bumi yang sudah menua dan dilingkari uban itu, yang setiap hari tiap waktu belajar menjadi orang-orang yang paling sabar. Namun bagiku kesabaran itulah yang mengantarkan aku ke sini. Di tempat ini.

Dengan permadani sutra, aku menikmati pelayanan layaknya hotel berbintang. Bukan, kenyamanan ini tidak bisa disamakan dengan apa dan di mana. Dan ketika kusandarkan kepalaku, ada perasaan nyaman sebenar-benar nyaman. Bahagia tak terhingga. Aku sedikitpun tidak merasa terganggu oleh jeritan-jeritan melengking yang setiap saat sanggup memekakkan telinga itu. Biasa-biasa saja. Tidak ada yang perlu kurisaukan.

“Ctar, ctar, ctar !” tiba-tiba suara-suara ganjil itu lagi-lagi terdengar. Diirngi lengkingan yang menyayat, cambuk api itu terus saja melecuti tubuh yang tinggal kerangka menganga. Sedikit daging yang masih menghiasi muka, mengisyaratkan roma ketakutan dan kengerian. Setiap kali cambuk api menyentuh tubuh itu, setiap kali pula jeritan mengguntur berkepanjangan. Belum lagi hilang lengkingannya, campuk api itu sudah menghampiri lagi. Begutu berulang-ulang sehingga sekejap senyap. Tubuh tinggak kerangka itu menggeliat menahan nyeri, pedih, perih. Dengan susah payah dia berusaha bergerak. Tertatih. Berhasil juga dia berbaring, lalu matanya menandangku lekat-lekat.

“Kenapa kau tidak sepertiku ?” tanyanya padaku. Aku tersenyum dan berusaha menghampirinya. Tidak ada perasaan kasihan setitik pun pada diriku menyaksikan keadaannya. Belum lagi bisa mendekat langkahku tersendat, terhalang oleh sekat transparan yang membatasi aku dengannya. Aku hanya bisa memandang dan mendengar suaranya. Setiap waktu aku bisa menyaksikan penyiksaan itu. Dan setiap waktu pula dia bisa melihatku mendapat perlakuan istimewa.

“Aku pernah mendengar orang-orang berkata kepadaku tentang kehidupan di sini. Dan aku percaya itu.” kataku. Dia masih belum mengerti. Dari kerlingan matanya aku tahu dia belum bisa memahami jawabanku.

“Apa yang mereka katakan padamu ?”

Aku ingin menjawab pertanyaannya itu, tetapi seperti ada yang menahan agar aku tidak menjawabnya. Aku hanya mampun memandangnya. Dia menghiba dan memohon kepadaku untuk menjelaskannya. Aku tidak mampu.

“Ctar, ctar, ctar !” Cambuk api itu memberi jawaban seketika, gemuruh lengkingan terdengar di telingaku seperti langgam sebuah elegi. Pilu ! Aku tidak mampu menolong tubuh yang tinggal kerangka itu.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun